tirto.id - Anah Anami (59), meratapi nasibnya ketika rumahnya seluas 15 meter di Kampung Bambu, RT 10/RW 008, Kelurahan Papanggo, Kecamatan Tanjung Priok, Jakarta Utara digusur oleh PT Kereta Api Indonesia (KAI) pada Selasa (11/10/2022).
KAI melakukan penggusuran bangunan rumah warga di Kampung Bambu guna mendukung pembangunan Stasiun KRL Temporary di Kawasan Jakarta Internasional Stadium (JIS), Jakarta Utara.
Anah sebenarnya terima saja bila rumahnya yang terbuat dari bambu dan triplek itu digusur oleh ratusan personel gabungan yang saat itu bertugas, lantaran itu merupakan tanah negara. Namun, ia tak terima dengan besaran nominal ganti rugi yang diterima.
“Nilai ganti ruginya nggak manusiawi, masa cuma Rp2,1 juta saja. Mana cukup untuk saya sekeluarga pindah cari kontrakan,” kata Anah saat ditemui reporter Tirto di lokasi. Bahkan, kata Anah, ada warga yang diberikan ganti rugi hanya sebesar Rp700 ribu.
Nominal itu menurutnya tak sepadan dengan rumahnya. Tetapi, biaya ganti rugi itu terpaksa harus ia terima lantaran butuh untuk biaya bersalin putrinya yang baru saja melahirkan pada 5 September lalu.
“Jadi mau nggak mau, saya terpaksa ambil. Sekarang putri saya sama bayinya saya ungsiin ke rumah saudara,” ucapnya.
Saat itu, ia bersama mantu serta dua cucunya berusia 9 dan 17 tahun tengah memindahkan barang dari rumahnya ke tenda yang mereka bangun di sekitar lokasi sebagai tempat pengungsian.
“Saya sudah siap-siap angkut dari kemarin. Jangan sampai digrebek sama petugas," ucapnya yang saat itu mengenakan daster merah marun yang sudah lecak.
Nasib buruk yang menimpanya tak sampai di situ. Saat membongkar rumahnya, wajah Anah tertimpa triplek yang dijadikan sebagai atap rumah bedengnya itu.
“Ini wajah saya ketimpa triplek pas ngebongkar. Mata bengkak, hidung luka, pakai kapas terus pakai betadine," ujarnya. Saat itu, wajah perempuan lansia itu memang terlihat memar. Hidungnya dibalut kapas yang sudah ditetesi betadine.
Anah tak kepikiran dalam otaknya untuk memeriksa lukanya itu ke klinik. "Boro-boro periksa, buat makan saja susah. Kalau ada duit, lebih baik buat makan daripada berobat," tuturnya.
Sebagai hunian sementara, Anah bersama mantu dan kedua cucunya mengungsi di tenda yang mereka bangun. Tenda itu menggunakan tiga bambu yang disandarkan ke pagar besi dengan beratapkan terpal yang ia pinjam dari tetangganya.
Saat kami melakukan percakapan, tiba-tiba sore itu hujan turun cukup deras. Akhirnya Anah mengajak saya masuk ke dalam tendanya itu. "Sini ngobrol di dalam saja," ucapnya.
Di dalam tenda itu, terlihat cucunya yang tengah bersandar di kasur. Sementara sang mantu tengah menikmati sebatang rokok sambil menikmati rintik hujan. Terlihat barang-barang seperti kulkas, kasur, hingga perabotan lain di dalam tenda itu.
“Ini barang-barang mau saya jual, makanya tinggal sementara di sini. Lumayan kalau laku buat biaya tambah-tambah cari kontrakan baru," imbuhnya.
Ia mengaku binggung harus ke mana tinggal lantaran biaya ganti rugi yang diberikan telah habis digunakan untuk kebutuhan persalinan putrinya dan membayar sebagian utangnya. Sementara itu, sang menantu bekerja serabutan dan kedua cucunya tetap harus bersekolah.
“Kalau bisa biayanya ditambahin lagi. Atau kami dipindahin di Rumah Susun JIS. Pemerintah jangan cuma pas pemilu saja ke sini. Pas kami kesusahan, malah nggak ada yang menolong,” kata dia.
Sementara itu, Zeva Siahaan (33), mengaku terkejut ketika melihat dua alat berat belco sudah bertengger dan ratusan personel gabungan dari PT KAI, Pemprov DKI, hingga TNI-Polri berbaris di Kampung Bambu sejak pukul 7 pagi.
Hal yang membuatnya kaget karena ia belum rampung mengemas barang-barangnya. Berbeda dengan Anah yang setuju, Zeva dan sejumlah warga masih menolak penggusuran lantaran nominal yang diberikan oleh pemerintah tidak manusiawi. Ia sendiri ditawarkan biaya ganti rugi sebesar Rp2,9 juta.
