tirto.id - Memahami karakter dan sifat pasangan memang perlu dilakukan, sebelum melanjutkan hubungan ke arah yang lebih serius.
Ada baiknya Anda jeli memahami kepribadian pasangan agar kelak tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan seperti kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).
KDRT saat ini tengah menjadi masalah yang serius, yang dialami hampir setiap hari oleh banyak pasangan.
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA), per 1 Januari 2022 ada lebih dari 18.000 kasus KDRT yang dilaporkan di Indonesia.
Terkini, kasus yang sedang ramai adalah kasus KDRT yang terjadi pada penyanyi Lesti Kejora oleh suaminya Rizky Billar.
Kenali Tanda-Tanda Pasangan yang Berpotensi Lakukan KDRT
Psikolog klinis Anggiastri Hanantyasari Utami mengatakan ada beberapa hal yang bisa dipertimbangkan sejak awal sebelum menentukan pasangan hidup demi mengantisipasi kekerasan dalam rumah tangga.
"Ketika kita mau objektif dan peka sebelum menentukan pasangan hidup ada beberapa hal yang bisa kita amati sejak dini," kata Anggiastri kepada ANTARA, Kamis (13/10/2022).
Dia menjelaskan kekerasan dalam rumah tangga adalah hal yang menjurus kepada isu kesehatan mental, bisa dalam bentuk kekerasan fisik, kekerasan ekonomi dengan tidak memberikan nafkah, kekerasan seksual dalam rumah tangga, maupun kekerasan secara psikologis.
"Pertama, seringkali merendahkan kita baik secara personal maupun ketika di depan umum," ujar psikolog di LPDK Kemuning Kembar dan Omah Perden.
Ciri lainnya adalah tidak mampu mengkomunikasikan dan menyelesaikan masalah berdua dengan baik bahkan cenderung menghindari atau kabur dari masalah.
Kemudian, perhatikan apakah pasangan sering menggunakan kata-kata kasar saat menyampaikan keluhannya.
Hal lain yang harus diwaspadai adalah ketika pasangan memaksakan kehendak pada pasangannya seperti mengatur apa yang seharusnya dilakukan pasangan tanpa mau mendengar kebutuhannya.
Lalu, hati-hati bila pasangan merasa berkuasa dan merasa paling benar.
"Ini ditandai dengan sering menyalahkan pasangan atas sikap dan perilaku kasar yang dilakukan dilanjutkan dengan mengatakan bahwa pasangan pantas mendapatkan hal tersebut," jelas dia.
Amati juga apakah pasangan bersikap buruk kepada orang tua dan orang-orang sekitarnya. Sebab, sikap dan perilaku seseorang mencerminkan bagaimana ia tumbuh dan berkembang dalam keluarga.
"Bagaimana mereka memperlakukan orang-orang di rumah dan sekelilingnya dapat menjadi salah satu tanda, meskipun tidak mutlak, bagaimana mereka akan memperlakukan pasangannya di kemudian hari," ujar Anggiastri.
Sementara itu, pasangan yang sudah menikah sebaiknya perlu saling belajar untuk bisa memahami satu sama lain dan menempatkan kepentingan bersama di atas kepentingan pribadi. Kelola emosi dalam pernikahan agar tidak berujung kepada kekerasan dengan cara memahami kebutuhan diri, kemudian memahami kebutuhan pasangan dan saling mengkomunikasikannya dengan baik.
Ia mengatakan dengan menempatkan kepentingan bersama, secara otomatis masing-masing akan memikirkan bagaimana cara terbaik untuk memberikan kenyamanan dan memenuhi kebutuhan pasangan.
"Perlu diingat bahwa ketika menjadi pasangan suami istri, pasangan merupakan sebuah tim yang kesuksesan tim ini ada di tangan bersama," katanya.
Ketika setiap orang mengedepankan ego dan merasa paling berhak mendapatkan apa yang diinginkan, maka yang terjadi adalah kegagalan komunikasi bahkan konflik.
Apa yang Harus Dilakukan Saat Alami KDRT?
Melansir Psychcentral ada beberapa langkah yang sebaiknya dilakukan untuk menghadapi KDRT, sebagai berikut:
1. Sadari bahwa kekerasan bukan terjadi karena kesalahan korban
Banyak kasus KDRT dimana korban masih menyalahkan diri sendiri dan merasa pantas menerima pelaku kasar dari pasangannya. Padahal kekerasan tidak seharusnya dilakukan oleh siapapun, bahkan oleh pasangan sendiri.
"Anda tidak bertanggung jawab atas pasangan Anda yang menyebabkan Anda terluka. Anda tidak menempatkan diri Anda dalam situasi ini," terang psikolog berlisensi yang berbasis di Pennsylvania, Sabina Mauro seperti yang dikutip dari Psychcentral.
Lebih lanjut, menurut Mauro anggapan menyalahkan korban hanya akan membuat hubungan rumah tangga semakin toxic dan korban akan terus terjebak dalam situasi yang sama.
2. Pelajari jenis kekerasan dari pasangan
Jika sudah menyadari bahwa yang dilakukan pasangan salah, selanjutnya adalah pelajari jenis kekerasan yang kerap terjadi. Perlu diketahui bahwa KDRT bukan melulu soal penyerangan secara fisik, tetapi juga kekerasan verbal hingga seksual.
Pelajari perlakuan-perlakuan tersebut dan tetapkan dampaknya secara fisik maupun psikis. Ini dapat menjadi pertimbangan bagi korban untuk memutuskan langkah selanjutnya.
3. Antisipasi jika terjadi pertengkaran
KDRT umumnya tidak hanya terjadi sekali, namun berulang-ulang. Kekerasan bisa terjadi saat pasangan dalam keadaan tidak stabil dan emosi. Antisipasi hal-hal yang bisa memicu KDRT seperti pertengkaran.
Cobalah untuk menerapkan sistem perlindungan, seperti kata sandi untuk memperingatkan anak-anak, anggota keluarga lain, atau teman tentang apa yang terjadi.
Jangan ragu untuk meminta bantuan orang terdekat seperti tetangga, teman, atau kerabat yang tinggalnya tidak jauh dari rumah. Jika memungkinkan, minta tetangga yang paling dipercaya untuk mengenali situasi darurat tersebut, misalnya dengan menggantungkan handuk di pagar.
4. Rekam, foto, dan kumpulkan barang bukti
Ambil kesempatan untuk merekam tindakan kekerasan pasangan secara diam-diam. Cara ini bisa dilakukan dengan dengan meletakkan kamera ponsel tersembunyi atau mengaktifkan alat perekam suara.
Setelah terjadi tindak kekerasan, pastikan selalu mengambil foto dari setiap cedera dan catat tanggalnya. Screenshootpesan-pesan bernada kekerasan dari pasangan sebagai barang bukti jika nantinya akan melanjutkan ke tahap pelaporan.
5. Hubungi polisi atau hotline KDRT
Laporkan tindakan KDRT dengan menghubungi kepolisian setempat atau hotline KDRT Kemen PPPA, yaitu Sahabat Perempuan dan Anak (SAPA). Hotline ini bisa langsung dihubungi melalui call center 129 dan WhatsApp 08111-129-129.
Melansir Kemen PPPAhotline SAPA dilengkapi sejumlah layanan yang dapat digunakan oleh korban KDRT, termasuk:
- pelayanan pengaduan;
- pelayanan penjangkauan;
- pelayanan pengelolaan kasus;
- pelayanan akses penampungan sementara;
- pelayanan mediasi;
- pelayanan pendampingan korban.
Hotline tersebut tidak hanya dapat dihubungi oleh korban, melainkan saksi yang melihat tindak KDRT di dekatnya.
6. Temui terapis
KDRT tidak hanya meninggalkan luka fisik, tetapi juga trauma. Menurut Good Therapy, korban KDRT bisa mengembangkan masalah emosional seperti ketakutan, kecemasan, depresi, amarah, hingga gangguan stres pascatrauma (PTSD).
Bahkan, kondisi tersebut tidak hanya berefek pada korban orang dewasa saja, tetapi juga anak-anak yang terlibat. Oleh karena itu, korban dan anak-anak yang terlibat KDRT sangat direkomendasikan untuk mendapatkan terapi psikologi untuk menyembuhkan traumanya.
Editor: Yantina Debora