tirto.id - Pernyataan Polri soal penyebab kematian ratusan suporter dalam tragedi Stadion Kanjuruhan bukan karena gas air mata yang ditembakkan polisi menuai protes. Apalagi kepolisian mengatakan para suporter meninggal karena kekurangan oksigen akibat desak-desakan.
“Dari penjelasan para ahli dokter spesialis yang menangani para korban, baik korban yang meninggal dunia maupun korban-korban yang luka dari dokter spesialis penyakit dalam, penyakit paru, penyakit THT, dan spesialis penyakit mata, tidak satu pun yang menyebutkan bahwa penyebab kematian adalah gas air mata, tetapi penyebab kematian adalah kekurangan oksigen,” kata Kadiv Humas Mabes Polri, Irjen Pol Dedi Prasetyo di Jakarta, Senin (10/10/2022).
Dedi menambahkan, “Karena apa? Terjadi berdesak-desakan, kemudian terinjak-injak, bertumpuk-tumpukan, mengakibatkan kekurangan oksigen pada pintu 13, pintu 11, pintu 14 dan pintu 3.”
Dedi juga mengakui bahwa Polri menggunakan gas air mata kedaluwarsa. “Ada beberapa yang ditemukan [gas air mata] tahun 2021, saya masih belum tahu jumlahnya, tapi ada beberapa,” kata Dedi.
Pernyataan kepolisian seolah merespons temuan Tim Gabungan Pencari Fakta (TGPF) Koalisi Masyarakat Sipil. Salah satu poin yang menjadi sorotan meraka adalah penggunaan gas air mata yang memicu jatuhnya korban dalam insiden pasca laga Arema vs Persebaya tersebut.
Polri Dinilai Abai Konsep Kausalitas
Ketua Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBJI) M. Isnur mengkritik pernyataan Polri soal gas air mata bukanlah penyebab utama kematian ratusan orang dalam insiden Kanjuruhan. Isnur justru menilai kepolisian tengah menolak konsep kausalitas dalam tragedi Kanjuruhan.
“Pertanyaannya, kekurangan oksigen karena apa? Karena orang berdesak-desakan, karena orang kemudian sebelumnya dia berlari menuju ruangan pintu yang tertutup, tapi semua itu penyebabnya adalah ketika di tribun, karena adanya gas air mata,” kata Isnur kepada Tirto, Selasa (11/10/2022).
Isnur menambahkan, “Jadi kalau kita belajar tentang teori kausalitas dalam [hukum] pidana, penyebab utama orang kehilangan oksigen dan meninggal adalah karena adanya gas air mata.”
Isnur menilai, pernyataan Polri justru membuat publik sedih, marah dan tidak terima karena Polri berupaya lepas tanggung jawab dan mencari alasan tentang bahaya gas air mata.
Di sisi lain, Polri sebenarnya tengah melakukan penghindaran secara kontraproduktif dalam kasus Kanjuruhan. Ia beralasan, ada 3 anggota yang ditetapkan tersangka dalam penggunaan gas air mata.
“Jadi kalau kepolisian menghindari gas air mata itu adalah penyebab kesalahan dan kematian banyak orang, kenapa kepolisian menetapkan tersangka 3 orang, Danki Brimob, Kasat Samapta, dan kemudian Kabag ops? Ketiga orang ini semua berkaitan dengan gas air mata," kata Isnur.
“Jadi mereka [polisi] sebenarnya menutup upaya hukum yang mereka lakukan sendiri," tutur Isnur.
Hal senada diungkapkan peneliti lembaga swadaya masyarakat KontraS, Andi Muhammad Rezaldi. Ia mempertanyakan dasar hingga kesimpulan dari logika polisi yang menafikan gas air mata dalam insiden tersebut. Padahal gas air mata yang membuat suasana stadion menjadi kacau hingga desak-desakan menuju pintu keluar.
“Dalam kondisi hari ini kita tidak boleh percaya begitu saja apa yang disampaikan oleh Polri. Apa dasarnya Polri menyatakan demikian? Apakah kesimpulan tersebut didasari pada hasil otopsi? Menurut saya penting ada dokter forensik dan ahli yang independen untuk mendalami lebih lanjut terkait penyebab kematian korban,” kata Andi kepada reporter Tirto, Selasa (11/10/2022).
Andi khawatir pernyataan Polri tidak objektif dalam penggunaan gas air mata. Karena itu, Andi mendorong agar ada dokter forensik dan ahli independen untuk membahas soal penyebab kematian para korban.
Andi, yang juga bagian TGPF Koalisi Masyarakat Sipil ini mengingatkan, timnya menemukan indikasi Polri tidak menggunakan gas air mata sesuai SOP serta melanggar aturan FIFA. Polri juga tidak menggunakan upaya lain selain gas air mata sebagai upaya pencegahan huru hara seperti suara peringatan maupun kendali tangan kosong secara lunak.
“Padahal berdasarkan Perkap Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penggunaan Kekuatan, polisi harus melalui tahap-tahap tertentu sebelum mengambil tahap penembakan gas air mata," kata Andi.
Namun Andi belum mau berbicara lebih jauh soal penggunaan gas air mata kedaluwarsa. Ia beralasan, hal itu masih dalam pendalaman tim TGPF. Akan tetapi, ia tetap mendorong agar ada pembuktian terkait klaim Polri terkait penyebab kematian ratusan suporter tersebut.
Gas Air Mata jadi Pemicu Kepanikan Penonton
Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi berbicara lebih jauh soal klaim Polri. Fahmi mengingatkan insiden di Stadion Kanjuruhan terjadi akibat penggunaan gas air mata, terlepas bahwa gas air mata berbahaya atau tidak.
“Bisa jadi benar bahwa secara medis korban bukan meninggal karena dampak bahan kimia dalam gas air mata. Namun jelas bahwa penggunaan gas air mata secara serampangan saat itu, telah memicu kepanikan sehingga situasi makin tidak terkendali, di antaranya karena para penonton juga mengetahui efek yang dihadirkan oleh gas air mata. Secara naluriah, para penonton akan berusaha menghindar, menyelamatkan diri sendiri,” kata Fahmi kepada Tirto.
Fahmi menuturkan, kefatalan sangat mungkin terjadi saat puluhan ribu orang yang panik berupaya keluar pada akses yang terbatas. Ia lantas menyoal logika Polri dalam pendekatan bahwa mereka meninggal bukan akibat gas air mata.
“Masihkah penting bagi Polri untuk bersikukuh menolak kenyataan bahwa para penonton panik yang berdesakan, terhimpit, terinjak hingga kehilangan nyawa itu bukan karena kekeliruan mereka dalam menentukan cara bertindak yang tepat? Pertama, penggunaan gas air mata. Kedua, tindak kekerasan fisik terhadap penonton yang sedang panik membubarkan diri," kata Fahmi.
Fahmi mengakui ada riset yang menunjukkan bahwa tidak ada bukti orang sehat akan mengalami efek kesehatan jangka panjang akibat terpapar bahan kimia dalam gas air mata.
Akan tetapi, kata dia, riset juga menunjukkan dalam sejumlah kasus, paparan gas air mata berlebih bila terkena mata bisa menyebabkan kebutaan, dapat memicu gangguan pernapasan pada pengidap asma. Pada orang dalam kondisi normal sekalipun, iritasi gas air mata masih dapat menyebabkan luka bakar.
“Makanya tolol jika masih ada yang berpendapat bahwa selain di ruang terbuka, penggunaan gas air mata di dalam stadion itu masih aman. Apalagi jika dikatakan telah sesuai protap. Bukankah protap seperti itu patut diduga mengabaikan HAM?" tanya Fahmi.
Sementara itu, terkait soal penggunaan gas air mata kedaluwarsa, Fahmi memahami logika bahwa gas air mata kedaluwarsa tidak berbahaya. Namun, Fahmi mengingatkna penggunaan gas air mata adalah pemicu tragedi korban meninggal. Kemudian, tidak ada orang yang tahu apakah gas air mata kedaluwarsa itu punya dampak bagi kesehatan atau tidak.
Ia mengingatkan, publik tahu bahwa gas air mata adalah salah satu andalan kepolisian untuk menghadirkan efek gentar dalam pengendalian huru hara. Polri juga bisa mengklaim bahwa gas air mata tidak berbahaya karena bahan kedaluwarsa.
“Namun beranikah Polri mengklaim bahwa kepanikan luar biasa puluhan ribu penonton itu tidak diakibatkan penggunaan gas air mata yang diarahkan ke tribun dan memapar hampir seantero stadion?" kata Fahmi.
Di sisi lain, Fahmi mengingatkan penggunaan gas air mata tetap melanggar aturan FIFA, meski gas air mata tersebut kedaluwarsa atau tidak. Ia mengatakan, publik mudah panik dan menyulitkan pengendalian massa ketika gas air mata digunakan.
Ia pun menyoroti alasan Polri menggunakan gas air mata kedaluwarsa padahal Polri punya anggaran besar dalam pengadaan. Karena itu, Fahmi mendesak agar ada upaya audit dan inspeksi. Ia mengingatkan bahwa kasus penggunaan gas air mata kedaluwarsa bukan kali pertama.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz