tirto.id - "Kami bahu-membahu gotong. Entah itu masih hidup apa jenazah. Saya tak bisa bedakan orang pingsan sama mayat. Saya pikir yang penting itu teman-teman saya, itu saya masukkan ke ambulans.”
Di ujung telepon, suara Aldiansyah (28) bergetar dan agak serak. Nada suaranya yang getir menunjukkan ia masih menyimpan kesedihan begitu dalam akibat ditinggal kawan seperjuangannya, Aremania, suporter Arema FC.
Awalnya Gomblo, sapaan akrabnya, tak berniat menonton pertandingan Arema FC melawan Persebaya di Stadion Kanjuruhan, pada Sabtu (1/10) naas itu. Firasatnya tak enak. Terlebih, istri dan anaknya tengah jatuh sakit.
Namun seorang teman bernama Vian Plong mengajaknya untuk pergi menonton. "Ayo kita nonton, pertandingan besar ini," kata Gomblo menirukan ajakan sang teman, Selasa (4/10/2022).
Ia pun berpikir demikian. Sebab, ini merupakan pertandingan Derby Jawa Timur dan berada di kandang Arema FC, klub bola kesayangannya. Apalagi, dia sudah menjadi suporter Arema FC sejak tahun 2002 atau masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD).
Akhirnya ia minta restu sang istri dan diizinkan untuk pergi menonton. Dengan catatan, langsung pulang setelah pertandingan berakhir. Demikian istrinya mewanti-wanti.
Ba'da magrib, Gomblo dan temannya menaiki sepeda motor dari Dieng Atas, Kabupaten Malang menuju Stadion Kanjuruhan.
Mereka tiba sekitar pukul 19.50 WIB. Sementara pertandingan berlangsung pada pukul 20.00 WIB. Puluhan ribu Aremania terlihat memadati stadion. Mereka berdua kebagian duduk di gate 4, persis belakang gawang utara.
Kick off dimulai, pertandingan pun berjalan lancar. Bahkan nyaris tak ada keributan. Sebab, suporter Persebaya, Bonek Mania, rival abadi Aremania, saat itu tidak diizinkan untuk menonton pertandingan. Sehingga tak ada pemicu keributan apapun.
Setelah peluit akhir ditiup tanda pertandingan telah selesai, Arema FC harus menelan kekalahan melawan Persebaya Surabaya dengan skor 2-3. Tiba-tiba, terdapat dua Aremania dari tribun 9 dan 10 turun ke lapangan untuk bertemu dengan pemain Arema FC.
"Mereka menghampiri captain tim Arema Johan Alfarizi, mereka memeluknya. Terus ada suporter yang turun memberikan support, enggak niatan untuk menyerang official atau tim lawan," ucapnya.
Dua suporter diamankan oleh steward untuk kembali balik ke tribun. Setelah itu, suporter lainnya juga ikut turun ke lapangan untuk memberi dukungan dan memeluk pemain.
Pada saat itu, kata Gomblo, banyak aparat yang berjaga. Namun ia melihat aparat tak mencegah dan seolah membiarkan Aremania masuk ke lapangan.
Ketika para pendukung sudah di lapangan, aparat langsung datang menghampiri dan tanpa peringatan ataupun teguran langsung melayangkan pukulan dengan tangan maupun tongkat.
"Lalu itu yang membuat emosi dan membuat teman-teman pada marah juga. Arogansi aparat pada saat itu terasa banget," tuturnya.
Para Aremania yang turun semakin ramai. Mereka juga menghampiri pemain dan official yang akan masuk ke ruang VIP, namun dijaga oleh aparat dengan membuat tameng.
Bentrok pun terjadi antara suporter dan aparat. Bedanya, para suporter dengan tangan kosong, sementara aparat menggunakan tameng dan tongkat. Setelah itu, unit K9 yang membawa anjing dan pasukan huru-hara (PHH) keluar dari pintu VIP.
Melihat suasana yang sudah tak kondusif, banyak para suporter yang ingin keluar dari Stadion Kanjuruhan. Awalnya dia melihat pintu gate 3 yang dibuka dan tak lama pintu gate 4 dibuka. Penonton ramai-ramai pada berlarian menyelamatkan diri keluar.
Akhirnya ia dan sang teman coba mencari pintu keluar lainnya yang sedikit longgar. Pintu gate 5 saat itu belum terbuka, akhirnya ia ke gate 6 yang saat itu dalam posisi terbuka.
Akan tetapi, tiba-tiba saja lampu stadion dimatikan sebagian. Petaka baru saja dimulai.
“Dhuarr…dhuarr!”
Polisi menembakan rentetan gas air mata ke arah gate 10, 11, 12, 13, hingga 14 yang merupakan tribun selatan.
"Sama di lapangan sudah penuh asap semuanya. Polisi itu menembak gas air mata enggak cuma sekali dua kali, tapi beberapa kali," ujarnya.
Pintu gate 6 juga kebagian ditembaki gas air mata. Mereka sangat panik berebut untuk turun dari tribun dan bergerombol keluar.
"Kami ibarat kaya nyamuk dalam toples yang disemprot obat nyamuk [Fogging]," ujarnya.
Gomblo bersama temannya pun memutuskan untuk kembali ke gate 4. Di sana, ia bertemu dengan seorang ibu yang membawa dua anaknya yang masih balita. Sang ibu mengaku tak mengetahui lagi posisi suaminya di mana. Lantaran asap tebal dari gas air mata sudah menyelimuti mereka.
Gomblo langsung mengajak ibu dan kedua anaknya untuk keluar bersama. Ia pun memanggil temannya untuk bergegas menolong kedua balita itu.
"Plong, ayo ditolongi ada dua anak. Kamu bawa ini [Anak pertama], saya yang ini [Anak kedua].”
Gate 4 sudah pekat dengan asap, suasana gelap dan mencekam.
"Kami Alhamdulillah masih bisa keluar. Saya cari air mineral, saya basuh muka anak-anak tadi pakai air mineral biar enggak kepedasan dan sesak," imbuhnya. Tak lama suami perempuan itu datang menemui mereka.
Horor di Tribun Selatan
"Di tribun selatan banyak yang mati".
Baru istirahat sejenak dari kepungan gas air mata, ia mendengar teriakan-teriakan minta tolong dari tribun selatan.
Dengan energinya yang tersisa seadanya, ia berinisiatif langsung menuju tribun selatan, lokasi tribun 13 dan 14.
"Pikiran saya teman-teman saya, keponakan saya banyak di sana," ujarnya.
Setibanya di gate 14 yang terletak di sebelah VIP, dia langsung membantu penonton untuk keluar dari sana.
"Posisi gate 14 sudah gelap. Asap sudah kayak orang bakar hutan," tuturnya.
Dirasa sudah cukup aman, Gomblo langsung lari ke sebelah, yakni gate 13. Saat itu dia melihat gerbang masih dalam kondisi tertutup dan sulit dibuka. Padahal saat itu terdapat anggota TNI-Polri dengan alat pengaman diri lengkap yang tengah berjaga di dekat gate 13, namun mereka hanya diam.
"Saya mau pinjam tongkatnya untuk buka pintu enggak dikasih. Saya minta bantuan polisi, mereka enggak berani," ucapnya.
Merasa polisi tak bisa diharapkan, akhirnya Gomblo meminta bantuan ke steward. Tetapi mereka juga saat itu tengah membantu para korban lain.
Akhirnya Gomblo dan penonton lainnya memutuskan untuk mendobrak pintu dari luar. Namun hal itu sulit, lantaran para suporter sudah menumpuk dari dalam dan pintu juga yang terbuat dari besi tebal.
Suporter dari luar pun mengusulkan untuk menjebol ventilasi beton yang ada di sebelah gerbang 13. Mereka menjebol dengan menggunakan batu, tendangan, hingga memukul pakai tangan.
Ventilasi beton itu akhirnya berhasil dijebol meski ukurannya kecil dan hanya muat untuk dilewati satu orang. Gomblo langsung menarik satu persatu para korban yang terjebak di pintu 13 ke luar agar mereka dapat menghirup udara segar.
"Soalnya itu kondisi asap kayak kebakaran, Mas. Saya tolong yang bisa ditolong," ujarnya.
Merasa napasnya sudah engap dengan mata yang perih akibat asap gas air mata, dia pun meminta rekannya yang lain untuk bergantian. Gomblo memilih berisitirahat sejenak sambil mencari udara segar.
Sekiranya sudah cukup kuat, ia menggotong korban yang bergeletakan di luar gate 13 untuk dibawa ke mobil ambulans. Satu ambulans dimasukan tujuh sampai delapan korban.
Korban-korban itu mukanya terlihat lemas, ada juga yang wajahnya sudah biru. Ia tak tahu apakah para korban yang ia gotong masih bernapas atau sudah tewas.
"Tapi saya pikir itu sudah mati semua," tuturnya.
Dia mendengar kabar jika penonton yang ada di tribun 11, 12, 13, dan 14 terjepit. Aremania yang berada di luar semakin panas ketika mendengar kabar jika sedulurnya banyak yang tewas. Akhirnya mereka menjadikan aparat sebagai pelampiasan, sehingga bentrokan pun terjadi di luar.
Gomblo dan Vian pun memutuskan untuk mengikuti ambulans menuju Rumah Sakit Wava Husada Kabupaten Malang. Saat keluar, dia melihat suasana sekitar stadion sudah chaos dan ada mobil polisi yang terbakar.
"Saat itu ada truk brimob mau buka jalan, tapi mereka sengaja kayak mau nubruk ke teman-teman suporter yang di jalan posisi banyak ambulan seliweran," terangnya.
Merasa tak terima, massa semakin marah. Begitu ada teriakan di dalam Stadion Kanjuruhan banyak Aremania yang tewas, mereka pun semakin memanas.
Tiba-tiba brimob turun dari mobil langsung memukuli para suporter yang ingin menghalangi jalannya mengamankan pemain klub Persebaya.
Melihat situasi yang makin tak terkendali, Gomblo dan temannya memutuskan untuk turun dari ambulans dan melanjutkan ke Rumah Sakit Wava Husada dengan mengendarai sepeda motor.
Gomblo melihat sekelilingnya. Wajah para Aremania dibaluri pasta gigi. Banyak juga di antara mereka yang tergeletak pingsan.
Setibanya di rumah sakit, Gomblo justru diperlihatkan dengan penampakan yang mengerikan saat hendak masuk ke Instalasi Gawat Darurat (IGD).
"Pas tiba di selasar IGD, banyak mayat bergeletakan. Di depan ruang tunggu juga banyak mayat. Saya ketemu dua temen meninggal, satu anak Polean dan anak Dieng [Malang]," ungkapnya.
"Mereka [Mayat] posisinya di tenggorokan agak menciut, di rongga dada di ulu hati agak kempes dan muka biru," tambahnya.
Sementara itu sang teman, Vian Plon menemukan dua keponakannya sudah tewas terbujur kaku. Satu tinggal Bululawang dan satunya lagi di Bareng Raya, Malang.
Polisi Tahu Tak Boleh Pakai Gas Air Mata
Yonna Arianto, tengah berada di tribun VIP meliput derby Jawa Timur tersebut untuk kantornya Kliktimes.com, saat aparat menembak gas air mata ke atas tribun penonton.
Menurutnya, saat itu steward dan panitia pelaksana telah mengingatkan aparat kepolisian agar jangan menggunakan kekerasan dan gas air mata.
"Sebenarnya mereka [Polisi] sudah mengerti. Tapi enggak tahu kenapa aparat tetap melakukan penembakan itu," ucapnya.
Dari atas tribun VIP, dia menyaksikan begitu jelas aparat yang melakukan tindakan kekerasan seperti memukul, menendang, bahkan ada yang menggunakan pentungan.
"Kekerasan aparat sama seperti video yang beredar, Mas," imbuhnya.
Meski polisi menembak ke arah tribun selatan, namun asapnya terbang sampai ke tribun VIP. Ia pun mengaku kedapatan perihnya. Sebab tribun VIP berada di sebelah gate 14. Tak lama kemudian asap gas air mata menggumpal di tribun VIP.
Akhirnya ia memutuskan untuk masuk ke dalam tribun menuju media center. Tetapi langkahnya terhenti ketika dia memasuki lorong dan melihat banyak korban yang sudah tergeletak. Aremania juga banyak yang berseliweran menyelamatkan diri dan menggotong korban.
Sebagai seorang jurnalis pada umumnya, peristiwa itu merupakan momen bagus untuk diwartakan menjadi berita. Namun hari itu, Yonna memilih menanggalkan profesinya. Tidak hari ini.
Ia lantas menggotong korban ke area medis yang jaraknya sekitar 30 meter dari lorong tempat dia berdiri. Tak terhitung berapa korban yang ia evakuasi. Rata-rata yang dia bopong berusia 17-25 tahun.
"Kondisi mereka ada yang pingsan, sempoyongan, nangis, panik. Apalagi di dalam lorong segitu, rasanya engab, Saya saja napas susah. Saat itu evakuasi kesulitan," ucapnya.
Saat menyelamatkan korban, Yonna dimintai bantuan oleh tim medis untuk diberikan pertolongan pertama oleh korban berjenis kelamin laki-laki yang terlihat sedang sekarat.
"Mas, ini saya tekan dadanya. Kalau enggak reaksi, Mas kasih napas buatan ya," kata Yonna menirukan instruksi tim medis.
Berkali-kali dia dan tim medis lakukan cara itu. "Akhirnya Tuhan berkata lain. Dia meninggal. Saya langsung lemes Mas, orang yang saya bantu meninggal," ujarnya dengan suara terisak.
Melihat masih banyak korban yang berjatuhan, Yonna tetap melanjutkan tugas kemanusiaannya. Dia terus menggotong para korban yang sudah terkapar lemas di lantai.
"Saya enggak tahu itu yang saya gotong masih hidup atau sudah menjadi mayat. Tapi tetap saya gotong. Tapi yang saya tahu yang saya bantu gotong itu dua orang yang sudah tewas," tuturnya. Dua korban itu berjenis kelamin laki-laki dengan usia 17-20 tahun.
Lantaran area medis sudah penuh, ia mengevakuasi korban ke ruangan VIP. Tetapi sesampainya ia di sana, sudah banyak jenazah yang ditutup kain.
Lantas ia mengevakuasi korban ke ruangan media center. Ia bersama rekan wartawan lainnya memindahkan bangku dan meja untuk para korban berisitirahat.
"Saya lihat ada satu orang laki-laki meninggal dunia di media center," tuturnya.
Kelelahan dan tak kuat dengan asap gas air mata, Yonna bersama teman-teman sesama pewarta memutuskan untuk keluar ke parkiran. Demi sehirup dua hirup udara segar.
Yonna membawa satu sepatu dari korban yang telah meninggal dunia ke luar stadion. Matanya basah. Langkahnya lunglai.
Ia tak kuasa menyaksikan mayat yang yang bergeletakan atas kekejian aparat yang membuat lebih dari seratus jiwa itu meregang nyawa.
Air matanya kembali merembes keluar mengingat kejadian naas tersebut.
"Ini manusia lho Mas, bukan hewan buruan. Sudah kaya babi hutan saja yang dibunuh," ucap dia.
Aremania Sudah Peringati Aparat
Seorang Aremania, Yohannes Prasetyo (25) yang saat itu berada di gate 7 menyelamatkan diri berlari ke pintu keluar dari kepungan asap tebal gas air mata. Ia sempat berdesak-desakan berebut dengan penonton lainnya.
Namun niat itu ia urungkan ketika mendengar teriakan dari anak kecil dan ibu-ibu yang juga ingin menyelamatkan diri.
"Tolong...Tolong...”
Mendengar teriakan itu, ia sontak dengan mata perih dan pernapasan terganggu akibat gas air mata langsung berlari ke lapangan untuk meminta aparat kepolisian menghentikan aksi brutalnya itu.
"Saya soalnya inget, kalau itu di posisi anak saya gimana," ucapnya.
Mengumpulkan keberanian, ia menghampiri polisi dengan menjabat tangannya dan memberitahukan jika terdapat anak kecil.
“Pak, jangan tembak gas air mata, Pak. Banyak anak kecil.”
Akan tetapi niat baiknya itu malah disambut dengan bentakan dan kekerasan fisik untuk menyuruhnya keluar.
“Keluar!”
“Ya saya keluar tapi jangan tembak gas air mata.”
“Keluar!”
"Polisi pukul saya banyak Mas, kepala, punggung, kaki, ada yang pakai tangan, tongkat, tendang pakai sepatu," tuturnya.
Ia yang saat itu juga merekam video aksinya itu diminta oleh polisi untuk dimatikan. Videonya itu juga sempat viral di media sosial.
Salah satu nawak saya, turun kelapangan baik2 berbicara tentang jangan gunakan gas air mata di tribun karena ada anak kecil yg terkena imbas, lalu apa yg dia dapatkan? Bentakan, pukulan untuk keluar lapangan!@Tidakpernahtua@lapangan_hi7au@rodrigosantono@OngisnadeNetpic.twitter.com/wxLms9SnNA
— iqbal.adilah (@adilah_iqbal) October 3, 2022