tirto.id - Persoalan politik, hukum, dan keamanan masih menjadi pekerjaan rumah atau PR pemerintahan Joko Widodo-Ma’ruf Amin yang genap tiga tahun pada 20 Oktober 2022. Hal ini tidak lepas dari sorotan publik, khsusnya sejumlah kasus yang belakangan terjadi.
Terbaru, publik menaruh atensi terhadap kasus pembunuhan Brigadir Yosua yang dilakukan eks Kadiv Propam Polri Ferdy Sambo, kasus narkoba yang menjerat Irjen Pol Teddy Minahasa, OTT Hakim Agung Sudrajad Dimyati oleh KPK hingga insiden Stadion Kanjuruhan yang melibatkan TNI-Polri.
Dalam beberapa survei yang dihimpun Tirto, kinerja pemerintah maupun angka persentase persepsi publik secara umum dan spesifik politik hukum dan keamanan tergolong fluktuatif. Akan tetapi, beberapa angka survei terakhir di 2022 mencatat ada yang lebih rendah daripada survei 2021 di periode yang sama.
Sebagai contoh, Lembaga Survei Indonesia (LSI) berupaya merekam fluktuasi politik nasional pada Agustus 2022. Berdasarkan hasil survei periode 13-21 Agustus 2022 dengan 1.220 sampel dan margin of error 2,9 persen, tren politik Indonesia tergolong sedang (41,9 persen) dan sebagian besar menganggap baik (32,1 persen). Sementara itu, angka demokrasi Indonesia dinilai tembus 77,7 persen dengan rincian sangat puas 6,2 persen dan cukup puas di angka 71,5 persen.
LSI juga mencatat, angka kepuasan kinerja Presiden Jokowi di angka 72,3 persen dengan perincian 14,4 persen sangat puas dan 57,9 persen cukup puas. Angka ini mengalami kenaikan dibanding survei Mei 2022 yang hanya 67,5 persen atau naik sedikit dibanding hasil survei November 2021 yang berada pada angka 72 persen.
Berbeda dengan LSI, lembaga survei Indikator berupaya membedah lebih jauh. Dalam survei periode 13-20 September 2022 kepada 1.200 responden dengan angka margin of error 2,9 persen, 26,2 persen responden menyatakan kondisi politik nasional baik, 41,7 persen menyatakan sedang dan 23,4 menyatakan buruk.
Dari segi grafik naik-turun, angka perolehan persepsi baik menurun dibandingkan survei sebelumnya pada agustus 2022 yang berada pada angka 32,1 persen dan status buruk naik dari 17,7 persen menjadi 23,4 persen. Angka ini bahkan lebih rendah daripada survei Indikator pada Desember 2021. Angka persepsi baik berdasarkan survei tahun lalu berada pada poin 27,9 persen, persepsi sedang pada angka 43,4 persen dan buruk di angka 21 persen.
Jika dibedah pun ada temuan mengarah pada kelemahan. Kondisi keamanan dinilai 55,1 persen sebagai hal baik (gabungan sangat baik 3,4 persen dan baik 51,7 persen); sedang pada angka 27,9 persen; dan buruk 15,9 persen.
Angka tersebut menurun dibandingkan hasil survei sebelumnya pada Agustus 2022 dengan perolehan 59,7 persen berpersepsi baik baik; 28,5% sedang; dan 11,1% buruk. Angka ini juga masih lebih rendah dibandingkan survei Desember 2021 bahwa persentase baik 58 persen, sedang 29,5 persen dan buruk 11,4 persen.
Di sektor penegakan hukum, hanya 36 persen responden bilang baik, 32,5 persen menyatakan sedang dan 28,5 persen buruk. Angka ini lebih baik daripada survei sebelumnya yang menyatakan 43,8 persen buruk, 25,1 persen menyatakan sedang dan 26,2 persen menyatakan baik. Angka survei terakhir masih lebih rendah daripada survei Desember 2021 yang menyatakan situasi hukum baik 41 persen, sedang 31,9 persen dan buruk 24 persen.
Sementara itu, kinerja pemerintahan Jokowi-Maruf dalam survei terakhir Indikator ada pada angka 67,1 persen. Jika dirinci, sekitar 13,7 persen menyatakan sangat puas dan 53,4 persen puas. Sementara itu, angka tidak puas berada pada 30,8 persen dengan rincian 25,3 persen kurang puas dan 5,5 persen tidak puas sama sekali.
Angka kepuasan memang naik daripada survei September 2022 yang pada angka 62,6 persen, tetapi lebih rendah daripada hasil survei Desember 2021 yang berada pada angka 71,4 persen.
Apa Penyebabnya?
Direktur Eksekutif Elsam, Wahyudi Djafar menilai, pemerintahan periode kedua Jokowi masih memiliki catatan serius di bidang hukum dan keamanan. Sebab, kata Wahyudi, Jokowi masih fokus pada ekonomi dan infrastruktur daripada permasalahan hukum dan keamanan yang kini kerap muncul.
“Dari tahap awal pemerintahan Presiden Joko Widodo di tahap kedua ini memang, kan, sepertinya tidak memberikan perhatian yang cukup, memberikan prioritas yang cukup pada agenda reformasi penegakan hukum,” kata Wahyudi kepada Tirto, Rabu (19/10/2022).
Wahyudi menambahkan, “Memang karena sejauh ini, kan, kalau kita lihat presiden itu lebih banyak bicara soal agenda-agenda terkait dengan ekonomi dan infrastruktur, yang kemudian berakibat pada banyaknya problem di sektor penegakan hukum, selain sektor dalam konteks pembentukan hukumnya sendiri.”
Pendapat Wahyudi bukan tanpa alasan. Sebut saja momen revisi Undang-Undang Pembuatan Peraturan Perundang-undangan (RUU P3) yang dinilai minim partisipasi publik dan penuh kepentingan. Kemudian sederet masalah di bidang sektor yudikatif seperti penangkapan hakim agung MA oleh KPK, hingga rentetan masalah di kepolisian, mulai dari kasus Ferdy Sambo, dugaan narkoba Teddy Minahasa, hingga insiden Stadion Kanjuruhan.
Wahyudi pun menilai, permasalahan-permasalahan hukum dan keamanan seperti Kanjuruhan dan lainnya memicu persepsi negatif publik kepada pemerintah, walaupun tidak semua kesalahan pemerintahan Jokowi.
Pada 2021, kata Wahyudi, isu hukum tidak berdampak kepada publik seperti soal sidang uji materi UU Cipta Kerja. Perhatian publik menguat setelah pemerintah bersama DPR mulai membahas revisi UU PPP untuk memuluskan UU Ciptaker yang dinilai MK “konstitusional bersyarat.”
Contoh lain yang membuat persepsi pemerintah buruk adalah penggantian hakim MK Aswanto. Publik tetap menyalahkan presiden meski hal tersebut kesalahan DPR. Karena itu, Wahyudi menyarankan pemerintah mulai fokus, perhatian serta mereformasi sektor hukum, tidak hanya sektor ekonomi.
“Nah, ini yang kemudian setelah 3 tahun pemerintahan Jokowi periode kedua menurut saya mestinya fokus mulai harus diarahkan pada bagaimana pengembangan dan perbaikan di sektor hukum. Tidak kemudian melulu perhatiannya dicurahkan pada konteks pengembangan ekonomi dan infrastruktur,” kata Wahyudi.
“Meskipun ancaman secara ekonomi hari ini juga tinggi dalam konteks resesi dan seterusnya, tetapi kemudian hukum ini, kan, menjadi satu alat yang juga penting untuk menentukan langkah-langkah yang legal, yang konstitusional yang harus diambil oleh pemerintah termasuk dalam konteks penegakan hukum maupun perlindungan hak-hak warga negara,” jelas Wahyudi.
Wahyudi menilai, pemerintah saat ini sudah mulai berinisiatif dalam perbaikan penanganan hukum dan keamanan. Contoh, dalam kasus HAM berat, pemerintah mulai memroses hukum HAM berat Paniai serta membentuk tim non-yudisial.
Menkopolhukam Mahfud MD juga mulai membuat grand design reformasi hukum Indonesia, kata Wahyudi. Pemerintah juga mulai menindak kasus-kasus yang menjadi atensi publik.
Akan tetapi, Wahyudi menilai, pemerintah masih belum menjalankan atas keinginan sendiri atau ada kepentingan tertentu. Dalam insiden Kanjuruhan misalnya, pemerintah diduga membuat TGIPF karena alasan minimnya kepercayaan publik atau lambatnya reformasi sistem hukum Indonesia.
Hal itu akan menimbulkan pertanyaan sudah sejauh mana upaya reformasi peradilan Indonesia sejak reformasi, sementara konsep TGIPF adalah konsep reformasi awal, kata Wahyudi.
Dalam masalah inisiatif, Wahyudi mencontohkan, pemerintah bergerak atas dorongan dan desakan publik. Ia berharap, pemerintah tetap membuka ruang dan tidak mengintimidasi publik dalam berekspresi. Oleh karena itu, Jokowi perlu tetap berkomitmen menjaga agar kebebasan berekspresi dan kritik publik terhadap pemerintahan tetap terjaga.
“Ini ditunjukkan untuk menjaga, untuk memastikan adanya transparansi dan akuntabilitas dalam penyelenggaraan pemerintahan itu sendiri,” kata Wahyudi.
Perubahan Dinilai Stagnan
Direktur Eksekutif Indonesia Political Opinion (IPO) Dedi Kurnia Syah mengakui bahwa ada perubahan di pemerintahan Jokowi selama tiga tahun terakhir. Akan tetapi, perubahan yang terjadi justru bersifat stagnan atau menurun terutama di sektor politik dan sosial.
“Perubahan terjadi, tetapi bukan dalam aspek pengembangan, melainkan stagnansi cenderung menurun jika dibandingkan dengan periode sebelumnya, lebih lagi jika dibandingkan rezim sebelumnya. Paling mencolok adalah soal politik, di mana imbas pada konflik sosial yang tinggi, sehingga terjadi benturan kepercayaan publik dengan kebijakan pemerintah,” kata Dedi kepada Tirto, Rabu (19/10/2022).
Selain aspek tersebut, Dedi menilai ada penurunan dalam aspek penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Situasi diperburuk dengan penangkapan jaksa dan hakim hingga keterlibatan polisi dalam tindak kriminal. Situasi itu lantas berimbas pada persepsi keamanan.
Selain itu, konflik sosial juga membuat kinerja pemerintah dinilai kurang optimal. Konflik tersebut bisa berupa masalah ketahanan ekonomi kelas bawah, selain soal masalah kualitas penegakan hukum.
“Artinya publik menilai secara umum bahwa penilaian kurang baik itu merata,” kata Dedi.
Dedi pun menilai, hasil survei beberapa waktu terakhir menandakan bahwa publik kurang yakin dengan kinerja pemerintah. Ia beralasan, survei kerap menjadi alat untuk memotret persepsi publik.
Ia khawatir, potret hasil survei, termasuk survei IPO, yang tidak optimal menandakan performa pemerintah mulai menurun. Ia beralasan, harapan publik tidak berubah, tapi performa pemerintah mulai menurun.
Hal itu diperkuat dengan masalah kontestasi Jokowi dan kelompok anti-Jokowi yang masih melekat di publik. Kelompok anti Jokowi kerap menggunakan kekecewaan pada pemerintahan Jokowi sebagai upaya propaganda.
“Begitu juga sebaliknya, prestasi pemerintah yang sebenarnya sederhana dilebih-lebihkan oleh pendengung. Ini yang membuat kekacauan opini,” kata Dedi.
Dalam data survei IPO, kata dia, kinerja pemerintah memang mengalami perbaikan dari 50-an persen ke angka 69 persen. Akan tetapi, angka tersebut naik karena momentum pemerintah memberikan bantuan sosial kepada publik.
“Itu tidak bertahan lama karena dalam aspek jangka panjang, publik tetap menilai umum dan hasilnya kekecewaan lebih tinggi dari kepuasan,” kata Dedi.
Dedi tidak memungkiri, situasi pemerintahan Jokowi bisa memburuk di masa depan, apalagi akan ada pelaksanaan pemilu. Namun ia menilai Jokowi bisa mengubah persepsi menjadi positif bila pemerintahannya mampu memisahkan kepentingan politik dan publik.
“Jika presiden berhasil memisahkan kepentingan politik dan publik, publik akan semakin banyak disuguhkah performa pemerintah yang bagus,” kata Dedi.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz