tirto.id - Menyusul laporan seorang selebritas yang mengalami kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), seorang selebritas lain menjadikan isu KDRT ini sebagai bahan guyonan hingga membikin konten prank di kanal YouTube-nya. Padahal, laporan KDRT merupakan isu serius yang trennya terus naik tiga tahun terakhir.
Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) menyebut KDRT banyak terjadi dalam hubungan relasi personal, di mana pelaku adalah orang yang dikenal baik dan dekat oleh korban. Contohnya, tindak kekerasan yang dilakukan suami terhadap istri, ayah terhadap anak, paman terhadap keponakan, dan kakek terhadap cucu.
Selain itu, KDRT juga dimaknai sebagai kekerasan terhadap perempuan, oleh anggota yang memiliki hubungan darah. Menurut penjelasan United Nations atau Persatuan Bangsa-Bangsa (PBB), KDRT bisa menimpa siapa saja dan bisa memiliki berbagai bentuk, termasuk mental, fisik, ekonomi, dan seksual.
Dampaknya pun tak main-main. Masih dari UN, KDRT dikatakan dapat berujung pada cedera fisik yang serius ataupun kematian. Kenyataan pahitnya, angka KDRT pun masih tinggi di Indonesia.
Lantas, bagaimana dengan tren laporan kasus KDRT beberapa tahun terakhir berikut dinamika penanganannya di Indonesia?
Laporan KDRT Terus Naik
Menurut data dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KemenPPPA), rumah tangga memang jadi tempat terjadinya kasus kekerasan yang paling banyak dilaporkan selama 4 tahun terakhir.
Jumlah aduan kekerasan yang terjadi di rumah tangga lebih banyak dari aduan kekerasan yang terjadi di fasilitas umum dan sekolah. Data KemenPPPA menunjukkan jumlah laporannya pun terus melonjak, menyentuh 14.022 aduan pada 2021 dari 12.624 aduan pada tahun sebelumnya.
Dari jumlah kekerasan yang dilaporkan ke KemenPPPA per Oktober tahun ini, yakni sekitar 10.100 lebih aduan, KemenPPPA mencatat bahwa kebanyakan korbannya, sebanyak 84,9 persen, adalah perempuan. Data ini pun masih berpotensi mengalami kenaikan hingga akhir tahun. Namun, perlu diingat pula bahwa seperti yang terlihat pada data laporan aduan, laki-laki pun bisa menjadi korban KDRT, meski tak sebanyak korban perempuan.Lebih lanjut tentang angka KDRT, temuan yang sama dengan KemenPPPA juga dijumpai dalam Catatan Tahunan (Catahu) Komnas Perempuan sepanjang 2017 - 2021. Lewat laporan itu Komnas Perempuan mengungkap, kekerasan di ranah personal atau KDRT adalah kasus yang terbanyak diadukan dibanding kekerasan di ranah publik dan negara.Sekali lagi, kekerasan di ranah personal ini artinya pelaku kekerasan adalah orang yang memiliki hubungan darah, kekerabatan, perkawinan, maupun relasi intim dengan korban. Pada tahun 2021, mantan pacar tercatat sebagai pelaku yang paling banyak dilaporkan dalam kasus KDRT, diikuti dengan suami, pacar, dan ayah.
Apabila dilihat dari bentuknya, KDRT pada 2021 didominasi oleh kekerasan psikis, yakni sebanyak 3.737 kasus. Lalu menyusul adalah kekerasan fisik, seksual, dan ekonomi.Korbannya berasal dari semua jenjang usia, dari anak-anak balita sampai lansia di atas 80 tahun. Usia korban yang paling dominan dalam kekerasan di ranah personal ini berada pada rentang usia 18 – 24 tahun. Jumlahnya mencapai 1.118 kasus, dari 2.527 keseluruhan kasus kekerasan di ranah personal pada 2021.Komnas Perempuan pun merinci beberapa jenis kekerasan dalam ranah ini. Sepanjang 2017-2021, berdasarkan data yang dikumpulkan dari Catatan Tahunan Komnas Perempuan selama periode tersebut, tiga kasus KDRT terbanyak meliputi kekerasan terhadap istri, kekerasan dalam pacaran, dan kekerasan terhadap anak perempuan.
Secara umum pada tahun 2020, jumlah ketiga jenis kekerasan itu mengalami penurunan. Namun, penurunan kekerasan dalam pacaran tidak drastis seperti dua bentuk kekerasan lain yaitu kekerasan terhadap istri dan kekerasan terhadap anak perempuan.Komnas Perempuan menyatakan, hal ini tidak lepas dari pandemi COVID-19, di mana mobilitas istri dan anak perempuan terbatas. Dengan demikian mereka kesulitan mengakses lembaga layanan lantaran mengalami penutupan dan perubahan menjadi layanan daring.
Kembali pada data KDRT 5 tahun terakhir. Jika diperhatikan, kekerasan terhadap anak perempuan mencatat angka tertinggi pada 2019. Kenaikannya menyentuh 65 persen menjadi 2.341 kasus dari sebelumnya 1.417 kasus pada 2018.
Menurut Komnas Perempuan, inses atau kekerasan seksual dengan pelaku yang memiliki hubungan darah menjadi jumlah terbanyak kasus kekerasan terhadap anak perempuan kala itu, yaitu sebesar 770 kasus.
“Dominannya kasus inses dan kekerasan seksual terhadap anak perempuan, menunjukkan bahwa perempuan sejak usia anak dalam situasi yang tidak aman dalam kehidupannya, bahkan oleh orang terdekat,” tulis lembaga tersebut dalam Catahu Komnas Perempuan 2020.
Sementara itu, Direktur Rifka Annisa Women’s Crisis Center, Defirentia One Muharomah berpendapat, naiknya angka pelaporan kasus KDRT belakangan ini dapat dilihat dari dua sisi. Pertama yaitu kesadaran korban untuk melaporkan kasus meningkat dan semakin terbukanya akses untuk mencari bantuan.
“Di sisi lain, angka yang tinggi tersebut juga menunjukkan bahwa sebenarnya kerentanan KDRT di sekitar kita masih tinggi. Sebagaimana fenomena gunung es, bisa jadi masih banyak potensi-potensi risiko kekerasan yang belum terungkap,” ujarnya kepada Tirto, Kamis (6/10/2022).
Status Kawin Tak Tercatat Menghambat?
Masih mengacu pada laporan Catahu Komnas Perempuan, Undang-undang Penghapusan Kekerasan dalam Rumah Tangga (UU PKDRT) selalu menjadi instrumen hukum yang banyak digunakan dalam proses litigasi, baik pada tahun 2020 maupun 2021. Pada tahun 2021 sendiri, Pasal 45 UU PKDRT tentang bentuk kekerasan psikis paling banyak dirujuk. Hal ini seiring dengan kekerasan psikis yang lebih banyak diadukan dibanding kekerasan lain.
Selanjutnya pasal 46 dan 47 yang berkaitan dengan kekerasan seksual, merupakan rujukan terbanyak kedua. Kendati demikian, itu bukan sebuah indikasi bahwa kekerasan lainnya seperti kekerasan fisik dan kekerasan ekonomi tidak dialami perempuan. Komnas Perempuan menegaskan, perempuan korban KDRT umumnya menghadapi kekerasan berlapis, dengan kata lain mengalami lebih dari satu bentuk kekerasan.Seperti dikutip dari Catahu 2022, Komnas Perempuan juga menilai, penerapan peraturan perundang-undangan masih belum sepenuhnya dilakukan secara efektif. Hal tersebut dipengaruhi oleh pemahaman dan pengalaman Aparat Penegak Hukum (APH), maupun budaya masyarakat yang mendiskriminasi perempuan.
One dari Rifka Annisa Women’s Crisis Center pun menyampaikan pendapat senada, bahwa kemampuan dan perspektif penegak hukum dalam penanganan perkara KDRT masih lemah dan bias gender. Selain itu, One bilang, masih banyak kasus yang pada akhirnya berujung didamaikan namun berisiko memberikan ketidakadilan bagi korban dan berulangnya kekerasan oleh suami.
Komnas Perempuan melaporkan bahwa korban masih menghadapi hambatan tatkala membawa kasusnya ke ranah hukum dan peradilan. Pada 2021 lalu, persoalan status pernikahan atau kawin yang tidak tercatat menempati hambatan penerapan UU PKDRT yang utama, diikuti pencabutan laporan oleh korban. Permasalahan yang sama juga dijumpai pada tahun sebelumnya, tetapi porsi korban mencabut laporan lebih banyak.
Tingginya hambatan akibat perkawinan tidak tercatat itu, menurut Komnas Perempuan, menunjukkan interpretasi APH tentang cakupan perkawinan dalam UU PKDRT sebagai perkawinan tercatat. Dengan begitu kekerasan terhadap perempuan di luar perkawinan tidak dijangkau.Dari hasil pendampingan selama ini, One juga menjumpai sejumlah faktor lainnya yang menjadi hambatan korban. Beberapa di antaranya seperti dinamika psikologis, pertimbangan ekonomi di mana sebagian korban masih banyak bergantung secara ekonomi kepada suami, dan faktor anak. Dinamika psikologis tersebut salah satunya masih banyak anggapan bahwa melaporkan KDRT sama saja membuka aib sendiri.
Perlu Edukasi Optimal dan Kerjasama
UU PKDRT memang hadir sebagai jaminan perlindungan yang telah memuat aspek pencegahan, penanganan, serta pemulihan. Lebih lanjut, UU PKDRT juga mengatur ketentuan pidana berupa sanksi bagi pelaku.
Betapapun begitu, kenyataannya tak berarti mulus. One menyoroti beberapa tantangan dalam implementasi UU PKDRT agar pelaksanaannya lebih efektif dalam melindungi korban, termasuk belum diimplementasikannya pemberlakuan pidana tambahan berupa konseling bagi pelaku KDRT.
“Dari hasil kajian kami, belum banyak polisi yang menerapkan perintah perlindungan, begitu pula penetapan perlindungan juga tidak banyak diberikan oleh pengadilan. Faktanya banyak korban yang berada dalam situasi darurat atau terancam dan harus meninggalkan rumah tanpa jaminan perlindungan,” timpalnya.
Untuk mengurangi dan mencegah adanya KDRT, One selaku Direktur Rifka Annisa Women’s Crisis Center mencatat beberapa poin di antaranya optimalisasi edukasi ke masyarakat untuk pencegahan, implementasi UU PKDRT agar lebih efektif, dan perlu ada lebih banyak aturan turunan kebijakan untuk percepatan implementasi UU PKDRT.
Terakhir, One mendorong pula adanya koordinasi dan kerjasama berbagai pihak, termasuk dari pemerintah, lembaga non pemerintah, masyarakat, media, dan pihak swasta dalam menanggulangi KDRT.
Editor: Farida Susanty