Menuju konten utama

PSHK: Pencopotan Hakim MK Aswanto oleh DPR Tak Sesuai Prosedur

peneliti PSHK menilai secara normatif, pemberhentian Aswanto cacat karena tidak memiliki dasar hukum yang membenarkan.

Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Aswanto memimpin jalannya sidang uji materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum dengan agenda pemeriksaan pendahuluan di Gedung Mahkamah Konstitusi, Jakarta, Senin (14/3/2022). ANTARA FOTO/Indrianto Eko Suwarso/rwa.

tirto.id - Peneliti Pusat Studi Hukum dan Kebijakan (PSHK) Indonesia, Agil Oktaryal menyebut, alasan DPR RI dalam memberhentikan Aswanto sebagai hakim Mahkamah Konstitusi (MK) karena yang bersangkutan dianggap sering menganulir undang-undang yang dibentuk DPR adalah bentuk pelanggaran hukum dan merusak independensi peradilan.

Selain itu, kata Aqil, secara normatif, pemberhentian tersebut cacat karena tidak memiliki dasar hukum yang membenarkan. Pasal 87 huruf b UU Nomor 7 tahun 2020 tentang Perubahan Ketiga atas UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi menyebutkan hakim konstitusi yang sedang menjabat dan dianggap memenuhi syarat menurut UU ini dan mengakhiri masa tugasnya sampai usia 70 tahun atau selama keseluruhan masa tugasnya tidak melebihi 15 tahun.

“Ketentuan ini [Pasal 87 huruf b] sekaligus menghapus periodisasi jabatan hakim konstitusi. Dalam konteks, masa jabatan Aswanto, maka seharusnya akhir masa tugas beliau pada 21 Maret 2029 atau setidak-tidaknya hingga 17 Juli 2029 saat genap berusia 70 tahun,” kata Agil dalam konferensi persnya, Senin, 3 Oktober 2022.

Secara prosedur, menurut Agil, pengambilan keputusan pemberhentian tersebut janggal karena dilakukan berdasarkan sidang paripurna yang dilakukan tanpa proses terjadwal, sehingga tidak diketamhui publik.

“Selain itu, pemberhentian Aswanto sebagai hakim konstitusi juga merupakan bentuk kesewenang-wenangan. Sebab yang bersangkutan tidak melakukan perbuatan tercela, tidak melanggar hukum atau etik, atau tidak juga melanggar sumpah jabatan hakim konstitusi. Hal-hal itulah yang dapat menjadi dasar pemberhentian seorang hakim konstitusi sebagaimana diatur Pasal 23 UU MK," imbuh Agil.

Hal tersebut seperti menegaskan bahwa DPR ingin menjadikan hakim konstitusi sebagai alat untuk memuluskan produk undang-undang bermasalah dalam proses pengujian di Mahkamah Konstitusi, kata Agil.

“Jika publik membiarkan proses ini begitu saja, maka akan terjadi pembiaran upaya DPR untuk meruntuhkan independensi peradilan. Salah satu esensi dari independensi peradilan adalah masa jabatan hakim yang tetap dan lepas dari campur tangan lembaga lain,” ujar Agil.

Di sisi lain, dosen hukum tata negara, Feri Amsari menyebut, apa yang sedang dilakukan DPR adalah langkah-langkah untuk mencampuri urusan peradilan.

“Pertama, seringkali putusan peradilan diabaikan. Putusan UU Ciptaker diabaikan, disuruh revisi UU Ciptaker yang direvisi malah Undang-Undang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan,” kata Feri.

Kedua, kata Feri, yaitu intimidasi hakim. “Ini yang terjadi kemarin dengan cara orang-orang yang menentang DPR dicopot dari jabatan. Tidak peduli prosedurnya sesat. Padahal pemberhentian hakim MK harus ada surat yang dikirim ketua MK kepada presiden. Nah, ini kok mendadak, ujug-ujug langsung tunjuk,” ujar Feri.

“Apa yang menyebabkan prosesnya di luar pakem? Mereka tak nyaman dengan putusan MK, salah satunya UU Ciptaker. Ketidaknyamanan ini menyatukan parpol yang setuju dengan UU Ciptaker untuk menyingkirkan hakim-hakim yang mencoba memperjuangkan kepentingan publik," kata Feri.

Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti menyebut, tindak lanjut yang dapat diharapkan saat ini adalan keputusan presiden untuk tidak menandatangani Keppres pemberhentian Hakim Aswanto karena hal tersebut berarti akan menyalahi UU Administrasi Pemerintahan.

“Yang lebih realistis ini keputusannya di Pak Jokowi. Tapi kata Pak Mahfud cuma tandatangan saja, keputusannya di DPR. Itu salah. Kerana dalam UU Administrasi Pemerintahan diatur bahwa seluruh keputusan Administrasi Negara harus memenuhi asas-asas umum pemerintahan yang baik (AAUPB) yang salah satunya melanggar hukum atau tidak. Kenyataannya keputusan ini melanggar UU MK dan UU yang lain. Untuk itu, Pak Jokowi tidak boleh menindaklanjuti hal terebut.” kata Bivitri.

Meski demikian, Bivitri menyebut jika Jokowi tetap menandatangai Keppres, maka keputusan tersebut dapat digugat di pengadilan.

Baca juga artikel terkait ASWANTO atau tulisan lainnya dari Fatimatuz Zahra

tirto.id - Hukum
Reporter: Fatimatuz Zahra
Penulis: Fatimatuz Zahra
Editor: Abdul Aziz