Menuju konten utama

Bom Bandung dan Menguatnya Lone Wolf Terorrism

Selain berbahaya, "lone wolf terror" sulit diprediksi, dilakukan dengan amat kreatif.

Bom Bandung dan Menguatnya Lone Wolf Terorrism
Petugas kepolisian bersenjata lengkap berusaha melumpuhkan terduga teroris di Kantor Kelurahan Arjuna, Bandung, Jawa Barat, Senin (27/2). Kepolisian berhasil menangkap seorang pria terduga teroris yang meledakkan benda yang diduga "Bom Panci" di Taman Pandawa Bandung dan melakukan pembakaran kantor kelurahan Arjuna. ANTARA FOTO/Novrian Arbi.

tirto.id - Suasana di Kelurahan Arjuna, Kecamatan Cicendo, Kota Bandung mencekam, pada Senin pagi (27/2/2017). Hal ini terjadi setelah pelaku ledakan bom panci di taman Pandawa tersebut melarikan diri dan bersembunyi di kantor kelurahan tersebut.

Saksi mata yang juga Sekretaris Kelurahan Arjuna, Ganjar Budi mengatakan pelaku membawa senjata tajam dan sempat menebar teror kepada pegawai kelurahan yang berada di lokasi kejadian. Bahkan, terduga teroris yang diketahui bernama Yayat Cahdiyat itu sempat membakar gedung lantai dua Kelurahan Arjuna. Dan di saat itulah ia diringkus setelah aparat kepolisian berhasil melumpuhkannya.

Aksi teror yang dilakukan Yayat ini semakin menguatkan adanya tren pergeseran pelaku terorisme di Indonesia. Jika selama ini, para pelaku teror digerakkan oleh organisasi besar macam Jamaah Islamiyah, maka kini sudah bergeser menjadi sel-sel kecil, bahkan dilakukan secara individual.

Muhammad Subhan dalam artikel “Pergeseran Orientasi Gerakan Terorisme Islam di Indonesia (Studi Terorisme Tahun 2000-2015)” yang terbit di Journal of International Relations (2016) mengkonfirmasi hal tersebut. Sebagai perbandingan, setidaknya Indonesia mengalami beberapa kali serangan teror besar, antara lain bom Bali 2002 dan 2005, bom di Hotel JW Marriot tahun 2003 dan 2009, kemudian bom di Kedubes Australia pada 2004.

Dari penyelidikan kepolisian, kemudian memunculkan satu nama organisasi yang dianggap sebagai dalang semua serangan teror di Indonesia, yaitu Jamaah Islamiyah. Namun, jika melihat pada beberapa kasus terorisme pada periode 2010-2015, maka tidak ada organisasi tunggal yang bertanggung jawab di dalamnya. Hal itu terjadi karena beberapa aksi terorisme justru dilakukan oleh sel-sel kecil, bahkan dilakukan secara individual atau lone wolf terrorism.

Pergeseran ini menyebabkan aksi terorisme yang dilakukan belakangan ini terkesan sporadis dan tidak terorganisir secara rapi. Namun, model aksi teror lone wolf ini memiliki beberapa kelebihan dibandingkan dengan aksi terorisme yang selama ini terjadi.

Dosen tamu di Departemen Ilmu Politik di UCLA, Jeffrey Simon kepada Isaac Chotiner pernah mengatakan bahwa model lone wolf ini sangat berbahaya karena mereka sangat inovatif dan kreatif. Selain itu, tidak ada proses pengambilan keputusan kelompok, sehingga mereka pada dasarnya bebas untuk bertindak atas setiap skenario yang mereka pikirkan. Mereka bahkan tidak peduli dengan tindakan keras pemerintah setelah peristiwa teror yang dilakukan.

Misalnya, aksi terorisme yang terjadi di Cikokol, Tangerang, Banten pada 20 Oktober 2016 lalu. Saat itu, tiga anggota polisi yang bertugas di Pos Lantas Jalan Perintis Kemerdekaan, Cikokol tiba-tiba diserang dengan menggunakan senjata tajam oleh orang tak dikenal (belakangan pelakunya diketahui bernama Sultan Azianzah). Saat melakukan penyerangan, pria kelahiran 1994 itu membawa pisau dan dua bom pipa.

Aksi tersebut dilakukan secara individual, tanpa melibatkan organisasi besar. Meskipun belakangan berdasarkan keterangan Mabes Polri, Sultan diketahui termasuk jaringan kelompok Jamaah Anshor Daulah Khilafah Nusantara (JADKN), pimpinan Aman Abdurrahman, seorang terpidana terorisme yang mendekam di Lapas Nusakambangan. Artinya, meskipun Sultan tercatat sebagai anggota JADKN, namun tindakannya melakukan aksi penusukan polisi dilakukan secara individual.

Infografik Lone Wolf

Pergeseran tren ini menurut penelitian yang dilakukan Muhammad Subhan terjadi sejak tahun 2010. Salah satu penyebabnya adalah ditangkapnya para petinggi teroris di Indonesia yang berafiliasi dengan Jamaah Islamyah.

Praktis tidak ada lagi sosok-sosok yang mampu menyatukan orang-orang yang mempunyai tujuan yang sama. Jalan satu-satunya yang dipilih oleh orang-orang yang berpikiran radikal adalah dengan bergerak secara individu atau lone wolf terrorism. Hal tersebut dapat dilihat dari beberapa kasus terorisme yang terjadi belakangan ini.

Berkembangnya fenomena lone wolf ini mengkhawatirkan. Apalagi, pendukung ISIS telah membuat buku pegangan yang dirancang untuk mengajarkan calon teroris, mulai dari indoktrinasi, penguasaan senjata, dan taktik melakukan aksi terorisme. Sehingga, mereka yang memiliki pola pikir yang sama, dengan mudah dapat melakukan aksi terorisme, di manapun ia berada.

Maka tak heran jika mantan Kepala BNPT, Ansyaad Mbai pernah memperingatkan akan bahaya serangan teror tunggal atau lone wolf terhadap keamanan Indonesia ini. Menurut dia, para pelaku teror tunggal memiliki modus dan metode perekrutan berbeda dibandingkan pola-pola yang selama ini ada.

Mbai mengungkapkan, para pelaksana teror tunggal mengalami proses radikalisasi akibat propaganda kelompok radikal via media sosial. Dalam konteks ini, maka seseorang untuk menjadi radikal, mereka tidak perlu bertemu seseorang atau kelompok serta tidak perlu datang ke suatu tempat untuk berbaiat, tapi cukup melalui gadget, mereka bisa terpapar virus radikal.

Apalagi, lanjut Ansyaad, kelompok radikal tergolong piawai menyebarkan propaganda melalui media sosial serta internet. Mereka menarik pengikut lewat penyebaran kebencian, misalnya dengan diberikan tayangan video kejadian mengerikan di Timur Tengah.

Dari situ timbul rasa empati, dan secara perlahan mulai terjadi 'self radicalization' yang kemudian menumbuhkan motivasi menjadi 'lone wolf'," ujarnya.

Hal yang sama juga diungkapkan Jeffrey Simon. Menurut dia, lone wolf ini sangat inovatif, berbahaya dan juga sangat kreatif. Menurut dia, tidak ada proses pengambilan keputusan kelompok, sehingga mereka pada dasarnya bebas untuk bertindak atas setiap skenario yang mereka pikirkan. Mereka bahkan tidak peduli dengan tindakan keras pemerintah setelah peristiwa teror yang dilakukan.

Jeffrey Simon menyebut ancaman lone wolf terrorism ini berbeda dengan terorisme terorganisir yang biasa terjadi pada dekade 1970-an hingga dekade pertama 2000-an. Pada dasarnya, lone wolf ini memiliki beberapa ciri, seperti dilakukan secara individu atau lebih, bukan merupakan bagian dari kelompok atau jaringan terorisme besar sehingga sulit untuk diidentifikasi, modus operandinya dipahami dan diatur oleh individu tanpa adanya komando.

Baca juga artikel terkait BOM BANDUNG atau tulisan lainnya dari Abdul Aziz

tirto.id - Hukum
Reporter: Abdul Aziz
Penulis: Abdul Aziz
Editor: Abdul Aziz