Menuju konten utama

Repotnya Sertifikasi Halal untuk UMKM Seperti Warteg & RM Padang

Persiapan mandatori jaminan produk halal masih bolong di sana-sini. Pengusaha warung makan seperti Warteg dan Nasi Padang kebingungan.

Repotnya Sertifikasi Halal untuk UMKM Seperti Warteg & RM Padang
ilustrasi konsumsi makanan di warteg. tirto/andrey gromico

tirto.id - Kesiapan pemerintah untuk menerapkan Undang-Undang Jaminan Produk Halal (JPH) mulai 17 Oktober 2019 nampaknya jauh dari ekspektasi. Meski telah lima tahun ditunda, kebijakan tersebut masih bikin ketar-ketir sejumlah pelaku usaha, terutama yang skala bisnisnya mikro, kecil dan menengah (UMKM).

Ketua Asosiasi UMKM Indonesia (Akumindo), M. Ikhsan Ingratubun, menyebut kegelisahan para pengusaha itu bukan tanpa alasan. Sebab, pada praktiknya, kewajiban sertifikasi halal lebih pelik dari yang dikira.

Pertama, tidak adanya batasan yang jelas soal produk apa saja yang perlu mendapat label halal dari Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH).

Usaha seperti Warung Tegal sampai Rumah Makan Padang yang punya beragam menu bakal tekor karena biaya yang dikeluarkan untuk sertifikasi akan lebih besar.

“Satu rumah makan, produk bisa 20, masa semua harus sertifikasi? Itu belum clear,” ucap Ikhsan saat dihubungi reporter Tirto, Kamis (10/10/2019).

Kedua, lantaran pemerintah belum memberikan kepastian serta transparansi tarif bagi para pengusaha. Dari anggota Akumindo, ia mendapat informasi bahwa biaya sertifikasi bisa berbeda di tiap daerah, mulai dari Rp2,5 juta, Rp3 juta bahkan hingga mendekati Rp10 juta.

Komponen biaya yang harus dikeluarkan pun bermacam-macam seperti registrasi, pendidikan dan pelatihan. Bahkan, Ikhsan menyebut, ada biaya yang harus dikeluarkan untuk sertifikator.

“Ini tidak ada transparansi. Komponen biaya juga terkesan mengada-ngada,” tuturnya. Persoalan ini juga menyangkut jangka waktu proses sertifikasi serta apa yang harus dilakukan pengusaha bila produknya dinyatakan lolos "uji halal" tersebut.

Direktur Eksekutif Indonesia Halal Watch (IHW), Ikhsan Abdullah, mengatakan, setidaknya BPJPH harus memenuhi sejumlah instrumen pendukung sebelum mandatori sertifikasi halal itu berlaku efektif Kamis pekan depan.

Beberapa di antaranya adalah auditor halal, Lembaga Pemeriksa Halal (LPH), standar halal, tarif sertifikasi halal, sistem registrasi, label atau logo halal, serta laboratorium.

Hingga saat ini, hal-hal tersebut belum ada sehingga kegiatan BPJPH belum memenuhi prinsip perlindungan, keadilan, kepastian, akuntabilitas dan transparansi, efektivitas, efisiensi, dan profesionalitas.

Bahkan, lanjut Ikhsan, dari 1,6 juta unit produk makanan dan minuman (mamin) yang tercatat di Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), yang telah tersertifikasi halal baru sekitar 500.000—menurut catatan LPPOM MUI .

Itu artinya, 1,1 juta atau sekitar 70 persen produk mamin yang beredar di pasaran masih harus disertifikasi. “Bila itu tidak bisa dipenuhi maka hak pelaku usaha, UMKM dan industri akan terabaikan dan menimbulkan dampak negatif berupa ketidakpastian hukum,” ucap Ikhsan.

Ketidaksiapan di berbagai aspek itu, menurut Ikhsan, perlu disikapi dengan Penerbitan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-Undang (Perppu) agar Pasal 67 ayat 1—yang mengharuskan beleid ini berlaku efektif 5 tahun diundangkan—bisa diubah.

Sehingga, batas waktunya pemberlakuan JPH baru bisa dilakukan ketika lembaga terkait benar-benar siap.

“Pemerintah belum siap melaksanakan, berarti harus ada aturan untuk menangguhkan atau menambahkan tenggat waktunya. Pasal 67 bisa disempurnakan, diganti Perppu jangan diikat 5 tahun kalau belum siap,” imbuhnya.

Banjir Impor

Pada 23 Mei 2019, jauh sebelum desakan Perppu itu dilontarkan, IHW juga telah mengajukan uji materi PP Nomor 31 Tahun 2019 yang merupakan aturan pelaksana UU JPH. Beleid tersebut dianggap akan membebani UMKM, sebab ketentuan subisidi sertifikasi yang tercantum dalam Pasal 44 ayat (2) UU JPH diubah.

"Seharusnya negara memberi subsidi Sertifikasi Halal bagi UMKM atau tidak dibebankan kepada pihak lain sebagaimana Pasal 62 dan Pasal 63 PP JPH," kata dia seperti dilansir Antara.

Di samping itu, ada pula Pasal 25 dalam PP JPH yang memungkinkan Sertifikasi Halal produk dari negara lain dapat berlaku di Indonesia sesuai kesepakatan kerja sama internasional.

Hal ini dapat berimplikasi pada derasnya impor barang halal ketika produk dalam negeri belum dapat sertifikasi halal dan sulit untuk dijual.

Belakangan, hal tersebut juga dicemaskan oleh Direktur Jenderal Industri Kecil Menengah dan Aneka Kementerian Perindustrian (Kemenperin) Gati Wibawaningsih.

Sebab, laboratorium uji produk halal yang ada belum sepenuhnya siap mengakomodir kebutuhan sertifikasi halal. Jika hambatan ini tak diselesaikan, ia khawatir daya saing industri kecil menegah jadi lemah dan diserobot oleh produk impor yang sudah lebih dulu dicap halal.

“Kita sih targetnya supaya sebanyak banyaknya IKM bisa dapat sertifikat. Sebanyak-banyaknya ini tergantung kesiapan Lab,” ucap Gati kepada wartawan saat ditemui di Padang, Selasa lalu (8/10/2019).

Meski demikian, Kepala Badan Penyelenggara Jaminan Produk Halal (BPJPH) Sukoso memastikan bahwa sertifikasi halal sudah siap dijalankan. Ia juga menepis adanya kekhawatiran kalau lab yang ada tidak siap.

“Soal kesiapan, ya siap. Lab? Bukan unsur utama. Lab hanya pendukung jika ada kasus. PTN dan Kementrian lembaga Terkait memiliki lab dengan akreditasi ISO17025 di seluruh Indonesia,” ucap Sukoso lewat pesan singkat yang diterima Tirto, Rabu lalu (10/10/2019).

Baca juga artikel terkait UU JAMINAN PRODUK HALAL atau tulisan lainnya dari Vincent Fabian Thomas

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Vincent Fabian Thomas
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Hendra Friana