Menuju konten utama

Produsen Khawatir Cukai MBDK Lemahkan Industri Makanan-Minuman

Pelemahan industri yang menjadi salah satu tulang punggung sektor pengolahan nasional ini pun bisa saja berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).

Produsen Khawatir Cukai MBDK Lemahkan Industri Makanan-Minuman
Area minuman dingin di minimarket Alfamidi Jl. Raya Gandul, Kecamatan Cinere, Kota Depok, Provinsi Jawa Barat (Jabar) pada Senin (10/10/2022) sore. (tirto.id/Farid Nurhakim)

tirto.id - Pemerintah bakal menarik cukai terhadap minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK) pada 2025. Selain itu, melalui Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Peraturan Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan (PP Kesehatan), pemerintah juga berwenang menetapkan cukai terhadap makanan olahan tertentu, membatasi kandungan gula, garam dan lemak, serta melarang promosi MBDK.

Ketua Gabungan Produsen Makanan Minuman Indonesia (GAPMMI), Adhi S. Lukman, memperkirakan bahwa berbagai kebijakan pembatasan itu bakal menekan volume penjualan produk industri makanan dan minuman.

Pelemahan industri yang menjadi salah satu tulang punggung sektor pengolahan nasional ini pun bisa saja berujung pada pemutusan hubungan kerja (PHK).

"Kalau harga produk naik 20 persen saja karena cukai, maka akan turun berapa [volume pejualan]? Itu luar biasa. Kalau harga naik, otomatis penjualan juga turun. Mungkin bakal terjadi PHK," kata Adhi saat dihubungi Tirto, Jumat (23/8/2024).

Adhi mengakui bahwa pungutan cukai baru dari industri makanan dan minuman berpotensi meningkatkan penerimaan negara. Namun, penerapan cukai dan pelarangan promosi secara bersamaan bakal memberikan tekanan berat pada industri.

Tak hanya industri, konsumen pun bakal turut terbebani karena pada akhirnya penarikan cukai bakal membuat para pelaku usaha mentransmisikan kenaikan biaya produksi kepada pembeli. Artinya, konsumenlah yang bakal menanggung lonjakan harga dari kenaikan biaya produksi akibat pungutan cukai baru.

"Kenaikan 20 persen itu di pabrik saja, bahkan bisa 30 persen di end user (konsumen). Apakah konsumen sanggup menanggung itu? saya sangat tidak yakin konsumen sanggup. Kondisi yang tidak naik sekarang ini saja pasar agak lesu," imbuhnya.

Adhi mencoba menghitung, jika tarif cukai sebesar Rp1.700 per liter diterapkan pada produk minuman 350 cc, nilai cukai yang bakal dipungut sekitar Rp600 per botol. Tarif tersebut didasarkan dari hitungan Kementerian Perindustrian (Kemenperin) soal pengenaan cukai MBDK. Potensi kenaikan harga produknya mencapai 6-15 persen.

Seturut studi Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Universitas Indonesia (LPEM UI), elastisitas permintaan minuman berpemanis atau bersoda berada di kisaran 1,7 persen. Itu artinya, kenaikan harga produk sebesar 1 persen akan menurunkan 1,7 persen permintaan.

Mempertimbangkan semua itu, Adhi meminta pemerintah agar tak hanya memperhatikan sisi kesehatan saja dalam menelurkan kebijakan cukai MBDK. Menurutnya, faktor keberlangsungan industri makanan dan minuman pun harus diperhitungkan.

Menurutnya, mematok batas maksimal gula, garam, dan lemak dalam produk pangan olahan saja tidak akan efektif menurunkan angka penyakit tidak menular (PTM). Pasalnya, konsumsi gula, garam, lemak masyarakat hanyalah sebagian kecil yang dikontribusikan oleh produk pangan olahan.

"Pungutan cukai dan pelarangan iklan dan promosi ini akan mengurangi ruang gerak industri makanan-minuman dan pangan olahan dalam menjalankan usaha dan menjangkau konsumen sebagai target market dari produk-produknya," sambung Adhi.

Baca juga artikel terkait MBDK atau tulisan lainnya dari Qonita Azzahra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Qonita Azzahra
Penulis: Qonita Azzahra
Editor: Fadrik Aziz Firdausi