tirto.id - Sejumlah pengusaha dibuat was-was dengan wacana pemerintah menarik cukai dari minuman berpemanis. Meski belum ada kepastian kapan bakal diterapkan, Menteri Keuangan Sri Mulyani tampak serius menyampaikan kajian atas rencana kebijakan kepada Komisi XI DPR RI pada Rabu (19/2/2020) lalu.
Konsumsi minuman berpemanis, ujar Sri Mulyani, harus dikontrol lantaran jadi sumber penyakit seperti diabetes melitus (kencing manis) pada penduduk usia di atas 15 tahun serta meningkatnya proporsi obesitas penduduk dewasa dalam 10 tahun terakhir.
Setidaknya itu lah yang tergambar dalam Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) yang dirilis Kementerian Kesehatan. “Mungkin ini salah satu yang sumbang biaya besar dari BPJS kesehatan,” ucap mantan direktur pelaksana bank dunia tersebut.
Objek cukai nantinya akan mencakup minuman siap konsumsi mengandung pemanis, baik itu gula maupun pemanis buatan, minuman berkarbonasi hingga minuman sachet yang mengandung gula dalam jumlah besar.
Semakin besar kadar gula dalam minuman, maka tarifnya akan dipatok semakin mahal. Pemanis buatan juga akan dipungut cukai lebih tinggi lagi dari gula biasa.
Dengan produksi minuman berpemanis sekitar 3.746 liter, berdasarkan data Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) tahun 2016 , pemerintah memperkirakan potensi cukainya mencapai Rp 6,25 Triliun.
Ketua Gabungan Pengusaha Makanan dan Minuman Indonesia (GAPMMI) Adhi Lukman mengaku keberatan dengan rencana itu. Ia bilang pemerintah perlu harus memperjelas lebih dulu niat yang sebenarnya dikejar.
Jika tujuannya adalah mengejar penerimaan negara, sudah barang tentu yang terjadi akan sebaliknya. Sebab, kenaikan cukai ini menurutnya bakal berimbas pada kenaikan harga barang dan menurunnya penjualan.
Hal tersebut, kata Adhi, juga terkonfirmasi dengan kajian yang dilakukan pengusaha bersama LPEM UI terkait dampak rencana pengenaan cukai bagi minuman berpemanis pada tahun 2012.
Di sisi lain, ia juga mengklaim belum ada bukti kalau kenaikan cukai akan berkontribusi pada penurunan penyakit tak menular (PTM).
Ia pun lebih menyarankan solusi seperti edukasi konsumen untuk mengontrol konsumsinya, reformulasi produk menyesuaikan tren PTM dan alternatif pemanis yang lebih baik.
“Kami sangat mengkhawatirkan ini, karena tujuan harus jelas. Kalau judulnya ‘Potensi Penerimaan‘, apakah tepat pemerintah melakukan ini?” ucap Adhi saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (21/2/2020).
Peneliti fislal Center Of Reform on Economics (CORE) Yusuf Rendy Manilet mengatakan, pengenaan cukai bakal makin membebani pengusaha yang telah punya berbagai kewajiban tambahan di tahun 2020.
Sebut saja Undang-Undang (UU) No 33 Tahun 2014 tentang Jaminan Produk Halal yang mengharuskan pengusaha memiliki sertifikasi untuk tiap produknya; serta UU No. 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air (SDA) yang membuat pengusaha merogoh lebih banyak biaya karena harus bekerja sama dengan BUMD serta menyisihkan 10 persen laba untuk konservasi.
Pada taraf ekstrem, tingginya beban kepada para pengusaha itu dapat membuat industri melakukan efisiensi karyawan alias pemutusan hubungan kerja (PHK).
“Jadi ini jangan bertubi-tubi juga. Ini akan berdampak ke industri terutama ke masyarakat,” ucap Yusuf.
Di sisi lain, pengenaan cukai juga bakal berdampak signifikan terhadap inflasi. Data Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, andil kelompok makanan jadi, minuman, rokok dan tembakau adalah yang tertinggi kedua setelah kelompok makanan, yakni mencapai 0,67 persen dan 0,68 persen di tahun 2018 dan 2019.
Selama Januari-Desember 2019 nilai inflasi kelompok makanan jadi, minuman dan rokok bahkan mencapai 3,97 persen atau di atas angka inflasi umum di kisaran 2,72 persen.
Pengajar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Telisa Aulia Falianty menilai, dampaknya pada kenaikan harga barang dan bahan pokok perlu diantisipasi.
Ia bilang, pengenaan cukai sah-sah saja diberlakukan dan dapat mendesak pengusaha mengurangi pemakaian pemanis buatan yang relatif lebih berbahaya.
Namun menurutnya, menilai tarifnya perlu bertahap misalnya dimulai dari kisaran Rp500-1.000 per liter dulu. “Jadi jangan sampai shock. Pemerintah perlu lihat timing,” ucapnya.
Sementara itu, Kementerian Perindustrian masih menganalisis dampak pengenaan cukai terhadap minuman berpemanis terhadap industri minuman di Tanah Air.
Meski kajian masih berjalan, Direktur Industri Hasil Minuman Tembakau dan Bahan Penyegar Kemenperin Supriadi memastikan kebijakan itu akan berdampak terhadap penurunan permintaan.
Selain itu, kinerja produksi juga diproyeksi akan menurun dan berdampak terhadap pertumbuhan industri minuman. Kendati demikian, ia belum dapat memastikan secara kuantitatif berapa penurunan permintaan yang akan terjadi.
“Yang sudah pasti secara kualitatif dengan adanya kenaikan cukai berdampak pada penurunan demand karena adanya kenaikan harga jual,” ujar Supriadi.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana