tirto.id - Menteri Keuangan Sri Mulyani mengusulkan pengenaan tarif cukai bagi minuman berpemanis untuk mengendalikan konsumsi atas alasan kesehatan. Nantinya tarif ini akan dikenakan berdasarkan banyaknya kandungan gula dan pemanis buatan yang ada dalam suatu produk. Semakin tinggi kandungan gula maka akan semakin mahal cukainya.
“Kami usulkan minuman yang siap dikonsumsi. Termasuk konsentrat yang dikemas dalam bentuk penjualan eceran dan konsumsinya masih perlu pengenceran,” ucap Sri Mulyani dalam rapat dengar pendapat bersama Komisi XI di DPR RI, Rabu (19/2/2020).
Dari pengenaan cukai itu, setidaknya ada tiga kelompok tarif. Pertama kelompok teh kemasan akan dikenakan tarif senilai Rp1.500 per liter. Dari total produksi sebanyak 2.191 juta liter sesuai data Asosiasi Industri Minuman Ringan (ASRIM) per 2016, maka produksi diestimasi akan turun menjadi 2.015 juta liter. Potensi penerimaan negara diperkirakan mencapai Rp2,7 triliun.
Kedua produk minuman karbonasi akan dipatok tarif Rp2.500 per liter. Produksinya diperkirakan akan turun menjadi 687 juta liter dari 747 liter per data ASRIM 2016. Potensi penerimaannya mencapai Rp1,7 triliun.
Kelompok terakhir adalah minuman saset seperti energy drink sampai kopi kemasan. Tarif cukainya adalah Rp2.500 per liter. Dari produksi sebanyak 808 juta liter sesuai data ASRIM 2016 akan turun menjadi 743 juta liter. Potensi penerimaannya Rp1,85 triliun.
“Apabila dikenakan, akan mendapat potensi penerimaan Rp6,25 triliun,” ucap Sri Mulyani.
Kendati demikian, Sri Mulyani belum menghitung dampak inflasi yang ditimbulkan dan akan menyusulkan penjelasan ini kepada DPR.
Soal mekanisme penerapan cukai, targetnya adalah produk yang dikeluarkan dari pabrik atau pelabuhan. Nantinya, pemerintah tetap akan mengecualikan produk minuman dan saset yang diekspor dan yang dimusnahkan oleh perusahaan.
Ia juga menambahkan penerapan tarif bagi pemanis ini bukan tanpa alasan. Pasalnya data Kementerian Kesehatan menunjukan prevalensi diabetes melitus untuk usia di atas 15 tahun meningkat tajam. Dari 1,5 persen di 2013 menjadi 2 persen dari total penduduk di 2019.
Gara-gara potensi penyakit ini, Sri Mulyani menjelaskan negara seperti Singaapura pun memerangi konsumsi pemanis melalui kampanye besar-besaran. Sebabnya penyakit ini jadi sumber biaya tinggi bagi industri asuransi. Di Indonesia katanya ini bakal menjadi pukulan bagi defisit Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan.
“Mungkin ini salah satu yang sumbang biaya besar dari BPJS kesehatan,” ucap Sri Mulyani.
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Gilang Ramadhan