“Tadinya dikira belco langsung garuk rumah kami. Tapi nggak lama belco langsung pergi. Mungkin karena mereka ada perimbangan yang belum dapat biaya belum dibongkar,” kata Zeva di lokasi.
Zeva menjelaskan, para petugas sebelum membongkar rumah menanyakan dulu kepada warga yang sudah dapat biaya kerahiman maupun belum. Bagi yang belum, akan ditandai dengan pilox warna kuning.
Sekitar pukul 11.00 WIB, kata Zeva, ratusan petugas langsung mengeluarkan barang-barang warga. Pada pukul 1 siang, lampu mulai dipadamkan. Tak lama kemudian, petugas membongkar bangunan warga Kampung Bambu.
“Warga tidak ada yang berontak atau mengadang. Kalau warga yang sudah mengambil dana dari kelurahan, sebagian sudah membongkar sendiri. Kalau kami, kan, belum terima karena nolak, nggak membongkar dulu," ucapnya.
Ketika melakukan penggusuran, lanjut Zeva, petugas pun tidak ada yang melakukan tindakan kekerasan. Akan tetapi, saat ini ia merasa binggung lantaran warga yang menolak belum diberikan kepastian.
"Kalau gini kan kami binggung, kaya disepelekan. Apalagi lampu sudah padam," tuturnya.
Lokasi Kampung Bambu berada di seberang Stadion JIS yang dibatasi rel kereta api. Masih satu kawasan dengan Kampung Bayam yang sebelumnya digusur untuk pembangunan mega proyek andalan Gubernur Anies Baswedan tersebut.
Kepala Humas KAI Daop 1 Jakarta, Eva Chairunisa mengatakan, pihaknya mengerahkan sebanyak 670 personel gabungan untuk menggusur lahan warga Kampung Bambu. Sejumlah personel itu terdiri dari KAI Daop 1 Jakarta, Satpol PP DKI, Dishub DKI, PPSU DKI, Pemerintah Kota Jakarta Utara, hingga TNI-Polri.
Total warga yang terdampak penggusuran sebanyak 254 orang. Terdiri dari warga Kampung Bambu dan beberapa warga Kampung Bayam, Jakarta Utara.
Dia mengklaim, KAI tak menggunakan alat berat dalam melakukan proses penggusuran. "Tidak ada alat berat, karena memang bukan kegiatan penertiban," kata Eva di lokasi.
Berdasarkan pantauan Tirto pada Selasa (11/10) siang, alat berat belco memang sudah tidak ada. Hanya ratusan aparat gabungan PT KAI, Pemprov DKI, dan TNI-Polri yang menggusur bangunan warga Kampung Bambu.
Terlihat personel tersebut merobohkan bangunan warga dengan menggunakan palu, hingga ditarik dengan tali tambang. Lalu, warga lainnya berinisiatif untuk membongkar dan memindahkan barang mereka masing-masing.
Rata-rata pemukiman warga terbuat dari bambu, kayu, dan triplek, seperti rumah bedeng pada umumnya.
Janji Manis Kementerian PUPR
Zeva Siahaan menjelaskan bukan tanpa alasan terdapat sejumlah warga Kampung Bambu yang menolak digusur. Mereka menolak lantaran dana yang diberikan oleh pemerintah kepada warga tidak sesuai dan tak transparan.
“Saya sendiri nggak setuju karena dana yang dikasih kecil, cuma Rp2,9 juta, nggak sesuai sama yang dijanjikan Menteri PUPR waktu itu. Terus kelurahan juga nggak transparan," tuturnya.
Zeva menjelaskan, awalnya informasi penggusuran ia terima saat mendatangi undangan dari Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR), Basuki Hadimuljono di Hotel Mercure Ancol, Jakarta Utara pada Maret 2022.
Warga disosialisasikan lahan Kampung Bambu akan digunakan untuk pembangunan tol. Saat itu, Basuki memberikan janji manis kepada mereka akan memberikan ganti untung. Bahkan seperti sumur, tanaman, dan sebagainya akan dihitung. Namun, saat itu Basuki belum menyebut nominal.
“Warga yang datang pada setuju karena ganti untung," kata perempuan yang menetap di daerah itu sejak 2010 itu.
Setelah itu, pada Agustus 2022 pihak Kelurahan Papanggo, Tanjung Priok, Jakarta Utara mendatangi rumah warga. Mereka menuliskan nomor rumah warga dengan menggunakan cat. Rumah Zeva ditulis nomor 28. Lalu, warga juga dimintai identitasnya.
Saat itu, pihak Kelurahan Papanggo juga belum menginformasikan kapan warga Kampung Bambu akan digusur. Tak lama kemudian warga diberikan Surat Peringatan (SP) 1.
Kemudian awal Oktober warga diundang oleh Kelurahan Papanggo untuk diadakan sosialisasi mengenai penggusuran bangunan warga. Pada hari itu, warga dipanggil satu-persatu sesuai nomor urut rumah yang telah ditulis. Warga diminta untuk mengisi formulir untuk biaya kerahiman.
“Warga dipanggil nama satu-persatu sesuai nomor, tanpa dikasih lihat nominal, tiba-tiba suruh tanda tangan. Kami pada setuju saja karena pikirannya ganti untung," ujarnya.
"Tidak dijelaskan berapakah luas tanah bangunan, usaha, sumur," lanjutnya. Setelah itu, warga diberikan buku tabungan beserta ATM.
Pada saat melihat nominal hanya Rp2,9 juta, Zeva sempat menyatakan untuk menolak rumahnya digusur karena ia menilai jumlah itu tak sesuai.
"Tapi saya sempat goyah karena warga banyak yang takut-takutin kalau nggak setuju nanti malah zonk, nggak dapat ganti rugi sama sekali," tuturnya.
Akhirnya dia mengaku terpaksa menyetujui penggusuran dengan menandatanganinya. "Tapi saya belum ambil uangnya," akunya.
Akhirnya pada 5 Oktober malam, PT KAI memberikan Surat Peringatan (SP) 2 kepada warga Kampung Bambu agar segera membongkar bangunan mereka.
Keesokan harinya, 6 Oktober, PT KAI kembali melayangkan SP 3 kepada warga untuk membongkar bangunan rumah maksimal pada Senin (10/10/2022).
“Kami hadapi saja. Risiko apa pun kita hadapi sendiri," Zeva wajah nada pasrah.
Agung (42) juga menyatakan menolak penggusuran karena nominal yang diberikan tidak sesuai dengan yang dijanjikan. Pria yang telah menetap di daerah itu sejak 2014 ini hanya menerima biaya ganti rugi sebesar Rp1,4 juta.
Dia menyayangkan kepada pemerintah, terutama pihak Kelurahan Papanggo yang tidak melakukan audiensi dan transparansi mengenai biaya kerahiman yang diterima warga.
“Harusnya kelurahan audiensi dulu ke kami, sama-sama lihat berapa biaya pengganti yang pantas diberikan ke warga. Tapi ini tidak terbuka, tiba-tiba dikasih nominal segitu. Ya kami nggak terima," kata Agung.
Dia meminta pada PT KAI agar mencontoh proses penggusuran yang dilakukan oleh PT. Jakarta Propertindo (Jakpro) kepada warga Kampung Bayam. Saat itu, kedua belah pihak melakukan audiensi sehingga memperoleh kesepakatan dengan nominal yang dapat diterima oleh warga.
Alhasil, warga menerima bangunannya digusur untuk dibangun proyek JIS. Jakpro pun memberikan biaya kerahiman untuk para pengontrak sebesar Rp1,5 juta/KK. Sementara yang memiliki tempat tinggal paling tinggi diberikan biaya ganti rugi sebesar Rp109 juta.
“Etikanya mana dari lurah, nggak ada audiensi ke sini. Harusnya lurah ke sini, didata siapa saja yang dibongkar dan belum. Itu etika moralnya di mana?" ucapnya.
Merasa tak terima, Agung beserta warga yang menolak melaporkan kasus tersebut ke Komnas HAM pada 6 Oktober. Komnas HAM pun meminta PT KAI untuk menghentikan rencana penggusuran sebelum dipenuhi hak kesejahteraan warga.
“Kalau KAI gusur yang sudah terima uang, ya silahkan. Tapi kami yang masih menolak karena tidak sepakat harus dipenuhi hak dan rekomendasi Komnas HAM,” kata dia.
Dia berharap agar pemerintah dapat memberikan biaya kerahiman yang sesuai dengan kesepakatan bersama warga. Ia menyatakan jika pemerintah memberikan biaya ganti rugi yang kecil, ia meminta agar warga dapat direlokasi ke Rumah Susun (Rusun) JIS, Jakarta Utara.
“Utamakan orang tua jompo dan yang punya anak-anak itu direlokasi ke Rusun JIS," pintanya.
Komnas HAM Minta Tunda Penggusuran
Komnas HAM meminta KAI, Pemerintah Kota Jakarta Utara, hingga Kementerian PUPR untuk menunda rencana penggusuran warga Kampung Bambu dan tindakan yang dapat menimbulkan konflik fisik sampai dengan dicapainya solusi bersama yang dapat diterima oleh kedua belah pihak.
Kemudian melakukan pendekatan dan komunikasi persuasif kepada warga agar tercipta situasi yang kondusif. Kemudian mencegah dan menghindari potensi eskalasi konflik dengan cara mengedepankan perlindungan dan pemenuhan hak asasi manusia.
“Memberikan penjelasan atau klarifikasi atas permasalahan tersebut dengan disertai bukti-bukti yang relevan," kata Komisioner Komnas HAM, Beka Ulung melalui keterangan tertulis, Selasa (11/10/2022).
Komnas HAM mengingatkan bahwa hak atas kesejahteraan dan hak atas tempat tinggal dijamin oleh konstitusi dan hukum serta tanggung jawab perusahaan untuk menghormati prinsip HAM diamanatkan dalam hukum internasional.
Seperti Pasal 28I ayat (4) UUD 1945; Pasal 40 UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia; Pasal 11 UU Nomor 11 Tahun 2005 tentang Pengesahan Kovenan Internasional tentang Hak-hak Ekonomi, Sosial, dan Budaya; dan Resolusi Perserikatan Bangsa-Bangsa Nomor 17/4 tanggal 16 Juni 2011 tentang Petunjuk Prinsip Bisnis dan HAM bahwa.
Komnas HAM pun bersedia apabila warga dan PT KAI serta Pemkot Jakut membutuhkan mediasi atas permasalahan penggusuran Kampung Bambu guna mengupayakan penyelesaian terbaik bagi semua pihak dengan pendekatan perspektif hak asasi manusia.
“Komnas HAM RI meminta agar klarifikasi dan jawaban saudara disampaikan paling lambat 30 hari,” kata dia.
Respons KCI & Lurah Papanggo
Kepala Humas KAI Daop 1 Jakarta, Eva Chairunisa mengatakan, mengenai sejumlah warga yang menolak karena nominal ganti rugi yang tak sesuai, Eva mengatakan hal tersebut agar ditanyakan kepada Kementerian PUPR.
“Seluruhnya sudah dikoordnasikan degan PUPR dan Pemkot [Jakarta Utara]. Tapi sudah beres, sudah selesai semua [warga terima]," kata Eva.
Dia menuturkan warga bisa menanyakan ke Pemerintah Kota Jakarta Utara apakah mereka yang digusur akan direlokasi ke Rumah Susun JIS atau tidak.
Namun, Eva tak terlalu merespons permintaan Komnas HAM untuk menghentikan penggusuran Kampung Bambu selama pengaduan masih berlangsung di lembaga tersebut.
“Ini kan tempat ini sudah dikosongkan. Jadi kalau dikosongkan, memang secara mandiri [warga] sudah mengosongkan. Jadi mereka memang secara kooperatif sudah bersedia dari pindah dari tempat tersebut," akunya.
Sementara itu, Lurah Papanggo, Toni Haryono mengaku tak mengetahui jika pihaknya menutupi nominal ganti rugi yang akan diterima saat warga menandatangani persetujuan biaya kerahiman.
“Kalau itu saya nggak tahu, yang jelas masih pada lihat dulu. Kan tadi namanya diundang, kan dilihat, kalau setuju ya sudah, kalau nggak, pilihan mereka," kata Toni di lokasi.
Toni juga mengaku tak mengetahui berapa kisaran biaya ganti rugi yang diberikan kepada warga. Sebab Petugas Kelurahan Papanggo hanya membantu untuk memfasilitasi penggusuran. Ia mengatakan itu merupakan kewenangan PT. KAI.
“Namanya dari pemerintah sudah memikirkan bagaimana bisa bantu untuk ongkos bongkar, buat biaya bongkarnya," ucapnya.
Dia pun tak mempermasalahkan jika warga yang menolak penggusuran melaporkan ke Komnas HAM. Kemudian, untuk warga yang menolak penggusuran, dia mengatakan akan dibahas lebih lanjut oleh pihak terkait.
“Nanti ada pembahasan selanjutnya," imbuhnya.
Lebih lanjut, dia mengatakan, untuk warga yang setuju untuk digusur, namun belum menerima biaya ganti rugi, dia mengatakan saat ini masih dalam proses.
“Tunggu saja, lagi proses. Tenang saja, kalau mereka sudah setuju, kami semua bantu. Pokoknya dari Bank DKI karena ini banyak,” kata dia.
Reporter Tirto telah coba menghubungi Kementerian PUPR. Namun hingga artikel ini ditayangkan, mereka belum memberikan respons.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Abdul Aziz