tirto.id - Peringatan sebelum membaca: Terdapat deskripsi kekerasan fisik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.
Seperti diulas dalam artikel sebelumnya, sebagian publik cenderung meragukan atau meremehkan klaim korban perempuan di kalangan artis pada kasus Kekerasan Domestik dalam Rumah Tangga (KDRT).
Kendati begitu, dalam contoh kasus lain, sikap atau pandangan publik tentu dapat berubah-ubah.
Apa kalian ingat dengan kekerasan yang melibatkan penyanyi dangdut Lesti Kejora dan aktor Rizky Billar?
Kasus KDRT antara Billar dan Lesti menjadi salah satu peristiwa yang paling menyita perhatian publik pada tahun 2022.
Lesti mendapatkan dukungan penuh dari masyarakat setelah ia melaporkan tindak pidana kekerasan fisik yang dilakukan Billar pada 28 September 2022 lalu.
Dalam keterangan Lesti kepada polisi, sebagaimana dikutip dari Tirto.id, “Billar mendorong, membanting Lesti dengan keras ke kasur hingga mencekik dan kembali membanting Lesti ke lantai kamar mandi pada keesokan harinya.”
Aksi kekerasan itu dilakukan Billar dalam perselisihan yang terjadi setelah Lesti menduga Billar melakukan perselingkuhan.
Namun belum sampai sebulan penyelidikan berlangsung, Lesti memilih untuk mencabut pengaduan kasusnya dengan alasan ingin memberikan kesempatan kedua pada Billar demi menjaga keutuhan rumah tangga mereka.
Keputusan Lesti untuk kembali membina rumah tangga dengan pelaku kekerasan ini mendapat kecaman keras dari publik.
Warganet berbondong-bondong mengirimkan hujatan dan menyalahkan Lesti atas keputusannya yang dianggap kurang pertimbangan matang.
Kompleksitas di Balik Kasus KDRT
Sikap publik terhadap Lesti ini sejalan dengan temuan penelitian dalam Journal of Interpersonal Violence (2012).
Studi tersebut menyebutkan, orang-orang akan cenderung menyalahkan korban KDRT yang memutuskan untuk bertahan dalam hubungan yang dipenuhi kekerasan.
Menggunakan skenario-skenario tertentu, peneliti mengamati bahwa reaksi partisipan cenderung lebih keras terhadap korban KDRT yang memilih untuk berdamai dengan pelaku dibandingkan ketika skenario tidak menyebutkan keputusan korban.
Selain itu, victim blaming juga lebih gencar terjadi ketika skenario menunjukkan bahwa korban masih berada dalam hubungan pacaran dibandingkan jika korban sudah menikahi pelaku.
Padahal, ada banyak faktor yang membuat korban KDRT memutuskan untuk mencabut aduannya.
Nyatanya, permasalahan KDRT jauh lebih kompleks dari yang hanya terlihat di layar kaca.
Terdapat banyak alasan rumit yang membuat korban tak kunjung melaporkan kasusnya, atau kemudian memutuskan untuk memaafkan pelaku dengan mencabut aduan kepolisian.
Jenis kekerasan domestik melingkupi kekerasan fisik, seksual, emosional, ekonomi, dan pembatasan aktivitas.
Sementara itu, agak mundur ke belakang, berdasarkan data pengaduan ke LBH APIK Jakarta yang diterima Konde.co, dari Januari-September 2022 terdapat 202 kasus KDRT yang meminta bantuan hukum. Namun yang berani melaporkan dan kasusnya diterima oleh kepolisian hanya 4 kasus.
Angka ini tentu akan lebih besar dalam skala nasional.
Maka dari itulah, kekerasan dalam rumah tangga acap kali disebut hidden crime atau kejahatan yang disembunyikan.
Istilah ini muncul karena maraknya fenomena korban dan pelaku yang menutup-nutupi kasus KDRT yang terjadi dalam rumah tangganya supaya tidak diketahui oleh tetangga dan kerabat.
Kekerasan berbasis gender ini tidak hanya dialami oleh masyarakat biasa, melainkan juga terjadi pada tokoh-tokoh ternama yang terlihat kuat dan berpengaruh di hadapan publik.
Terkadang, mereka berupaya menutup-nutupi kehidupan rumah tangga yang dicoreng oleh kekerasan demi melindungi karier dan persona publik yang telah dibangun dengan susah payah.
Namun tak sedikit pula yang ikut memperjuangkan keadilan dari kasusnya meskipun harus menghadapi skeptisisme dan stigma-stigma dari publik.
Sementara itu, dukungan sosial menjadi faktor yang krusial untuk membantu korban KDRT mengambil keputusan untuk meninggalkan pasangannya dan keluar dari hubungan yang tidak sehat.
Nah, yang menjadi pertanyaan, ketika publik figur yang kasus KDRT-nya diwartakan di mana-mana saja tak semudah itu mendapatkan dukungan publik, bagaimana dengan korban KDRT lainnya?
Tepatnya, bagaimana dengan mereka yang belum berani bersuara dan ketakutannya kian menjadi-jadi?
Dukungan Apa yang Dapat Kita Berikan?
Novia Dwi Rahmaningsih, M.Psi., Psikolog dari Biro Layanan Psikologi Kawan Bicara menegaskan bahwa pengalaman penyintas dan korban KDRT yang tengah memperjuangkan kasusnya sangat berdampak secara psikologis bagi korban-korban lain yang belum berani bersuara.
“Ada mekanisme yang disebut sebagai mekanisme belajar sosial. Jadi saat kita mengambil langkah, atau menilai sesuatu, bukan berarti selalu harus kita yang mengalami sendiri. Akan tetapi, kita juga bisa belajar dari orang lain,” papar Novia.
Nah, bagaimana dengan kasus KDRT dalam sorotan media yang menimbulkan respons dari publik yang condong membela pelaku dan meragukan kredibilitas korban?
Situasi ini memberikan pesan negatif kepada korban lainnya bahwa mengungkapkan penderitaan mereka hanya akan membawa risiko tambahan sehingga mereka cenderung memilih untuk tetap diam.
“Tidak hanya korban, melainkan kita semua secara tidak sadar belajar bahwa ‘tidak ada gunanya kita melapor’. Karena alur prosesnya rumit, bukan tidak mungkin kita jadi lebih stres, sehingga kita akan jadi berpikir berkali-kali untuk kemudian mengungkapkan kekerasan yang kita alami,” lanjut Novia.
Menanggapi hal ini, Novia membagikan beberapa langkah yang dapat kita terapkan untuk memiliki perspektif korban dalam menanggapi kasus kekerasan domestik, baik yang dialami oleh orang yang kita kenal maupun tidak.
Mengambil sikap untuk memercayai korban adalah hal paling dasar yang dapat kita lakukan.
Seiring proses penyelidikan atau investigasi berlangsung, penting bagi kita untuk tetap mendengarkan dan memahami cerita dari sisi korban.
Kita juga perlu ingat bahwa ada risiko besar yang harus dihadapi korban KDRT ketika ia membicarakan tentang kekerasan yang dialaminya.
Maka dari itu, mari berikan ruang aman bagi korban untuk menceritakan kasusnya tanpa takut diintimidasi dan diragukan kredibilitasnya.
Langkah kedua adalah memberikan dukungan pada korban.
Dukungan sekecil apapun dapat sangat berarti bagi korban KDRT yang tengah menimbang-nimbang untuk menyudahi penderitaannya.
Langkah ketiga adalah mendorong diri kita untuk belajar lebih jauh tentang isu kekerasan domestik.
KDRT bukan topik ringan untuk diperbincangkan di lingkup sosial, seperti rumor di lingkaran pertemanan atau tetangga.
Tindak kekerasan ini merupakan bentuk kriminalitas serius yang dapat dipidanakan dan memiliki dampak jangka panjang bagi korban secara fisik maupun psikis.
“Terkadang orang lupa bahwa KDRT masuk dalam ranah kriminal, bukan gosip-gosip yang semudah itu disebarkan ke satu sama lain, bukan hal remeh yang kita punya hak untuk asal memberikan judgment,” kata Novia.
Maka dari itu, mencari tahu lebih dalam tentang isu KDRT, memperbaiki pola pikir yang salah dari stigma-stigma tentang KDRT yang mengakar di publik, dan mengenali jenis-jenis KDRT menjadi hal yang krusial untuk kita semua lakukan.
“KDRT tidak hanya bersifat fisik, melainkan juga psikologis, seksual, finansial, dan lain sebagainya. Maka yang perlu dipahami adalah KDRT bukan case yang sederhana. KDRT ini adalah case yang kompleks yang membutuhkan penanganan oleh pihak-pihak lintas profesi,” terang Novia.
Langkah keempat, lanjut Novia, adalah membantu menghubungkan korban dengan lembaga layanan bantuan.
Apabila kekerasan domestik terjadi pada orang yang kamu kenal, cobalah untuk menghubungkannya dengan lembaga layanan yang tersedia.
Lembaga layanan kekerasan domestik inilah yang Novia tegaskan dapat membantu korban memahami opsi langkah apa saja yang bisa diambil oleh korban KDRT.
“Apabila korban memutuskan mengambil langkah hukum, maka lembaga layanan dapat membantu korban melakukan analisis risiko dan mempersiapkan dirinya,” pungkas Novia.
***
Apabila kalian mengalami, melihat, mendengar, dan mengetahui tindak kekerasan pada perempuan dan anak, kalian dapat melaporkannya melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08-111-129-129. Layanan ini diberikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih