Menuju konten utama

CISDI Dorong Pemerintah Segera Terapkan Cukai Minuman Berpemanis

CISDI beralasan konsumsi minuman berpemanis dalam kemasan (BMDK) dalam jangka panjang berdampak pada kesehatan, terutama bagi anak-anak.

CISDI Dorong Pemerintah Segera Terapkan Cukai Minuman Berpemanis
Ilustrasi Minuman Manis. FOTO/iStockphoto

tirto.id - Center for Indonesia Strategic Development Initiative (CISDI) mendorong pemerintah segera menerapkan cukai pada minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) di Indonesia. Hal itu disampaikan Public Health Research Associate CISDI, Gita Kusnadi.

“Cukai MBDK perlu untuk segera diterapkan mengingat beberapa hal mulai dari aspek kesehatan, sosial ekonomi, praktik baik yang ditunjukkan oleh negara lain, pemenuhan aspek legalitas (MBDK sudah memenuhi kriteria barang kena cukai atau BKC), dan juga efektifitas dari kebijakan ini sendiri,” kata Gita Kusnadi kepada reporter Tirto, Senin (19/9/2022) malam.

CISDI merekomendasikan pengenaan cukai dapat dilakukan secara komprehensif ke semua jenis produk MBDK. Hal ini bertujuan untuk menghindari pergeseran perilaku masyarakat guna beralih ke produk yang tidak dikenakan cukai.

Seperti halnya produk yang memiliki dampak negatif yaitu rokok, CISDI menilai produsen MBDK perlu menginformasikan mengenai tingkat gula atau pemanis yang terkandung dalam produknya. Gita mengatakan perlu pelabelan yang lebih mudah dipahami oleh konsumen terkait kandungan gula atau pemanis dalam produk MBDK, seperti rendah, sedang atau tinggi berdasarkan rekomendasi batasan gula oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) RI.

“Hal ini mengingat dampak kesehatan dalam jangka panjang, terutama bagi anak-anak yang dapat diakibatkan oleh konsumsi MBDK yang berlebihan,” ujar dia.

Gita menerangkan bahwa bahaya mengonsumsi MBDK secara terus-menerus yang paling utama adalah obesitas dan diabetes. Beberapa penelitian menunjukkan konsumsi MBDK yang berlebihan berkaitan dengan peningkatan risiko penyakit tidak menular (PTM) lain seperti hipertensi, penyakit jantung, bahkan beberapa jenis kanker.

“Hal ini terutama memprihatinkan bagi generasi muda saat ini, karena dampak jangka panjang tidak hanya dapat dirasakan dari segi kesehatan tapi juga ekonomi (untuk pembiayaan kesehatan dan akibat berkurangnya produktivitas),” kata dia.

Gita berharap pemerintah dapat mempertimbangkan akibat dari konsumsi MBDK yang berlebihan dari berbagai aspek, terutama kesehatan masyarakat.

“Kami berharap pemerintah dapat segera mengaktualisasikan rencana implementasi cukai pada produk MBDK yang sudah diwacanakan semenjak tahun 2020,” tutur dia.

Lebih lanjut, Gita mengimbau masyarakat agar mereka lebih waspada terhadap dampak dari konsumsi MBDK yang berlebihan, terutama bagi kesehatan.

CISDI merilis sebuah studi yang menunjukkan bahwa anak-anak di Indonesia terpapar promosi iklan minuman tidak sehat di televisi, mayoritas MBDK, setiap empat menit sekali. Temuan lain menyebut satu dari 10 anak Indonesia (14,7 persen) mengonsumsi satu jenis MBDK, minuman berkarbonasi (soft drinks) sebanyak satu hingga enam kali per minggunya.

Sementara itu, Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) menunjukkan prevalensi diabetes melitus pada kelompok umur 15-24 tahun tidak kunjung berkurang, tetap di angka 0,1 persen pada 2013 dan 2018.

Melalui petisi daring, CISDI mencatat hingga Sabtu (17/9/2022) terdapat lebih dari seribu orang menandatangani petisi untuk mendesak pemerintah memberlakukan cukai produk MBDK sebesar 20 persen.

Survei daring CISDI terhadap 2.605 responden juga menemukan setidaknya 78 persen responden merasa minuman berpemanis memenuhi kriteria barang kena cukai.

Kemudian, 80 persen responden atau setara delapan dari 10 orang mendukung rencana pemerintah untuk mengenakan cukai pada setiap produk MBDK. Lalu, 85 persen responden mengaku akan mengurangi konsumsi MBDK jika pengenaan cukai mencapai 20 persen.

Baca juga artikel terkait CUKAI MINUMAN MANIS atau tulisan lainnya dari Farid Nurhakim

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Farid Nurhakim
Penulis: Farid Nurhakim
Editor: Gilang Ramadhan