Menuju konten utama
16HAKTP

Bias Publik dan Suara Korban KDRT di Kalangan Selebritas

Kasus KDRT yang dialami Amber Heard dan Angelina Jolie menunjukkan bahwa persepsi negatif publik pada korban perempuan masih, dan mungkin, akan selalu ada.

Bias Publik dan Suara Korban KDRT di Kalangan Selebritas
Header Diajeng KDRT Selebritas. tirto.id/Quita

tirto.id - Peringatan sebelum membaca: Terdapat deskripsi kekerasan fisik yang dilakukan oleh laki-laki terhadap perempuan.

Apakah sebaiknya kita memercayai pihak yang mengaku mengalami kekerasan, atau orang yang disebut sebagai pelaku kekerasan?

Perdebatan dari pertanyaan ini seakan tidak ada habisnya.

Sebagian orang berpendapat bahwa suara korban kekerasan harus didukung, terlepas dari lemah atau kuatnya bukti yang mereka kantongi.

Sedangkan sebagian lainnya bersikeras bahwa terduga pelaku kekerasan juga layak untuk diberikan asas praduga tak bersalah. Selama putusan hakim belum dijatuhkan, maka mereka belum tentu bersalah.

Di balik itu semua, mungkin sebagian besar dari kita berpikir, bukankah memercayai korban yang berpotensi bohong dalam kesaksiannya masih lebih baik daripada mendukung terduga pelaku kekerasan?

Apabila korban memiliki kedekatan dengan kita, mungkin pertanyaan ini akan lebih mudah dijawab tanpa bertentangan dengan moralitas yang kita junjung.

Namun bagaimana jika, dalam konteks dunia hiburan, kita merupakan fans alias penggemar si pelaku? Akankah kita mengajukan keraguan pada klaim-klaim dari korbannya?

Dalam kasus-kasus Kekerasan Domestik dalam Rumah Tangga (KDRT) yang melibatkan nama-nama besar dari kalangan selebritas, nampaknya sebagian publik masih belum siap untuk mendukung korban sepenuhnya tanpa meragukan kesaksian mereka atau mengorek-ngorek terlebih dahulu latar belakang kehidupan personalnya.

Respons publik terhadap korban KDRT di kalangan artis dapat mencerminkan pola pikir masyarakat yang masih memandang korban kekerasan domestik, terutama perempuan, dengan sebelah mata.

Sorotan media terhadap persidangan cerai dan gugatan pengadilan tokoh-tokoh terkenal ini dapat berkembang menjadi diskusi yang membangun kesadaran akan KDRT.

Di sisi lain, sorotan yang sama berpotensi pula menjadi bola api liar yang memperkeruh pandangan terhadap isu KDRT.

Amber Heard dan Mitos-Mitos Korban KDRT

Apa kalian masih ingat pada kasus pencemaran nama baik yang digugat oleh Johnny Depp kepada mantan istrinya, Amber Heard, pada 2022 lalu?

Dukungan yang berlimpah ruah diberikan publik kepada aktor legendaris Hollywood tersebut.

Tagar #JusticeforJohnny kerap diserukan pengguna media sosial.

Sejumlah fans bahkan ikut mengawal langsung jalannya persidangan dengan turun ke jalan sembari memegang slogan “Justice for Johnny” and “Burn The Witch”.

Jauh sebelum persidangan dimulai, ribuan orang telah menandatangi petisi untuk mengembalikan Depp dalam franchise film Pirates of the Caribbean yang mengeluarkan pemeran Jack Sparrow itu usai terseret kasus KDRT.

Sebaliknya, petisi untuk mengeluarkan Heard dari film superhero DC Comics, Aquaman 2, mendapatkan jutaan tanda tangan.

Kasus Heard menjadi salah satu contoh bagaimana korban KDRT tidak akan mendapatkan dukungan publik apabila tidak memenuhi gambaran mitos korban yang sempurna, atau the perfect victim.

Perfect victim adalah mitos yang menuntut korban kekerasan domestik untuk memenuhi sejumlah kriteria-kriteria spesifik yang tidak realistis supaya kasusnya dapat diterima dengan baik di mata publik.

Menurut kriminolog Nils Christie dalam buku From Crime Policy to Victim Policy (1986), terdapat setidaknya enam ciri-ciri korban kekerasan yang dipandang ideal di mata publik.

Pertama, korban harus berangkat dari pekerjaan-pekerjaan yang “terhormat”. Mereka terlihat lemah dan feminin, serta memakai pakaian yang sopan

Kedua, korban tidak pernah melakukan kesalahan apa pun yang dapat memicu kemarahan pelaku, apalagi membalas perbuatan pelaku.

Ketiga, korban harus berada dalam keadaan sadar, tidak berada di bawah pengaruh obat-obatan atau minuman keras.

Keempat, korban perlu menyimpan bukti-bukti yang cukup, tidak terlalu sedikit dan juga tidak terlalu banyak. Sebab, seberapa banyak atau seberapa sedikit jumlah bukti tersebut dapat membuat korban terkesan perhitungan dan manipulatif.

Kelima, korban tidak boleh berbohong atau tidak konsisten dalam menceritakan kasusnya.

Terakhir, dia dituntut untuk langsung memutus hubungan dengan pasangannya setelah menerima kekerasan domestik yang dilaporkan.

Mengacu pada kriteria di atas, korban KDRT dituntut untuk tampil tanpa cela agar tidak dapat dianggap bersalah.

Padahal, gambaran tentang korban yang sempurna ini tidak realistis. Tentu saja tidak ada korban yang mampu memenuhi seluruh standar yang tidak masuk akal tersebut.

Meski begitu, publik tetap memandang korban seperti Heard sebagai monster karena dirinya terlihat berani melawan dan tidak terkesan lemah.

Dalam artikel opini yang Heard tulis di The Washington Post pada 2018, Heard menyebut dirinya pernah menjadi “figur publik yang mewakili kekerasan domestik”.

Meski tak menyebutkan nama Depp sama sekali, artikel tersebut menariknya ke dalam neraka persidangan panjang yang kemudian dimenangkan oleh Depp.

Dalam sidang kasus pencemaran nama baik Depp yang berlangsung selama enam minggu itu, Heard mengaku pernah membalas perbuatan kasar yang dilakukan oleh mantan suaminya itu.

“Aku tidak pernah jadi yang harus menghasutnya. Aku menanggapinya [kekerasan yang dia lakukan]. Ketika kalian hidup dalam kekerasan, maka hal itu jadi normal, sebagaimana aku bersaksi, kalian harus beradaptasi,” katanya dalam wawancara eksklusif dengan NBC setelah putusan sidang dijatuhkan.

Menariknya, keterangan dan bukti ini justru menjadi bumerang bagi Heard.

Publik menganggapnya sebagai pihak yang melakukan KDRT bersama Depp.

Bahkan sejumlah media kembali menyematkan mitos lain dengan menyebut kasus Heard-Depp sebagai “mutual abuse”.

Mutual abuse adalah mitos tentang KDRT yang mengondisikan sebuah hubungan tak sehat ketika kedua belah pihak melakukan kekerasan kepada satu sama lain.

Meski begitu, kondisi ini tidak mungkin terjadi dalam hubungan yang dipenuhi oleh kekerasan. Sebab, akan selalu ada pihak yang lebih berkuasa dibandingkan pihak lainnya.

Melansir National Domestik Violence Hotline, KDRT menjadi pola perilaku yang digunakan seseorang untuk mendapatkan kendali atas pasangannya.

Ketimpangan relasi kuasa menjadi akar dari permasalahan kekerasan domestik.

Ketika korban berusaha untuk membela dirinya, merespons balik tindak kekerasan dari pasangan, atau mengakui kesalahannya yang memercik keributan dalam rumah tangga, bukan berarti korban juga merupakan pelaku kekerasan dalam hubungan tersebut.

Mitos-mitos seputar KDRT dan popularitas Depp pada akhirnya mempersulit upaya Heard untuk meraih keadilan atas kasusnya.

Tak peduli seberapa banyak bukti yang dibeberkan, apabila publik berada di pihak pelaku, maka korban akan kesulitan untuk memperoleh keadilan.

Heard pun menjadi bual-bualan dan bahan olokan di dunia digital.

Tak hanya warganet biasa, aplikasi bahasa Duolinggo ikut menyindir Heard di TikTok. Kontennya kemudian bersirkulasi di Twitter (sekarang X).

Sementara perusahaan Milani Cosmeticsmemanfaatkan berbagai serangan personal oleh publik kepada Heard sebagai peluang untuk mengiklankan produk kecantikannya.

“Aku terpukul karena ternyata segunung bukti yang ada masih belum cukup untuk melawan kekuatan dan pengaruh yang tidak proporsional dari mantan suamiku,” ujar Heard setelah putusan pengadilan lebih berpihak pada Depp.

Menurut kolumnis Guardian, Moira Donegan, kasus persidangan Depp-Heard "sudah berubah jadi pesta misogini di hadapan khalayak umum".

"Meski kebanyakan kritik kejam ditujukan pada Heard, tak bisa dimungkiri bahwa rasanya hal itu juga dikerahkan untuk seluruh kalangan perempuan, khususnya kita yang menyuarakan pelecehan gender dan kekerasan seksual pada puncak gerakan #MeToo," tulis Donegan dalam artikelnya pada 2022 silam.

Misogini dalam Kasus Angelina Jolie

Respons keras publik terhadap penyintas kekerasan domestik juga pernah diterima oleh Angelina Jolie.

Usai bercerai dari Brad Pitt pada 2016, Jolie terus memperjuangkan hak asuh anak-anak mereka supaya jatuh kepadanya.

Permohonan tersebut Jolie ajukan setelah mantan suaminya itu melakukan tindak kekerasan fisik pada dirinya dan anak mereka di atas jet pribadi saat perjalanan pulang dari Nice, Prancis menuju ke Los Angeles pada 14 September 2016.

Dalam laporan tuduhan KDRT tersebut, melansir Vox, Jolie menyebut Pitt “mencengekram kepala Jolie dan mengguncangnya” dan “mendorongnya ke dinding toilet”.

Tak sampai di situ, Pitt—yang dikabarkan dalam keadaan mabuk—juga disebut “mencekik salah satu anak mereka dan memukul wajah anak lainnya”.

Mengutip New York Times, komplain yang diajukan Jolie juga mencakup tuduhan bahwa Pitt menumpahkan minuman bir ke Jolie, juga menumpahkan bir dan anggur merah pada anak-anak mereka.

Kendati demikian, beberapa bulan selang peristiwa itu, FBI yang dikerahkan untuk menggali kasus mereka tidak akan melanjutkan peninjauan dan menolak untuk mengajukan tuntutan terhadap Pitt.

Setelah delapan tahun lebih berkutat dengan pertikaian hukum yang melibatkan bisnis kilang anggur milik keduanya dan perebutan hak asuh anak, perjuangan Jolie mulai menampakkan titik terang.

Pada akhir November lalu, hakim memutuskan bahwa Pitt harus menyerahkan dokumen-dokumen yang diminta oleh pengacara Jolie.

Menurut pengacaranya, dokumen-dokumen tersebut akan menjadi bukti kunci dari pelecehan dan kekerasan yang sudah dilakukan Pitt jauh sebelum insiden dalam jet pribadi itu terjadi.

Nah, bagaimana tanggapan publik mengenai persidangan panjang antara dua bintang Hollywood ini?

Rupanya, tak sedikit yang meragukan kesaksian Jolie sejak awal ia mengajukan perceraian.

Sebagian publik menganggap Jolie hanya ingin menghancurkan karier Pitt dengan laporan yang mengada-ada.

Pasalnya, FBI memang langsung menutup kasus tersebut dan baru mengungkap isi laporan insiden di jet pribadi pada 2022.

Publik dan media pun nampak hanya memandang kasus kekerasan ini sebagai drama selebritas semata.

Beberapa media menggunakan term #TeamBrad dan #TeamAngie untuk menyebut arah dukungan publik kepada keduanya.

Sebagian orang bahkan mengecam Jolie karena berusaha memutus hubungan seorang bapak dengan anak-anaknya.

Melansir dari People, Jolie diduga memengaruhi keenam anaknya untuk menjauhi Pitt walaupun pengadilan telah mengabulkan hak asuh bersama (joint custody) pascaperceraian.

Padahal, insiden dalam jet pribadi telah mengindikasikan Pitt juga melakukan kekerasan fisik kepada anak-anaknya.

Sebagian publik pun tidak memperhitungkan kemungkinan bahwa anak-anak merekalah yang memang tidak berkenan menemui Pitt.

Belum lagi, publik dan media juga kerap menyoroti kesalahan Jolie yang menjual sebagian saham kilang anggur yang mereka miliki bersama tanpa kesepakatan dari Pitt.

Meski telah membantah penjualan sepihak tersebut, Jolie tetap menjadi sasaran berbagai rumor dan pemberitaan miring yang menyudutkan dirinya.

Terlepas dari itu semua, bias publik terhadap kasus Jolie dan Brad disinyalir berasal dari pandangan misogini, ketidaksukaan atau kebencian terhadap perempuan, yang masih kuat mengakar di masyarakat.

Persepsi negatif yang terus diarahkan pada Jolie tak melulu soal tindakan atau kesalahannya saja, melainkan karena ia juga seorang perempuan.

Tengok saja bagaimana kasus perselingkuhan Pitt dengan Jolie pada 2004—kala Pitt masih menikah dengan Jennifer Aniston—terus dibahas dalam isu KDRT ini.

Ada saja publik yang berpendapat bahwa Jolie pantas menderita dalam pernikahannya karena telah merusak kehidupan rumah tangga Aniston, sebagaimana hukum tabur tuai bekerja.

Perdebatan di internet acap kali membanding-bandingkan Aniston dan Jolie secara tidak adil.

Sebagian membela Aniston, sedangkan lainnya mendukung Jolie, dengan narasi yang memojokkan perempuan.

Alih-alih fokus pada isu kekerasan domestik dan berempati terhadap korban, publik justru sibuk menciptakan konflik di antara mereka—yang sebetulnya sama-sama menjadi korban dari dinamika kekuasaan laki-laki.

Ironisnya, pihak laki-laki yang berselingkuh sekaligus melakukan kekerasan justru terhindar dari sorotan dan penghakiman publik.

Reputasi Pitt sebagai aktor nyaris tak terpengaruh oleh kasus kekerasan domestik ini.

Aktor tersebut masih bersinar membintangi sejumlah film populer.

Bahkan, di tengah pertikaian hukum yang terjadi, empat tahun silam Pitt berhasil membawa pulang piala Oscar untuk pertama kalinya sebagai Aktor Pendukung Terbaik di film Once Upon a Time in Hollywood (2019).

***

Apabila kalian mengalami, melihat, mendengar, dan mengetahui tindak kekerasan pada perempuan dan anak, kalian dapat melaporkannya melalui hotline Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA) 129 atau Whatsapp 08-111-129-129. Layanan ini diberikan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA).

Baca juga artikel terkait DIAJENG PEREMPUAN atau tulisan lainnya dari Yolanda Florencia Herawati

tirto.id - Diajeng
Kontributor: Yolanda Florencia Herawati
Penulis: Yolanda Florencia Herawati
Editor: Sekar Kinasih