tirto.id - Rapat Paripurna DPR RI pada Kamis, 29 September 2022 memutuskan memberhentikan Aswanto sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK). Wakil Ketua DPR, Sufmi Dasco Ahmad menyebut, Komisi III tidak memperpanjang masa jabatan Aswanto dan menunjuk Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi.
Berdasarkan UU MK, jumlah hakim konstitusi ialah sembilan orang yang ditetapkan dengan Keputusan Presiden (Keppres). Komposisi sembilan hakim konstitusi ini dipilih oleh tiga lembaga, yaitu DPR RI, Mahkamah Agung, dan Presiden.
Dalam rapat paripurna, Dasco mengatakan, persetujuan pergantian hakim Aswanto telah disetujui lima fraksi, 1 fraksi setuju dengan catatan sesuai mekanisme, 1 fraksi menolak dan 2 fraksi tidak hadir.
“Sekarang perkenanankan kami menanyakan pada sidang dewan terhormat, apakah persetujuan untuk tidak akan memperpanjang masa jabatan hakim konstitusi yang berasal dari usulan DPR atas nama Aswanto dan menunjuk Guntur Hamzah sebagai hakim konstitusi yang berasal dari DPR tersebut, apakah dapat disetujui?” Dasco bertanya.
“Setuju,” kata peserta rapat sidang paripurna. Guntur pun hadir dalam sidang paripurna tersebut dan dikenalkan sebagai hakim konstitusi usulan DPR.
Sontak, pergantian Aswanto yang terkesan tidak transparan tersebut pun menimbulkan pertanyaan publik. Bahkan sejumlah mantan hakim konstitusi bahkan ikut mempertanyakan keputusan DPR yang mencopot Aswanto. Mereka menilai keputusan DPR tidak berdasar.
Mantan Ketua MK, Jimly Asshiddiqie mengatakan, dirinya bertemu dengan sejumlah eks hakim MK lainnya membahas pemecatan Aswanto ini. Jimly ingin melakukan protes ke DPR terkait kebijakan sepihak tersebut.
“Hari ini kami pukul 13.00 WIB, bersama beberapa mantan hakim mau bertemu di MK difasilitasi oleh Sekjen. Sebagian dari kami akan hadir secara fisik dan juga virtual zoom," katanya dalam pesan singkat pada Sabtu (1/10/2022).
Eks hakim MK, I Dewa Gede Palguna juga menyoalkan dasar hukum penggantian Aswanto. Ia menilai alasan Komisi III DPR mengganti Aswanto sebagai tindak lanjut dari surat MK tidak tepat. Menurut dia, surat dari MK adalah upaya pemberitahuan atas putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 96/PUU-XVIII/2020 tentang uji Pasal 87 huruf a dan huruf b UU Nomor 7 tahun 2020 sebagai perubahan ketiga Undang-Undang Nomor 24 tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi.
“Dilihat dari sudut pandang redaksi surat Mahkamah Konstitusi itu saja sudah patut dipertanyakan dari mana datangnya penalaran yang memberikan dasar argumentasi bahwa surat itu adalah surat yang meminta DPR untuk memberikan konfirmasi? Redaksi surat Mahkamah Konstitusi di atas terang benderang menyebut bahwa Mahkamah Konstitusi bukan meminta, melainkan menyampaikan konfirmasi kepada lembaga-lembaga yang berwenang mengajukan calon hakim konstitusi (DPR, Presiden dan Mahkamah Agung)” kata Palguna dalam keterangan, Senin (3/10/2022).
Palguna sebut, aksi MK memberitahukan adalah tindak lanjut putusan atas Pasal 87 huruf b dalam gugatan tersebut. Selain itu, isi surat di bagian akhir adalah “hakim konstitusi berasal dari usulan lembaga Dewan Perwakilan Rakyat yang saat ini sedang menjabat untuk dikonfirmasi adalah..." Tidak boleh dimaknai keluar konteks. Ia juga mengingatkan Pasal 23 UU MK bahwa alasan "karena tidak diperpanjang lagi oleh lembaga pengusul” tidak disebutkan sebagai bagian dari penghentian hakim konstitusi.
DPR, kata Palguna, juga tidak bisa memberhentikan hakim konstitusi karena harus diajukan oleh Ketua Mahkamah Konstitusi sesuai Pasal 23 ayat 4 UU MK.
Dalih Ketua Komisi III DPR
Ketua Komisi III DPR, Bambang Wuryanto menjelaskan alasan mereka mengganti Aswanto. Ia mengaku semua berawal saat DPR menerima surat dari MK untuk mengkonfirmasi ulang nama hakim yang diajukan DPR.
DPR, kata pria yang karib disapa Bambang Pacul itu, memilih untuk mengganti Aswanto karena kerap menganulir keputusan DPR dalam pembuatan undang-undang. “Ini keputusan politik, tentu ini nanti karena hadirnya keputusan politik juga karena hadirnya surat MK toh,” kata Bambang Pacul di kompleks parlemen, Senayan, Jakarta, Jumat (30/9/2022).
Politikus PDIP itu menambahkan, “Gimana kalau produk-produk DPR dianulir sendiri oleh dia, dia wakilnya dari DPR.”
Bambang Pacul menegaskan, DPR bukan pada posisi kecewa, tetapi menilai Aswanto tidak berkomitmen sehingga diganti. “Enggak komit dengan kita, ya mohon maaf lah, kita punya hak dipakai lah,” kata dia.
Di sisi lain, saat dihubungi Tirto, Senin (3/10/2022), Juru Bicara Mahkamah Konstitusi, Fajar Laksono tak mau berkomentar tentang hal tersebut. Namun, ia mengakui ada surat pemberitahuan putusan MK Nomor 96/PUU-XVIII/2020.
Pergantian Aswanto Dinilai Bentuk Arogansi DPR
Peneliti Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi), Lucius Karus menilai, asalan DPR tidak masuk akal bila mengganti Aswanto karena sering menganulir produk undang-undang yang disahkan parlemen. DPR, kata dia, unjuk kekuasaan kepada publik dan secara terbuka ingin “mendikte” MK.
“Kalau DPR dibiarkan sesuka hati mencopot, lalu mencari pengganti hakim konstitusi, wah setiap saat nanti hakim-hakim konstitusi terancam posisinya. Keputusan DPR itu jelas lebih menggerogoti indepensi MK, ketimbang kesimpulan DPR atas keputusan MK yang dianggap inkonstitusional,” kata Lucius, Senin (3/10/2022).
Lucius khawatir, kasus Aswanto akan memicu efek putusan MK harus sejalan dengan kepentingan DPR. Hal itu akan mempengaruhi independensi hakim konstitusi di masa depan.
“Ke depannya bukan UUD lagi yang menjadi rujukan utama MK, tetapi apa kepentingan DPR di balik UU yang diuji,” kata Lucius.
“Maka sesungguhnya pesan utama DPR dengan keputusan copot-ganti hakim MK itu sama saja dengan tak menginginkan adanya MK. Kalau hakim MK harus bekerja sesuai keinginan pengusul, maka enggak perlu lagi ada MK, karena yang dilakukan MK itu justru menguji keinginan pengusul terhadap konstitusi negara kita,” kata Lucius.
Lucius menilai, DPR tengah membolak-balik pemahaman independensi hakim untuk membenarkan langkah legislatif. Ia juga sebut, aksi DPR dalam mengganti Aswanto telah membuka cara-cara DPR dalam menempatkan orang mereka.
Lucius menegaskan proses seleksi hakim atau pejabat negara tidak boleh dipersepsikan demi kepentingan DPR. Pelibatan DPR dalam seleksi bukan posisi untuk menjadi ruang negosiasi.
“Proses seleksi tak bisa jadi alasan bagi DPR untuk mengharapkan pejabat yang akan diseleksi harus otomatis tunduk pada keinginan DPR ketika akan bekerja. Proses seleksi bukan ajang untuk berkompromi," kata Lucius.
Lucius mengingatkan, pelibatan DPR dalam seleksi pejabat adalah bentuk representasi rakyat dalam memilih pejabat. DPR seharusnya berifat terbuka dan partisipatif dalam proses fit and proper test. Dalam isu pergantian Aswanto, Lucius menilai DPR telah sewenang-wenang dalam amanat yang diberikan rakyat.
Sementara itu, Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Agil Oktaryal mengatakan, pemecatan Aswanto oleh DPR sebagai pelanggaran hukum dan independensi peradilan. Dari sisi normatif, Agil menilai pemecatan tidak memiliki dasar hukum.
Ia mengatakan Pasal 87 huruf b Undang-Undang 24 tahun 2003 jo Undang-Undang Nomor 7 tahun 2020 tentang Mahkamah Konstitusi menyatakan bahwa batas akhir masa jabatan hakim konstitusi adalah maksimal berumur 70 tahun atau keseluruhan masa tugas tidak lebih dari 15 tahun.
“Dalam konteks masa jabatan Aswanto, maka seharusnya akhir masa tugas beliau pada 21 Maret 2029 atau setidak-tidaknya hingga 17 Juli 2029,” kata Agil dalam konferensi pers di Jakarta, Senin (3/10/2022).
Jika ditilik secara prosedur, maka pengambilan keputusan pemberhentian Aswanto janggal karena dilakukan dalam sidang paripurna tanpa proses terjadwal. Ia pun menilai proses pemberhentian Aswanto dapat dianalogikan sebagai bentuk arogansi dan kesewenang-wenangan DPR.
“Sebab yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan tercela, tidak melanggar hukum atau etik, atau tidak juga melanggar sumpah jabatan hakim konstitusi. Hal-hal itulah yang dapat menjadi dasar pemberhentian seorang hakim konstitusi sebagaimana diatur dalam Pasal 23 UU MK,” kata Agil.
Hal tersebut, kata dia, justru menegaskan bahwa DPR ingin menjadikan hakim konstitusi sebagai alat untuk memuluskan produk undang-undang bermasalah dalam proses pengujian di MK.
“Jika publik membiarkan proses ini begitu saja, maka akan terjadi pembiaran upaya DPR untuk meruntuhkan independensi peradilan. Salah satu esensi dari independensi peradilan adalah masa jabatan hakim yang tetap dan lepas dari campur tangan lembaga lain,” ujar Agil.
Intervensi Peradilan Konstitusi
Direktur Eksekutif Pusat Studi Konstitusi (PusaKo), Feri Amsari menilai, aksi DPR memecat Aswanto bisa dikategorikan sebagai upaya intervensi peradilan konstitusi. Ia beralasan, DPR kerap mengabaikan putusan MK. Misalnya, DPR diminta revisi UU Cipta Kerja, tapi malah merevisi Undang-Undang Pembentukan Perundang-undangan.
Kemudian, DPR dinilai 'mengintimidasi hakim konstitusi dengan memberhentikan sepihak Aswanto. Feri khawatir aksi DPR berkaitan ketidakinginan mereka sejumlah undang-undang kembali gagal saat diuji di Mahkamah Konstitusi.
“Ini yang terjadi kemarin dengan cara orang-orang yang menentang DPR dicopot dari jabatan. Tidak peduli prosedurnya sesat. Padahal pemberhentian hakim MK harus ada surat yang dikirim ketua MK kepada presiden. Nah ini kok mendadak, ujug-ujug langsung tunjuk," ujar Feri.
“Apa yang menyebabkan prosesnya di luar pakem? Mereka tak nyaman dengan putusan MK, salah satunya UU Ciptaker. Ketidaknyamanan ini menyatukan parpol yang setuju dengan UU Ciptaker untuk menyingkirkan hakim-hakim yang mencoba memperjuangkan kepentingan publik," kata dia.
Sementara itu, ahli hukum tata negara dari Jentera, Bivitri Susanti berharap, Presiden Jokowi tidak merespons soal pemberhentian Aswanto. Ia mengingatkan bahwa upaya penandatanganan surat pemberhentian Aswanto sama dengan pelanggaran administrasi negara. Jika tetap ditandatangani, Bivitri yakin publik bisa menggugat keputusan tersebut di pengadilan.
“Yang lebih realistis ini keputusannya di Pak Jokowi. Tapi kata Pak Mahfud cuma tandatangan saja, keputusannya di DPR. Itu salah. Kerana dalam UU Administrasi Pemerintahan diatur bahwa seluruh keputusan Administrasi Negara harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik, yang salah satunya melanggar hukum atau tidak. Kenyataannya keputusan ini melanggar UU MK dan UU yang lain. Untuk itu, Pak Jokowi tidak boleh menindaklanjuti hal terebut,” kata Bivitri.
“Kalaupun Pak Jokowi tanda tangan, bisa dilawan di pengadilan," ujar Bivitri.
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz