tirto.id - Selebritas Lesti Kejora memilih untuk mencabut laporan dugaan kasus Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT) yang dilakukan suaminya, Rizky Billar di Mapolda Metro Jaya, Jumat (14/10/2022). Lesti berdalih karena sudah ada perjanjian yang dibuat bersama suaminya agar tidak mengulangi perbuatannya lagi.
Selain itu, Rizky Billar juga masih berstatus ayah dari anak mereka yang juga menjadi salah satu alasan Lesti mencabut laporan KDRT tersebut.
Padahal, Rizky Billar telah resmi ditetapkan sebagai tersangka sebagaimana pasal yang dilaporkan terkait KDRT, yaitu Pasal 44 ayat 1 UU RI No. 23 Tahun 2004 dengan pidana penjara paling lama 5 lima tahun atau denda paling banyak Rp15 juta.
Keputusan Lesti tersebut menuai pro dan kontra. Komisioner Komnas Perempuan, Siti Aminah mengatakan, belajar dari kasus Lesti, korban KDRT sangat rentan dalam upaya mencapai atau memperoleh keadilan.
“Korban KDRT mengalami hambatan keadilan karena cara pandang masyarakat yang masih menempatkan kasus KDRT sebagai permasalahan privat, bukan publik,” kata Siti Aminah kepada Tirto, Senin (17/10/2022).
Dia menjelaskan konstruksi peran gender perempuan sebagai istri dan ibu. Hal tersebut seringkali menyebabkan mereka ketika mengalami kekerasan, menempatkan kepentingan anak, suami, dan keluarga di atas kepentingan pribadi si perempuan yang menjadi korban.
“Maka perempuan korban bungkam dan tetap ada di situasi kekerasan,” kata Siti Aminah.
Siti Aminah mengapresiasi langkah Lesti untuk melaporkan KDRT yang dialaminya, yakni kekerasan fisik dan psikis oleh suaminya Rizky Billar. Bahkan terjadi secara berulang. Namun, kini Lesti harus mencabut laporannya.
Menurutnya, kasus Lesti menunjukkan kompleksitas kesulitan perempuan korban kekerasan untuk keluar dari siklus kekerasan yang dihadapinya.
Minta Polisi Tetap Proses Hukum
Meski Lesti telah mencabut laporan, Komnas Perempuan mendorong kepolisian untuk tetap melanjutkan proses hukum dalam penanganan dengan maksud untuk memastikan kejadian serupa tidak berulang di kemudian hari.
Sebab, pencabutan pelaporan tidak serta merta menghentikan proses hukum. Dalam kasus ini, pihak pelaku KDRT ditetapkan sebagai tersangka berdasarkan Pasal 44 ayat (1) UU PKDRT yang termasuk dalam kategori delik biasa, bukan delik aduan.
“Komnas Perempuan menyerukan agar kepolisian dan semua pihak waspada dengan potensi siklus kekerasan dalam penanganan kasus KDRT," ucapnya.
Dia menuturkan dalam siklus kekerasan, meski pelaku sudah meminta maaf kepada korban. Sebab, kekerasan dapat menjadi lebih intensif dan sangat fatal dengan mengakibatkan luka yang serius hingga meninggal dunia.
Komnas Perempuan pun mendorong kepolisian untuk melanjutkan proses hukum. Sebab akan berkontribusi untuk mencegah preseden buruk dalam penanganan kasus KDRT, khususnya kekerasan terhadap istri (KTI), di mana pendekatan keadilan restoratif digunakan untuk membuka celah impunitas pelaku dan meneguhkan siklus KDRT.
Menurut Siti Aminah, pasal yang disangkakan terhadap pelaku tidak dapat dikategorikan sebagai tindak pidana ringan (Tipiring).
Kemudian, Peraturan Kepolisian Nomor 8 Tahun 2021 tentang Penanganan Tindak Pidana berdasarkan Keadilan Restoratif belum memuat penanganan khusus dalam kasus kekerasan terhadap perempuan, termasuk KDRT, yang diselesaikan dengan mekanisme keadilan restoratif.
“Perkapolri ini hanya memuat langkah pelaku untuk permohonan maaf dan penggantian kerugian yang ditimbulkan oleh tindak pidana tanpa disertai dengan pengaturan mengenai langkah-langkah lanjutan yang wajib dilakukan oleh pelaku agar memastikan kejadian serupa tidak berulang,” kata dia.
Atas kondisi tersebut, Komnas Perempuan meminta kepolisian untuk melanjutkan penanganan kasus KDRT Lesti sesuai aturan hukum dalam UU PKDRT untuk memutus impunitas, sebagai bagian dari penegakan hukum dan pembelajaran publik.
Kemudian pelaku dikenai kewajiban untuk mengikuti program konseling menggunakan psikolog yang direkomedasikan dan dalam pengawasan kepolisian untuk perubahan cara pandang dan perilaku tentang relasi laki-laki dan perempuan guna memutus siklus kekerasan.
Korban KDRT juga mesti mendapatkan penguatan psikologis dan informasi untuk memahami hak dan posisinya sebagai perempuan dan korban.
Selain itu, pemerintah, khususnya Kemenhukham dan KPPPA, mengambangkan mekanisme rehabilitasi pelaku tindak KDRT dan program pencegahan yang lebih efektif, kata dia.
“Semua pihak agar bersama bergerak untuk menolak segala bentuk kekerasan terhadap perempuan, ciptakan ruang aman, dukung dan temani korban,” kata Siti Aminah.
Siti Aminah menjelaskan, berdasarkan Catatan Tahunan (CATAHU), pelaporan kasus KDRT setiap tahunnya mengalami peningkatan. Pada 2021, Komnas Perempuan menerima pengaduan langsung 771 kasus kekerasan terhadap istri (KTI), atau 31% dari laporan 2.527 kasus kekerasan di ranah rumah tangga/personal.
"Dampak kekerasan dalam rumah tangga terhadap korban beragam dan berlapis. Korban mengalami penderitaan luka-luka fisik, trauma dan depresi, bahkan menjadi disabilitas maupun kehilangan nyawa,” kata dia.
Senada dengan Siti Aminah, Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPPA) juga mengatakan, meskipun kasus KDRT tersebut telah dicabut dan menempuh restoratif justice, ia tetap mendorong proses hukum tetap berjalan.
“Kata damai dan maaf akan merugikan perempuan selaku korban kekerasan," kata Asisten Deputi Pelayanan Perempuan Korban Kekerasan pada Deputi Bidang Perlindungan Hak Perempuan, Iche Margareth kepada Tirto, Senin (17/10/2022).
Menurut dia, kasus ini juga harus terus berjalan mengingat Lesti dan Billiar merupakan publik figur. "Takutnya kasus ini malah akan menjadi contoh ke publik," ucapnya.
Iche menjelaskan berdasarkan data Sistem informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (Simfoni PPA) selama Januari - Juni 2022, terdapat kekerasan pada perempuan sebanyak 4.448 kasus, dengan kasus terbanyak yaitu kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) sebesar 46,52%.
Bentuk kekerasan yang paling banyak dialami korban yaitu kekerasan fisik (32,52%), psikis (31,41%), dan seksual (13,29%). Layanan yang paling banyak diterima korban yaitu pengaduan (53,92%), kesehatan (16,68%) dan bantuan hukum (16,11%).
Sementara itu, kasus kekerasan pada anak sebanyak 4.448 kasus. Dari kasus tersebut, 10,72% di antaranya yaitu kasus KDRT. Bentuk kekerasan yang paling banyak dialami korban yaitu kekerasan seksual (47,03%), psikis (18,99%), dan fisik (16,55%).
“Layanan yang paling banyak diterima korban yaitu pengaduan (48,46%), kesehatan (21.47%), dan bantuan hukum (13,62%),” kata Iche.
Lebih lanjut, Kementerian PPPA mengimbau publik untuk memudahkan akses bagi perempuan korban kekerasen atau Keluarga atau siapapun yang melihat dan mendengar, dapat menghubungi SAPA ke nomor 129 dan WhatsApp 08111129129.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz