tirto.id - Kementerian Kesehatan mencatat 61,27 persen penduduk Indonesia usia tiga tahun ke atas mengonsumsi minuman manis lebih dari satu kali per hari. Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit (P2P) Kemenkes, Maxi Rein Rondonuwu mengatakan, data tersebut berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018.
Riskesdas 2018 juga menunjukkan 30,22 persen orang Indonesia mengonsumsi minuman manis sebanyak 1-6 kali per minggu dan hanya 8,51 persen orang mengonsumsi minuman manis kurang dari tiga kali per bulan. Maxi menekankan konsumsi gula berlebih baik dari makanan atau minuman berisiko tinggi menyebabkan masalah kesehatan, mulai dari gula, darah tinggi, obesitas, hingga diabetes melitus (DM).
Dalam kurun waktu lima tahun saja, kata Maxi, berdasarkan hasil Riskesdas terjadi peningkatan prevalensi penyakit tidak menular (PTM) di Indonesia. Data 2013 menunjukkan prevalensi diabetes sebesar 1,5 permil dan meningkat pada 2018 menjadi 2 permil.
“Tentunya ini akan meningkatkan beban pembiayaan kesehatan di Indonesia. Terlebih lima penyebab kematian terbanyak di Indonesia didominasi oleh penyakit tidak menular,” kata Maxi dikutip dari siaran pers Kemenkes beberapa waktu lalu.
Data Kemenkes juga menunjukkan 28,7 persen masyarakat Indonesia mengonsumsi gula, garam, dan lemak (GGL) melebihi batas yang dianjurkan. Batasan konsumsi GGL sudah diatur dalam Permenkes Nomor 63 Tahun 2015 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 30 Tahun 2013 tentang Pencantuman Informasi Kandungan Gula, Garam, dan Lemak serta Pesan Kesehatan untuk Pangan Olahan dan Pangan Siap Saji. [PDF]
Maxi mengklaim pemerintah telah melakukan berbagai upaya dan strategi dalam mengendalikan GGL, mencakup aspek regulasi, reformulasi pangan, penetapan pajak atau cukai, studi atau riset, dan edukasi.
Kebijakan Cukai MBDK Sudah Diatur dalam UU
Selain itu, Maxi mengatakan kebijakan cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) juga sudah diatur dalam UU No. 39 Tahun 2007 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 1995 tentang Cukai. Terkait tarik-ulur penerapan cukai minuman berpemanis baca di link ini.
Dia berharap dengan pemberlakuan cukai pada produk makanan dan minuman yang tinggi gula, garam, dan lemak dapat menginisiasi terciptanya pangan yang lebih sehat dengan reformulasi makanan, sehingga menurunkan risiko terjadinya PTM.
Kemenkes juga mengimbau masyarakat untuk menjaga kesehatan mulai dari sendiri, lebih bijak dalam memperhatikan asupan makan sesuai dengan kampanye “Isi Piringku.” Serta menjaga asupan gula, garam, dan lemak sesuai dengan rekomendasi maksimum, yaitu gula sebanyak 50 gram per hari (4 sendok makan/sdm), garam sebanyak dua gram (1 sendok teh/sdt), dan lemak sebanyak 67 gram (5 sdm).
Hal tersebut penting dilakukan karena berdasarkan data Riskesdas, tren penyakit jantung, stroke, ginjal kronis, diabetes, dan hipertensi di Indonesia meningkat dari data 2013 ke 2018. Rinciannya, yaitu: penyakit jantung naik dari 0,5 persen menjadi 1,5 persen; stroke dari 7 persen menjadi 10,9 persen; ginjal kronis dari 2 persen menjadi 3,8 persen; diabetes dari 1,5 persen menjadi 2 persen; serta hipertensi dari 25,8 persen menjadi 34,1 persen.
Pemerintah Didorong Terapkan Cukai MBDK
Karena itu, Public Health Research Associate Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI), Gita Kusnadi mendorong pemerintah segera menerapkan cukai pada MBDK.
“Cukai MBDK perlu segera diterapkan mengingat beberapa hal mulai dari aspek kesehatan, sosial ekonomi, praktik baik yang ditunjukkan oleh negara lain, pemenuhan aspek legalitas (MBDK sudah memenuhi kriteria barang kena cukai/BKC), dan juga efektivitas dari kebijakan ini sendiri,” kata Gita kepada reporter Tirto beberapa waktu lalu.
CISDI merekomendasikan pengenaan cukai dapat dilakukan secara komprehensif ke semua jenis produk MBDK. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergeseran perilaku masyarakat guna beralih ke produk yang tidak dikenakan cukai. Seperti halnya produk yang memiliki dampak negatif yaitu rokok, CISDI menilai produsen MBDK perlu menginformasikan mengenai tingkat gula atau pemanis yang terkandung dalam produknya.
Menurut Gita, perlu ada pelabelan yang lebih mudah dipahami oleh konsumen terkait kandungan gula atau pemanis dalam produk MBDK, seperti rendah, sedang atau tinggi berdasarkan rekomendasi batasan gula oleh Kemenkes.
“Hal ini mengingat dampak kesehatan dalam jangka panjang, terutama bagi anak-anak yang dapat diakibatkan oleh konsumsi MBDK yang berlebihan,” ujar dia.
Gita juga berharap pemerintah dapat mempertimbangkan akibat dari konsumsi MBDK yang berlebihan dari berbagai aspek, terutama kesehatan masyarakat. “Kami berharap pemerintah dapat segera mengaktualisasikan rencana implementasi cukai pada produk MBDK yang sudah diwacanakan semenjak 2020,” tutur dia.
Lebih lanjut, kata dia, CISDI merilis sebuah studi yang menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia terpapar promosi iklan minuman tidak sehat di televisi, mayoritas MBDK, setiap empat menit sekali. Temuan lain menyebut satu dari 10 anak Indonesia (14,7 persen) mengonsumsi satu jenis MBDK, minuman berkarbonasi (soft drinks) sebanyak satu hingga enam kali per minggunya.
Sementara itu, kata Gita, Riskesdas menunjukkan prevalensi DM pada kelompok umur 15-24 tahun tidak kunjung berkurang, tetap di angka 0,1 persen pada 2013 dan 2018. Melalui petisi daring, CISDI mencatat per 17 September 2022, terdapat lebih dari seribu orang menandatangani petisi untuk mendesak pemerintah memberlakukan cukai produk MBDK sebesar 20 persen.
Dia menyebut bahwa survei daring CISDI terhadap 2.605 responden juga menemukan setidaknya 78 persen responden merasa minuman berpemanis memenuhi kriteria barang kena cukai. Selanjutnya, 80 persen responden atau setara delapan dari 10 orang mendukung rencana pemerintah untuk mengenakan cukai pada setiap produk MBDK. Lalu, 85 persen responden mengaku akan mengurangi konsumsi MBDK jika pengenaan cukai mencapai 20 persen.
Dokter Ahli Gizi Komunitas, Tan Shot Yen juga mendorong agar pemerintah segera menerapkan cukai pada MBDK di Indonesia. “Setuju banget dengan cukai. Gula memberi kecanduan yang enggak bisa direm,” kata Tan kepada Tirto, Selasa malam (10/10/2022).
Tan menerangkan gula rafinasi tidak dibutuhkan tubuh, kecuali industri pangan yang sengaja menciptakan produk-produk ultra proses penyebab kecanduan. Dengan adanya pajak tinggi, maka makanan-minuman manis tidak terjangkau dan hanya bisa dikonsumsi kelompok tertentu yang uangnya juga berlebih, serta jika sakit bisa menanggungnya sendiri.
“Anda bisa bayangkan jika kelompok menengah ke bawah dengan literasi seadanya kecanduan gula. Produktivitas anjlok karena sakit dan sakit akibat kelebihan konsumsi gula ini enggak main-main konsekuensinya. Berbiaya besar jika sudah jadi komplikasi,” kata Tan.
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Abdul Aziz