tirto.id - Hampir sembilan tahun lebih Muhammad Bayu Hermawan menggeluti pekerjaannya sebagai seorang petani. Sebagai pemuda berdarah Dayak, ia tak menyimpan sedikit rasa malu apalagi gengsi. Bercocok tanam dan berkebun baginya sudah menjadi hobi. Lewat hasil tani, ia bisa menghidupi keluarganya serta mempekerjakan orang banyak.
Bayu, sapaan akrabnya, berhasil 'mematahkan' mindset atau pola pikir keliru yang masih menganggap petani hanyalah seorang pekerja biasa. Ia sadar permasalahan selalu melekat pada petani adalah label bahwa petani itu orang miskin. Petani dianggap pekerjaan yang mungkin rendah atau dinomorduakan. Namun tidak semua pikiran negatif terhadap petani itu benar dan berhasil dibuktikannya.
“Saya sebenarnya dari 2013 itu sudah jadi petani. Saya ingin coba ubah citra petani ini,” kata pria kelahiran 1996 ini di ujung telepon saat dihubungi reporter Tirto.
Lewat warisan sang nenek, Bayu memutuskan terjun ke bisnis produk olahan sorgum pada 2015. Sorgum adalah biji-bijian sereal yang bentuk tanamannya tinggi seperti jagung. Biji sorgum khususnya jenis Sorgum Bicolor (L) Moench dapat digunakan sebagai alternatif bahan pangan pokok pengganti beras, ataupun jagung. Selain itu, biji sorgum dapat diolah juga menjadi gula, kecap, bahkan tepung.
“Jadi nenek saya dari dulu ngenalin sorgum. Jadi waktu kecil itu sering banget makan sorgum dibuat kudapan seperti gula merah pakai kelapa," ujarnya.
Namun seiring waktu, kudapan sorgum dari tangan sang nenek tidak lagi ia bisa nikmati setiap hari. Karena bahan baku atau tanaman sorgum di Indonesia jumlahnya masih terbilang susah. Bahkan tidak banyak orang yang mengetahuinya jenis tanaman tersebut.
Berdasarkan data yang diperoleh Tirto, produksi sorgum di Indonesia tidak besar. Sentra produksinya hanya di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, NTB, dan NTT. Produksi seluruhnya diperkirakan tidak lebih dari 10 ribu ton. Terpaut jauh dari gabah yang bisa mencapai 52 juta ton dan jagung yang 14 juta ton/tahun. Produktivitas sorgum di kebun rakyat pun rata-rata hanya 1,2–1,3 ton per ha.
Sejak saat itu, Bayu memutuskan untuk mencari tahu sentra daerah mana saja bisa menghasilkan sorgum. Pikirnya saat itu sederhana. Sebagai putra Dayak, ia ingin mengembangkan lagi tanaman lokal tersebut.
“Akhirnya diarahkan ke BPTP Bali karena di Kalimantan Selatan tidak ada lagi yang mau nanam, waktu itu di Bali masih ada. Akhirnya saya ambil itu, saya bersama tim ngambil itu. Kami akhirnya kembangkan lah sorgum ini," ujarnya.
Sambil berjalan waktu, Bayu sadar memperkenalkan sorgum kepada masyarakat cukup sulit dan membutuhkan waktu lama. Jangankan ke teman dekat, hampir 90 persen orang tua dulu saja, kata Bayu, tidak mengetahui sorgum.
Namun semangatnya tak patah arang. Dari situ ia kemudian melakukan riset hingga ke luar negeri. Hasil riset ternyata menemukan sorgum sudah dikembangkan di negara-negara lain. Di benua Afrika, sorgum digunakan sebagai makanan, pakan dan bahan bakar.
Pada 2016, Afrika memproduksi 29.773.508 ton biji sorgum, mewakili 46,5 persen dari produksi dunia. Walaupun demikian, produktivitas sorgum di Afrika termasuk rendah, karena adanya keterlambatan dalam mengembangkan teknologi baru seperti halnya pada tanaman lain.
Di benua Amerika, Amerika Serikat menjadi produsen teratas. Pada 2016, AS memproduksi 12,1 juta ton biji sorgum, di mana 72 persennya berasal dari negara bagian Kansas dan Texas. Di Amerika Serikat, utamanya sorgum digunakan untuk pakan ternak dan untuk memproduksi etanol.
Selain Amerika Serikat, Meksiko, Argentina, Brasil, dan Bolivia merupakan produsen aktif sorgum di benua Amerika.
Di benua Eropa, khususnya negara-negara Uni Eropa (UE), sorgum digunakan sebagai pakan ternak, sumber pangan bebas gluten, dan juga sebagai sumber energi terbarukan (Metanol, Gas Sintesis). Di Eropa, Rumania menjadi produsen sorgum teratas. Pada 2017 saja, Romania membudidayakan 13.833 ha, yang menyumbang 25,2 persen dari seluruh budidaya sorgum di Eropa.
Di benua Asia, produsen utama sorgum ialah India, diikuti Cina, Myanmar, Pakistan, dan Thailand. Sedangkan Indonesia sendiri masih terbilang memiliki produktivitas yang rendah dengan rata-rata sekitar 4.000 hingga 6.000 ton dalam setahun, di mana sorgum menempati urutan kelima setelah padi, gandum, jagung dan jelai. Saat itulah, ia melihat ada potensi cuan bisa dikembangkan dari tanaman ini.
“Selama dua tahun kami meriset full sampai bikin produk turunan kaya beras tepung gula kecap,” kata Bayu bercerita.
Sejak saat itu, Bayu memutuskan untuk memberikan nama brand seluruh produk turunan dari sorgum yakni 'Tambiyaku'. Nama itu diberikan sebagai dedikasinya kepada sang nenek. Tambiyaku sendiri berasal dari bahasa Dayak yang artinya adalah nenek. Lewat brand tersebut, Bayu ingin terus berinovasi dan membawa produk asal Kalimantan itu go nasional dan internasional.
“Kami ingin orang itu berhak mendapatkan makanan sehat yang layak dengan harga terjangkau. Kami sendiri menanam dari hulu sampai ke hilir," imbuhnya.
Bayu yakin dengan proses hilirisasi dijalani sekarang, sedikitnya bisa membantu menekan produk-produk impor seperti gandum dan beberapa komoditas lainnya.
“Makanya itu yang saya pingin bagaimana caranya kita bikin bahan baku dulu sendiri, sehingga kita bisa buat makanan yang terjangkau orang bisa beli dan layak beli. Itu awal mula kami bergerak sampai sekarang Tambiyaku kita ada," jelasnya.
Tantangan Memperkenalkan Produk Sorgum
Seiring waktu, Bayu mengaku kesulitan dalam memperkenalkan dan memasarkan produk olahan sorgum kepada masyarakat. Ada edukasi panjang dilakukan secara gencar. Belum lagi, ia harus memberikan stigma positif kandungan yang ada pada sorgum dibandingkan dengan sejumlah olahan pangan lainnya.
Adapun kandungan gizi pada sorgum yaitu serat tidak larut air atau serat kasar dan serat pangan. Dalam 100 gram sorgum, terdapat kandungan berupa: Energi 336 kalori (Kal), Protein 11 g, Karbohidrat 73 g, Lemak 3.3 g, dan Serat 1.2 g.
Selain itu, Sorgum juga mengandung Vitamin B1 (tiamin) 0,09 miligram (mg), Vitamin B2 (riboflavin) 0,14 mg, Niasin 2.8 mg, Besi 4.4 mg, Fosfor 287 mg, dan Kalium 249 mg.
“Paling penting edukasi orang tahu dulu sorgum. Biasanya kami tabrakin nih, kami sebenarnya uji sorgum ini bagusnya di mana? Oh ternyata seratnya tinggi, kemudian kita tabrakin sama potensi ada di pasaran, dan kita tabrakan sama isu-isu yang ada," jelasnya.
Dia mencontohkan misalnya penyakit diabetes memerlukan makanan yang karbon-nya kompleks. Ini bisa diakali dengan sorgum ketimbang harus mengonsumsi beras. Selain diabetes, ternyata sorgum bisa memberikan protein lebih tinggi. Artinya cocok dipasarkan ke orang-orang atletik dan suka fitness.
“Jadi kami sudah dapat marketnya. Kami masuk ke komunitasnya. Kalau kami random, kan, kami bingung pasarinnya. Satu orang yang belum teredukasi terus kami tanya sorgum lama. Karena mereka sudah terbiasa makanan yang enak, makanya kami benar-benar memilih market kami, siapa yang tahu tentang sorgum," jelasnya.
Awalnya, Bayu menargetkan pangsa pasar produknya untuk usia 25 - 30 tahun. Seiring berjalannya waktu dan hasil riset, ternyata yang mengerti akan kebutuhan dari sorgum itu adalah rentang usia 35 - 50 tahun.
“Kami juga tidak bisa paksakan apa yang kami ingin, kan. Tetap relate sama diperlukan orang. Makanya pasar sendiri, kami ada dua. Internasional sama nasional juga," jelas dia.
Hingga saat ini, produk olahan Tambiyaku seperti beras gula dan lainnya sudah menembus beberapa kota-kota besar seperti Jakarta, Bandung, Yogyakarta, Surabaya, dan Kalimantan. Sementara untuk pasar ekspor produk sorgum berhasil menembus tiga negara yakni Australia, Singapura sama Ghana.
“Akhirnya orang sudah bisa melihat spesifik sorgum sudah oke," imbuhnya.
Dari sisi penjualan, Bayu mengaku ada peningkatan cukup signifikan. Upaya ini tidak terlepas dari semakin banyaknya orang yang sudah teredukasi terhadap manfaat olahan sorgum. Dalam sebulan bahkan pendapatannya bisa mencapai miliaran.
“Potensinya lumayan, ada angka Rp1 miliar sudah dapat sebulan," ujarnya.
Untuk pabrik dan lahan, lokasi utama Tambiyaku saat ini berada di Kalimantan Selatan. Bayu juga melakukan ekspansi dengan membuka pabrik di daerah Sawangan, Depok dan Jati Asih, Bekasi, Jawa barat.
Selain itu, Tambiyaku juga membuka kemitraan untuk wilayah Jawa Barat, Jawa Timur, Kalimatan dan Bali untuk bahan bakunya.
“Karyawan sih tidak terlalu banyak, kalau di Kalimantan saja ada 15-17, kalau di Jati Asih total semua 13-14, kami tidak terlalu banyak. Kami gabungin juga modernisasi ada mesin juga, jadi cepat ya biar perusahaan efisien dan tumbuh juga," jelasnya.
Pemerintah Ajak Pengusaha Tanam Sorgum
Sorgum sebelumnya sempat ramai menjadi perbincangan usai Presiden Joko Widodo meminta anggota Kamar Dagang dan Industri Indonesia (Kadin) Indonesia untuk mencoba menanam sorgum di Nusa Tenggara Timur (NTT) pada akhir Agustus 2022.
Arahan tersebut dilakukan oleh Jokowi sebagai langkah bersama dalam menekan kebutuhan impor gandum nasional hingga nantinya bisa menjadi pengganti karbohidrat seperti nasi.
Menurut Presiden Jokowi, hingga saat ini Indonesia masih mengimpor 11 juta ton gandum, karena komoditas pangan tersebut tidak bisa ditanam di Indonesia, tetapi ada opsi untuk menggencarkan budi daya komoditas yang bisa menjadi pencampur.
“Gandum bisa dicampur cassava. Gandum bisa dicampur sorgum. Gandum bisa dicampur sagu. Artinya saya mengajak bapak ibu sekalian misalnya di NTT, ada Kadin NTT? Tanam sorgum," ujar Presiden Jokowi.
Kepala Staf Presiden (KSP), Moeldoko menegaskan, Presiden Jokowi ingin agar pengembangan tanaman sorgum sebagai pengganti gandum dipercepat. Ia menegaskan Indonesia tidak akan ribut soal mi instan jika pemerintah mempercepat pengembangan tanaman sorgum.
Moeldoko menjelaskan instruksi Jokowi untuk mempercepat pengembangan sorgum sebagai pengganti gandum tidak lepas dari kebijakan sejumlah negara yang melarang ekspor gandum, antara lain Kirgiztan, India, Afghanistan, Aljazair, Ukraina, dan Serbia yang menahan ekspor gandum hingga 31 Desember 2022. Sementara itu, Kazakhstan menahan ekspor hingga 30 September 2022.
Ia mengaku, kebijakan larangan ekspor di beberapa negara berdampak pada situasi di Indonesia. Indonesia juga mempercepat pengembangan sorgum demi potensi kelangkaan pangan di dalam negeri.
“Presiden sudah instruksikan pembuatan roadmap produksi dan hilirisasi sorgum hingga 2024 dalam rangka menghadapi krisis pangan," kata Moeldoko di Gedung Bina Graha, Jakarta beberapa waktu lalu.
Moeldoko mengklaim, pemerintah tengah mengembangkan potensi sorgum yang masih satu keluarga tanaman dengan gandum. Dengan pengembangan tersebut, Moeldoko yakin sorgum bisa menjadi pengganti gandum di masa depan dan bisa menjadi bahan baku pengganti gandum dalam pembuatan mi instan.
“Dengan sorgum, kita tidak akan lagi ribut tentang mi instan seperti sekarang ini," kata Moeldoko.
Mantan Panglima TNI ini mengatakan, pemerintah mengembangkan 15 ribu hektar lahan untuk pengembangan sorgum. Lahan tersebut tersebar di berbagai wilayah Indonesia seperti NTB, NTT, Jawa Barat, Jawa Timur hingga Lampung. Angka produktivitas pun lebih dari satu ton per hektar di tiap daerah. Angka produktivitas juga terus digenjot.
“Di NTT, produktivitas sorgum 3 sampai 4 ton per hektare. Di Jawa, sebanyak 4-5 ton per hektar. Ini masih bisa terus ditingkatkan," kata Moeldoko.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz