tirto.id - Maju menjadi calon anggota legislatif di usia 24 tahun pada Pemilu 2019, membuat Khoir Muhammad Najib harus berkompetisi dengan sejumlah senior dengan rentang usia yang jauh di atasnya. Sosok yang akrab disapa Najib ini maju sebagai caleg DPRD Kabupaten Lebak. Namun dia gagal, walaupun saat itu generasi muda banyak didorong oleh para petinggi parpol.
“Tentu saat maju ada perasaan kaget. Karena maju langsung dalam tahap politik praktis. Namun di usia muda akhirnya semuanya dijalani saja. Ada target yang ingin dicapai yaitu untuk perubahan tempat lahir saya agar lebih baik,” kisah Najib kepada reporter Tirto pada Jumat (21/10/2022).
Meski gagal, Najib mengaku tak jera. Ia mengaku ada sejumlah evaluasi dan catatan yang membuatnya mengubah sudut pandang mengenai politik. Menjadi politikus bukan hanya sekadar modal maju dengan gagasan. Ada sebuah realita lain yang harus dihadapi.
“Tak bisa dipungkiri modal sosial itu penting. Kita harus punya sayap di kanan dan kiri. Ada penggerak dalam organisasi, kalau kita hanya maju sendiri itu kurang mendapatkan respons," ungkapnya.
Najid menyampaikan bahwa anak muda dari kalangan milenial dan Gen-Z harus bisa bersiasat dan bergerak lebih cerdik dari para politikus senior yang lebih tua secara usia dan matang secara politik. Najib menyebut saat ini masyarakat mulai menghargai anak muda yang bergerak di politik.
“Bagi saya memang zamannya saat ini pencitraan adalah trik. Anak muda juga harus punya trik. Jangan hanya sekadar dimanfaatkan oleh partai yang ingin memanfaatkan suara milenial. Kita harus berpikir dengan akal sehat, karena politisi dan masyarakat harus saling berkesinambungan,” kata dia.
Apa yang disampaikan Najib selaras dengan hasil survei Center for Strategic and International Studies (CSIS) bahwa anak muda saat ini memiliki tingkat partisipasi yang tinggi terhadap politik. Bahkan hasil survei menunjukkan ada 15 persen generasi muda Indonesia yang ingin aktif dalam politik baik di tingkat legislatif hingga eksekutif.
Kepala Departemen Politik dan Perubahan Sosial CSIS, Arya Fernandes mengatakan, angka 15 persen masih belum dimanfaatkan secara optimal oleh partai politik. Mekanisme partai masih belum memberikan angin segar bagi milenial.
“Namun belum tersedia mekanisme politik di internal partai yang memungkinan mereka untuk berpartisipasi aktif, seperti masih rendahnya ketertarikan mereka menjadi kader atau anggota partai. Ke depan partai politik perlu memberikan kuota pencalonan khusus bagi pemilih muda,” kata Arya.
Arya menyebut partai politik perlu melakukan reformasi agar bisa diterima oleh milenial. Dalam catatan CSIS saat ini kepercayaan anak muda dengan rentang usia 17-39 tahun memandang rendah DPR. Bahkan dalam survei CSIS, DPR berada di posisi terendah dengan angka ketidakpercayaan mencapai 42,5 persen.
“Era baru ke depan akan menandai perubahan arah kebijakan politik pasca-2024. Dengan pemilih muda yang responsif terhadap kebijakan di bidang kesehatan, lingkungan, ketenagakerjaan, demokrasi dan pemberantasan korupsi akan membuat proses pembuatan kebijakan harus kolaboratif dan mendengar persepsi atau aspirasi eksternal," jelasnya.
Upaya Partai Menggoda Milenial Demi Kepentingan Pemilu 2024
Berkaca dari Pemilu 2019 yang mana para politikus berusaha keras menggaet milenial. Tahun politik Pemilu 2024, suasananya masih tak berubah. Para politikus berusaha mengelola gaya mereka agar selaras dengan anak muda. Seolah mereka sesuai dengan fesyen masa kini.
Salah satu gimmick yang diimitasi oleh para politikus tua agar berlagak seperti milenial adalah Citayam Fashion Week yang ada di kawasan Sudirman, Jakarta Pusat. Tokoh publik mulai dari Anies Baswedan hingga Ridwan Kamil berjalan di area itu membangun citra mereka dengan anak muda. Apa yang mereka lakukan diunggah di media sosial dan berhasil meraih ribuan komentar.
Selain para tokoh politik, partai juga melakukan hal serupa dengan sejumlah kegiatan dari yang mengajak nonton film hingga mengajak mereka masuk ke dalam parpol. Dalam catatan Tirto, setiap anggota DPR selalu menyelipkan agenda milenial di setiap daerah saat masa reses.
Sebut saja Golkar yang mengajak muda-mudi untuk ikut setiap kegiatan mereka. Selain itu, ada Ketua Umum PKB, Muhaimin Iskandar yang selalu menggelar kegiatan keagamaan seperti salawat bersama dengan anak muda yang menjadi peserta. Bahkan Ketua DPR RI dan Ketua DPP PDIP, Puan Maharani membuat Sekretaris Nasional demi menjaring milenial dan perempuan agar merapat dalam kotak suaranya.
Upaya partai politik untuk mendekati generasi muda sebagian berbuah hasil. Survei CSIS mencatat tiga partai politik tertinggi tetap menjadi pemilik suara milenial tertinggi, dengan perolehan suara PDIP: 21,6 persen, Partai Gerindra: 18 persen dan Partai Golkar: 11,3 persen. Adapun Partai Solidaritas Indonesia yang kerap mencitrakan diri sebagai partai anak muda masih belum berhasil. Suaranya hanya 0,8 persen.
Adapun calon presiden yang diidolakan oleh milenial ada Ganjar Pranowo dengan 26,9 persen suara, Prabowo Subianto 20,1 persen dan Anies Baswedan 19,9 persen. Ketiga nama itu masih serupa dengan hasil survei capres lainnya.
Pemilih Milenial Jangan Hanya Sekadar Mengekor!
Hingga saat ini kursi milenial di DPR hanya diisi 8 orang. Jumlah itu terlampau kecil dari total calon legislatif milenial yang maju di Pemilu 2019. Dilansir dari catatan KPU, PSI menjadi partai terbanyak dengan 240 caleg. Kemudian disusul PPP 142 caleg, dan Gerindra 98 caleg. Sehingga perlu ada inovasi dari caleg milenial agar bisa memberikan kontribusi signifikan di Pemilu 2024.
Pembina Perludem, Titi Anggraini menjelaskan, upaya memaksimalkan peran milenial harus dimulai dari dua pihak baik partai politik dan penyelenggara pemilu. Politikus milenial harus diberi kesempatan agar suara mereka benar-benar diekspresikan dengan baik.
“Oleh karena itu penyelenggara dan peserta pemilu perlu serius mengelola pemilih milenial agar tidak terjebak pada simbolisasi yang bersifat artifisial, yakni melibatkan hanya sebagai gimmick, namun secara substansial suara mereka tak benar-benar dihadirkan dalam proses yang berlangsung," kata Titi.
Tak dipungkiri semua partai mengincar generasi muda. Angka partisipan yang tinggi membuat semua partai menjadikan milenial dan generasi Z sebagai strategi utama dalam meraup suara.
Namun Titi mengingatkan bahwa kampanye generasi muda saat ini telah memiliki pemikiran dan gagasan krusial seperti isu lingkungan hingga anti korupsi. Sehingga tidak perlu lagi gimmick yang berulang, yang ingin mereplika gaya anak muda.
“Pemilih milenial mestinya menjadi modalitas semua pihak dalam rangka memerangi politik uang yang menjadi momok besar dalam pemilu. Serta juga untuk membangun pemilu dengan diskursus gagasan yang lebih membumi," jelasnya.
“Supaya pemilu benar-benar bisa menjawab persoalan-persoalan yang terjadi di masyarakat melalui tawaran janji-janji kampanye para kandidat yang diuji dan dideliberasi dengan baik bersama para pemilih," terangnya.
Ia juga mengimbau generasi muda untuk tidak takut bersuara. Literasi anak muda lebih maju dibanding mereka yang saat ini sudah generasi tua. Hal itu menjadi modal utama mengisi ruang politik yang saat ini membutuhkan banyak pembenahan.
“Sehingga harapan untuk membangun politik yang berbasis gagasan dan program lebih punya program untuk diwujudkan," ujarnya.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz