Menuju konten utama

Mengapa Korban KDRT Cenderung Kembali ke Pasangannya?

Mengapa seorang korban KDRT cenderung sulit meninggalkan atau bahkan kembali pe pasangannya?

Mengapa Korban KDRT Cenderung Kembali ke Pasangannya?
Ilustrasi Kekerasan. foto/istockphoto

tirto.id - Kasus kekerasan dalam rumah tangga (KDRT) yang dialami oleh penyanyi Lesti Kejora telah berujung damai, setelah Lesti mencabut laporan terhadap suaminya Rizky Billar.

Lesti Kejora mendatangi Polres Metro Jakarta Selatan pada Jumat (14/10/2022) untuk mencabut laporan dengan didampingi ayahnya, Endang Mulyana dan kuasa hukumnya Sandy Arifin.

"Pada akhirnya saya mencabut laporan, karena mau bagaimanapun suami saya adalah bapak anak saya, dan beliau juga Alhamdulillah sudah mengakui perbuatannya dan meminta maaf kepada saya dan keluarga, khususnya kepada orangtua saya, bapak saya" kata Lesti Kejora di Polres Metro Jakarta Selatan, Jumat (14/10/2022).

Lesti lebih lanjut menjelaskan bahwa keluarganya telah memaafkan suaminya, dan mereka berharap kejadian ini tidak akan terulang kembali.

Menurut dia, suaminya sudah sangat berjanji tidak akan mengulangi tindakan kekerasan dan bahkan menuangkan dalam perjanjian tertulis, serta memohon maaf kepada kedua orang tuanya.

Pencabutan laporan tersebut menuai banyak reaksi dari masyarakat di media sosial. Banyak warganet yang menyayangkan tindakan Lesti, hingga muncul seruan untuk memboikot kedua pasangan selebritas itu dari tv nasional.

Sesaat setelah Lesti mencabut laporannya, tagar "Boikot Lesllar" sempat memenuhi sejumlah unggahan di akun Instagram KPI Pusat.

Mengapa Korban KDRT Cenderung Sulit Lepas dari Pasangannya?

Beberapa perempuan yang mengalami tindakan abusive atau kekerasan oleh pasangannya memang cenderung sulit terlepas dari pasangannya, dan keluar dari toxic relationship.

Dilansir dari Pshycology Today, pada umumnya banyak korban kembali ke hubungan yang kasar karena didorong oleh kebutuhan dasar hidup.

Mereka tidak aman secara finansial, tidak punya tempat untuk pergi, dan tidak ingin tinggal di tempat penampungan.

Beberapa korban lain kembali karena mereka merindukan anak-anak mereka, hewan peliharaan, atau lingkaran sosial yang mereka bagi dengan pelaku.

Dikutip dari situs Women Againts Crime, pergi atau meninggalkan pelaku kekerasan adalah hal yang mungkin bisa membahayakan mereka (korban).

Faktanya, penelitian menunjukkan bahwa sebanyak 75 persen wanita yang dibunuh oleh pasangannya, ketika mereka mencoba untuk pergi atau setelah mereka meninggalkan suatu hubungan.

Tetap bersama pelaku adalah keputusan kompleks yang dibuat banyak wanita karena banyak alasan. Namun, salah satu alasan paling umum adalah bahwa korban mengenal pelaku kekerasannya, dan mengetahui sejauh mana ia akan mempertahankan kendalinya.

Seorang korban dapat dihadapkan dengan banyak ketakutan yang sangat nyata ketika dia memutuskan untuk pergi atau meninggalkan pasangann, termasuk:

- Pelaku menjadi lebih kejam

- Pelaku mengubah kemarahannya pada anak-anaknya, hewan peliharaan, atau orang-orang terkasih lainnya

- Kehilangan hak asuh anak

- Kurangnya sarana untuk menghidupi dirinya sendiri, seperti rekening bank atau rumahnya sendiri

- Malu dari teman atau keluarga mengetahui masalahnya

Pelaku akan berusaha memanipulasi untuk menghancurkan harga diri korban. Selain melakukan tindakan kekerasan fisik, pelaku juga akan melakukan kekerasan emosional kepada korbannya.

Mereka akan berusaha agar korban tetap berada di bawah kekuasaan mereka, dan korban mungkin tidak dapat melarikan diri tanpa bantuan.

Trauma Bonding atau Ikatan Trauma

Seorang korban kekerasan, akan kembali kepelaku atau pasangannya, setidaknya setelah beberapa kali usaha.

Siklus ini disebut sebagai "trauma bonding" atau ikatan trauma. Sebagaimana ditulis oleh Very Well Mind, ikatan trauma adalah keterikatan yang dialami oleh korban kekerasan terhadap pelakunya.

Ikatan tercipta karena siklus penyalahgunaan dan penguatan positif. Setelah melakukan kekerasan atau pelecehan, biasanya pelaku akan menyatakan cinta, penyesalan, meminta maaf, dan sebaliknya mencoba membuat hubungan terasa aman.

Ikatan trauma adalah salah satu alasan mengapa meninggalkan pasangan setelah dilecehkan menjadi situasi yang sulit dan rumit, hingga membuat orang yang dilecehkan merasa terikat dan bergantung pada pasangannya.

Istilah trauma bonding diciptakan oleh Patrick Carnes, PhD, CAS pada tahun 1997.

Carnes merupakan seorang spesialis dalam terapi kecanduan dan pendiri International Institute for Trauma and Addiction Professionals (IITAP).

Dia berbagi teori ikatan trauma dalam presentasi berjudul "Ikatan Trauma, Mengapa Orang Berikat Dengan Mereka yang Menyakiti Mereka."

Carnes mendefinisikan ikatan trauma sebagai "keterikatan disfungsional yang terjadi di hadapan bahaya, rasa malu, atau eksploitasi" dan menganggapnya sebagai salah satu dari sembilan kemungkinan reaksi terhadap situasi traumatis.

Dia menduga bahwa ikatan trauma terjadi karena cara otak kita menangani trauma dan cara-cara ini didasarkan pada cara kita harus beradaptasi ketika kita perlu bertahan hidup.

Dia menemukan dua aspek yang paling penting dari trauma, bagaimana orang menanggapi keparahannya, dan berapa lama itu berlanjut.

Konsep ini terus bertahan hingga hari ini, dengan terapi saat ini sering berfokus pada bagaimana korban dapat memutuskan ikatan trauma dan tidak merasa malu atau bersalah atas bagaimana mereka bereaksi terhadap situasi yang berpotensi mengancam jiwa.

Bagaimana Melapor Jika Mengalami Kasus KDRT?

Laporkan tindakan KDRT dengan menghubungi kepolisian setempat atau hotline KDRT Kemen PPPA, yaitu Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA). Hotline ini bisa langsung dihubungi melalui call center 129 dan WhatsApp 08111-129-129.

Melansir Kemen PPPA hotline SAPA dilengkapi sejumlah layanan yang dapat digunakan oleh korban KDRT, termasuk:

- pelayanan pengaduan;

- pelayanan penjangkauan;

- pelayanan pengelolaan kasus;

- pelayanan akses penampungan sementara;

- pelayanan mediasi; pelayanan pendampingan korban.

Hotline tersebut tidak hanya dapat dihubungi oleh korban, melainkan saksi yang melihat tindak KDRT di dekatnya.

Baca juga artikel terkait KDRT atau tulisan lainnya dari Yandri Daniel Damaledo

tirto.id - Gaya hidup
Penulis: Yandri Daniel Damaledo
Editor: Iswara N Raditya