Menuju konten utama

Perempuan Bawa Senjata Depan Istana & Alarm Keamanan Jelang G20

Fahmi menilai pemerintah sudah siap dalam pengamanan G20, ada atau tanpa kejadian perempuan bawa senjata di depan Istana.

Perempuan Bawa Senjata Depan Istana & Alarm Keamanan Jelang G20
Wanita bawa pistol ditangkap saat coba terobos Istana Negara. (Instagram/@lovers_polrii)

tirto.id - Di tengah kunjungan kerja Presiden Joko Widodo ke IKN Nusantara pada Selasa (25/10/2022), publik digegerkan soal kehadiran perempuan yang mendatangi Istana Negara, Jakarta Pusat. Wanita tersebut membawa senjata dan akhirnya ditangkap aparat.

Komandan Pasukan Pengamanan Presiden (Danpaspampres) Marsda TNI Wahju Hidajat Soedjatmiko menuturkan, perempuan tersebut bukan berupaya menerobos masuk ke kompleks Istana Negara, tetapi bermula dari kewaspadaan Paspampres yang melihat seorang perempuan dengan tingkah laku mencurigakan.

Perempuan tersebut berdiri di dekat pos utama Paspampres di depan Istana Merdeka, dekat lampu lalu lintas. “Anggota kami langsung menghampiri perempuan tersebut dan perempuan itu langsung mengacungkan senjata ke arah anggota (Paspampres),” ucap Wahju dalam keterangan, Selasa (25/10/2022).

Melihat kondisi seperti itu, anggota Paspampres langsung mendekat dan mengambil senjata api yang ditodongkan kepadanya. Anggota Paspampres langsung menyerahkan perempuan tersebut ke Polisi Lalu Lintas yang sedang bertugas di depan Istana.

Saat ini, perempuan tersebut sudah diproses hukum oleh Polda Metro Jaya. “Sudah berada di Polda Metro Jaya untuk dimintai keterangan. Untuk lebih lanjut silakan ditanyakan kepada Polda Metro Jaya,” kata Wahju.

Pihak kepolisian pun menyatakan bahwa penangkapan sudah dilakukan sehingga kondisi keamanan tetap kondusif. “Aksi tersebut berhasil dicegah oleh petugas kepolisian dan situasi tetap kondusif,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Kombes Pol Endra Zulpan, ketika dihubungi Tirto, Selasa, 25 Oktober 2022.

Respons Istana Negara

Kepala Staf Presiden (KSP) Moeldoko mengaku sudah menerima laporan soal kedatangan perempuan bersenjata itu. Moeldoko menyebut perempuan tersebut bergerak sendiri. Ia membawa senjata tanpa selongsong peluru.

“Sementara ini individu. Tapi senjatanya memang senjata rakitan ya. Itu ada selongsongnya, tapi proyektilnya tidak ada. Itu lagi didalami semua,” kata Moeldoko di Gedung Bina Graha, Jakarta Pusat pada 25 Oktober kemarin.

Moeldoko menambahkan, identitas yang dibawa perempuan dengan nama asli berbeda. Kini, polisi tengah melakukan pemeriksaan psikologi kepada perempuan tersebut. Namun, Moeldoko memastikan bahwa akan ada penindakan tegas terukur kepada perempuan tersebut.

Kejadian ini tentu mengingatkan kembali bagaimana potensi aksi teror muncul ke publik. Sebelumnya, Moeldoko mengungkapkan bahwa ada potensi aksi terorisme akan muncul kembali jelang tahun politik selain isu COVID-19 yang belum berakhir.

“Situasi internal kita juga perlu aware bahwa dinamika pada tahun politik dan potensi radikalisme akibat politik identitas survei BNPT pada 2020 potensi radikalisme 14%. Itu data dalam kondisi anomali saat pandemi. Tahun politik pada 2023-2024 ke depan ada kecenderungan akan meningkat,” kata Moeldoko pada 20 Oktober 2022.

Sementara itu, Co-Founder Institute for Security and Strategic Studies (ISESS) Khairul Fahmi menilai, aksi perempuan membawa senjata di Istana Negara bukan kali pertama. Fahmi mengingatkan bahwa Istana sempat hampir mengalami serangan peledak dan juga melibatkan perempuan.

“Artinya, ini bukan modus atau tren baru. Setidaknya sejak 2015, sasaran teror oleh jaringan teror sebenarnya cenderung acak, sporadis dan simultan,” kata Fahmi kepada reporter Tirto, Rabu (26/10/2022).

Fahmi menuturkan, teror dilakukan dalam intensitas yang rendah (low intensity), namun tetap memiliki kemampuan menyampaikan pesan secara kuat dengan memanfaatkan momentum.

Ia juga menuturkan, serangan lone wolf sedikit berbeda. Meski tetap terkesan acak, sebenarnya pelaku tetap menentukan sasaran dengan beragam pertimbangan. Contohnya, serangan di Mabes Polri pada 2021.

“Nah untuk kasus di depan Istana ini, sebenarnya kita belum bisa menarik kesimpulan bahwa itu adalah rencana serangan yang gagal oleh seorang perempuan yang merupakan pelaku tunggal. Karena bisa saja targetnya memang hanya begitu,” kata Fahmi.

Fahmi menambahkan, aksi ekstrimisme atau terorisme tidak akan pernah berakhir di Indonesia. Mereka tetap merekrut meski tidak terlihat bergerak dalam beberapa waktu terakhir.

Oleh karena itu, upaya pengungkapan dan penindakan yang dilakukan oleh aparat harus diakui juga cukup efektif mempersempit ruang gerak, membatasi akses logistik dan mempersulit komunikasi mereka.

Kewaspadaan Sudah Terbangun?

Lantas, apakah kejadian kemarin membuat Indonesia harus berhati-hati mengingat akan menghadapi pertemuan puncak G20 pada November mendatang? Fahmi menilai pemerintah sudah siap sedia dalam menangani pengamanan G20 dengan ada atau tanpa kejadian perempuan pembawa senjata di depan Istana.

Fahmi yakin pemerintah sudah menyiapkan langkah-langkah pengamanan, apalagi aparat Indonesia baik TNI maupun Polri berpengalaman dalam mengamankan kegiatan internasional.

“Kejadian di depan Istana itu ada atau tidak, saat ini pihak keamanan Indonesia mestinya memang harus sudah memasuki kondisi waspada. Mengingat kurang dari sebulan lagi kita sudah akan menghadapi gelaran G20. Artinya, saya yakin bahwa semua kemungkinan dan potensi kerawanan sudah diinventarisasi dan disiapkan skenario pengamanannya," kata Fahmi.

Fahmi menambahkan, “Jika kejadiannya memang sesuai informasi yang dirilis kemarin, menurut saya itu justru menunjukkan bahwa kewaspadaan memang sudah terbangun. Tinggal memastikan kedisiplinan dan kepekaan di lapangan nantinya.”

Sementara itu, pemerhati terorisme, Harits Abu Ulya justru melihat ada pesan lain dalam aksi perempuan yang membawa senjata api ke Istana. Bagi Harits, aksi perempuan tersebut bukan ancaman yang mengkhawatirkan sehingga tidak perlu dibicarakan.

“Dengan pistol rakitan, yang entah amunisinya itu bisa ditembakkan atau tidak juga sangat meragukan. Jadi tidak perlu dibesar-besarkan dan membangun narasi yang tidak proporsional sama sekali,” kata Harits, Rabu (26/10/2022).

Harits malah mendorong agar perempuan tersebut diperiksa kejiwaannya. Ia khawatir perempuan tersebut sebagai korban dalam kejadian di Istana Negara kemarin.

“Dari gesture-nya, itu sosok pribadi yang punya problem kejiwaan. Perlu pemeriksaan psikologis. Bisa saja dia itu ‘mainan’ atau seperti dijadikan ‘alat simulasi’ oleh pihak tertentu terkait dengan isu keamanan,” kata Harits.

Harits juga beranggapan bahwa isu ISIS yang digaungkan sudah kadaluwarsa. Ia khawatir akan ada upaya framing yang dipaksakan dengan kelompok radikal. Di sisi lain, situasi ini terjadi dekat dengan momentum G20.

“Lucu, momentumnya bertepatan paska kepala KSP Moeldoko bicara soal isu radikalisme dan di pulau Bali jelang agenda KTT G-20," kata Harits.

Namun, apakah aksi perempuan tersebut menandakan akan menjadi alarm potensi gangguan keamanan untuk pelaksanaan G20? Harits enggan menjawab spesifik. Akan tetapi, ia menilai tidak akan ada dampak serangan tersebut kepada G20.

“Nggak ada sama sekali,” kata Harits.

Baca juga artikel terkait AKSI TERORISME atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Hukum
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz