Menuju konten utama
Ketahanan Pangan

Menjadikan Sorgum sebagai Pengganti Gandum Terlalu Mengada-ada

Dwi Andreas sebut jangan sampai petani yang menanggung rugi dari program labil pemerintah. Ia mencontohkan porang.

Menjadikan Sorgum sebagai Pengganti Gandum Terlalu Mengada-ada
Petani memanen sorgum di lahan pertanian Pekalongan, Jawa Tengah, Sabtu (26/8). ANTARA FOTO/Harviyan Perdana Putra

tirto.id - Krisis pangan mengancam dunia. Kepala Staf Kepresidenan (KSP) Moeldoko sebut, pemerintah menginisiasi program budidaya sorgum, sebagai salah satu produk pangan alternatif yang mampu menjawab ancaman krisis pangan dunia.

“Sudah saatnya tanaman sorgum dibudidayakan secara luas di Indonesia. Sorgum ini tanaman bandel yang bisa hidup di mana saja, dalam kondisi apa pun, bahkan di daerah yang kurang air sekalipun," kata Moeldoko dalam keterangan tertulis pada awal Juli 2022.

Presiden Joko Widodo bahkan mengajak pengusaha Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia untuk menanam sorgum. Ia menawarkan menanam sorgum sebagai pengganti kebutuhan gandum mencapai 11 juta ton.

“Saya mengajak bapak ibu sekalian misalnya di NTT, ada Kadin NTT? tanam sorgum, NTT itu adalah tempatnya sorgum, sangat subur sekali dan sangat visible, coba saja lah," kata Jokowi saat memberikan pengarahan kepada KADIN di TMII, Jakarta, Selasa (23/8/2022).

Seperti yang dikatakan Jokowi, subtitusi impor ini juga merupakan upaya diversifikasi pangan agar bahan pangan utama tidak tergeser pasarnya oleh produk impor misalnya gandum. Saat ini produksi gandum tengah bermasalah imbas invasi Rusia ke Ukraina.

Kondisi tersebut telah memberikan dampak luar biasa terhadap perekonomian banyak negara, terutama terhadap ketahanan pangan global.

Potensi krisis pangan tampak nyata mengingat Rusia dan Ukraina merupakan pemain utama dalam perdagangan hasil-hasil pertanian. Data Organisasi Pangan dan Pertanian (FAO) menyebutkan bahwa Rusia merupakan penghasil 11 persen gandum dunia. Sedangkan Ukraina menyumbang 3 persen dalam perdagangan gandum dunia pada 2021.

Banyak negara, terutama di Afrika, Eropa Timur, dan Asia Tengah bergantung pada impor bahan pangan dari kedua negara tersebut. Rusia dan Ukraina bahkan memasok sampai 80 persen kebutuhan gandum di Kenya, Somalia, Ethiopia, Armenia, Mongolia, Azerbaijan, dan beberapa negara lainnya.

Perang yang disertai blokade di pelabuhan Ukraina di Laut Hitam juga menyebabkan negara itu tidak mampu mengekspor produk pertaniannya ke negara lain. Sanksi negara Barat ke Rusia turut andil dalam memperparah kondisi pasokan pangan dunia.

Butuh Waktu

Namun upaya diversifikasi pangan seperti yang diinisiasi pemerintah dinilai mustahil dalam waktu dekat ini, kata Guru Besar Institut Pertanian Bogor (IPB), Hermanto Siregar. Sebab, kata dia, luas tanam sorgum saat ini terbatas. Jika pemerintah serius untuk menggarap diversifikasi, perlu ada rencana jangka panjang dan anggaran yang besar.

“Gak bisa ya, juta ton itu perlu area yang luas, sorgum kan luasnya masih terbatas sekali dan hanya wilayah tertentu. Kalau jangka pendek atau sekadar ada saja dulu bisa, tapi kalau ditargetkan untuk substitusi impor harus ada rencana serius yang menengah jangka panjang,” kata Hermanto kepada Tirto, Kamis (25/8/2022).

Beberapa poin yang harus dipersiapkan, kata dia, adalah biaya lahan sampai bibit. Karena bibit yang digunakan petani sorgum yang saat ini merupakan bibit alami.

“Jadi perlu melakukan scaling up efektivitas, lahannya, kemudian benihnya, bibitnya, itu dari mana? Apakah kita sudah punya? Kan belum. Paling bibitnya bekas yang ditanam, ditanam lagi, tapi produktifitasnya gak optimal,” kata dia.

Apalagi krisis pangan yang terjadi saat ini sudah ada di depan mata. Berdasarkan data FAO pada 2022, produksi beberapa komoditas pangan akan menurun seperti gandum yang turun 1 persen dari 778,3 juta ton pada tahun sebelumnya menjadi 770,3 juta ton akibat kekeringan di Uni Eropa, sementara perang Rusia dan Ukraina membuat distribusinya terganggu.

Produksi serealia juga diperkirakan turun 0,6 persen dari 2,80 miliar ton menjadi 2,79 miliar ton pada 2022. Pada saat yang sama produksi beras dunia diproyeksikan turun 0,4 persen dari 522,5 juta ton menjadi 520,5 juta ton. Produksi biji-bijian kasar juga akan menurun dari 1,50 miliar ton menjadi 1,50 miliar ton atau turun 0,5 persen pada 2022.

Meskipun dianggap mustahil, Menteri Pertanian, Syahrul Yasin Limpo (Mentan SYL) menjelaskan, sorgum adalah komoditas penting yang bisa digunakan sebagai bahan makanan pengganti gandum.

“Kalau begitu, kenapa kita lupakan sorgum? Padahal ini juga bisa untuk mie, bisa untuk makanan lain. Kita berharap sorgum ini sebagai tanaman asli Indonesia di mana tidak membutuhkan air yang banyak, pemupukannya hampir 50 persen dan tentu saja selain buahnya, batangnya juga bisa untuk gula, daunnya bisa untuk makanan ternak," kata dia dalam keterangan resmi, Senin (22/8/2022).

Ia mengajak masyarakat untuk mengembangkan tanaman sorgum sebagaimana makanan strategis lainya. Apalagi, tanaman ini juga memiliki potensi besar terhadap kebutuhan pangan dunia.

“Kita ajak semua pihak dan tentu ada kekuatan-kekuatan pemerintah untuk membackupnya, termasuk garansi institusi kepada perbankan," kata dia.

Misalnya pada Senin (22/8/2022), ia melakukan panen sorgum di Kecamatan Sugio, Kabupaten Lamongan, Jawa Timur. Ia berharap, penanaman ini bisa diperluas menjadi 3.000 hektare dari yang tadinya 200 hektare, kemudian ditambah lagi menjadi 10.000 hektare sehingga sorgum benar-benar menjadi komoditas strategis Indonesia.

"Saya berharap dengan langkah awal ini kita mau kembangkan yang dari cuma 200 hektar, Pak Bupati janji dengam road map sampai 3.000 bahkan kalau bisa sampai 10.000 hektar," jelas dia.

Mustahil Sorgum jadi Pengganti Gandum?

Guru Besar Fakultas Pertanian, Institut Pertanian Bogor (IPB), Dwi Andreas Santosa menilai, ajakan menteri pertanian hanya gimik belaka. Ia mengatakan mustahil sorgum bisa menggantikan gandum. Sebab, impor gandum yang saat ini dilakukan Indonesia sudah mencapai 11,7 juta ton/tahun, sementara produksi sorgum masih kecil.

“Walaupun petani di Pulau Jawa itu bisa tanam 5 hingga 6 ton ya, oke kita ambil saja 4 ton ya. Berarti, kan, butuh lahan tanam sekitar 3 juta hektar. Nah, lahan dari mana 3 juta hektar? Gak mungkin aja kan, jadi jawabannya kalau sorgum menggantikan gandum atau mensubtitusi gandum, itu omong kosong,” kata Dwi kepada Tirto, Kamis (25/8/2022).

Selain itu, jika sorgum diproyeksi menggantikan bahan baku gandum untuk pembuatan roti, maka kata Dwi Andreas, juga mustahil. Alasannya, kata dia, sorgum tidak memiliki gluten. Sehingga sorgum paling bagus diolah menjadi mie.

“Mie pun juga mie-mie tertentu. Mie itu yang sekarang beredar di Indonesia untuk udon untuk mie untuk supermi, spageti itu jenis gandumnya berbeda-beda,” jelas dia.

Hambatan lainnya, kata Dwi Andreas, harga sorgum yang murah tidak menutup biaya produksi. Ia mencontohkan di kelompok jaringan tani, harga sorgum dijual Rp3.500 per kilogram. Jika sekali panen menghasilkan 5 ton, maka hasilnya hanya Rp15 juta, sementara biaya produksi ada pada kisaran Rp15 juta.

“Kan, dia lebih baik tanam tanaman lain yang jauh lebih menguntungkan. Kemudian ada hambatan lain yaitu siapa yang mau ngubah lidah masyarakat Indonesia? Kan perlu adaptasi lagi. Kan, masalahnya gandum ini perlahan sudah mulai menggantikan beras, konsumsi gandum kita di tahun 70-an itu 0 persen, kemudian 2010 18,8 persen, 2022 menjadi 27 persen,” kata Dwi.

Berdasarkan data riset Tirto, di Indonesia, produksi sorgum tidak besar. Sentra produksnya hanya di sejumlah kabupaten di Jawa Tengah, Jawa Timur, Yogyakarta, NTB, dan NTT. Produksi seluruhnya diperkirakan tidak lebih dari 10 ribu ton. Terpaut jauh dari gabah yang bisa mencapai 52 juta ton dan jagung yang 14 juta ton/tahun. Produktivitas sorgum di kebun rakyat pun rata-rata 1,2–1,3 ton per ha.

“Gini kalau geser gandum pakai sorgum, tuh gak mungkin. Beras aja yang memiliki infrastruktur paling bagus saat ini harus meningkatkan berapa kalau mau menggantikan gandum. Kalau mau diversifikasi programnya harus firm, gak setiap ganti presiden ganti kebijakan ya,” kata Dwi Andreas.

Menurut dia, jangan sampai petani yang menanggung rugi dari program labil pemerintah. Ia memberikan contoh seperti petani porang yang saat ini kebingungan menjual hasil panen, padahal dulu program tanamnya begitu semangat digalakan oleh pemerintah.

“Sekarang petani porang gimana? Kan, ada yang rugi sampai Rp100 juta. Sebenarnya porang itu kan hanya dikonsumsi di Jepang ya, sementara sekarang Cina dan Vietnam juga ekspor ke sana, jadi berebut pasar kecil itu. Makanya jangan biarkan petani kita ini diatur, tapi gak tanggung jawab sama programnya. Kasian mereka,” tandas dia.

Baca juga artikel terkait PRODUKSI SORGUM atau tulisan lainnya dari Selfie Miftahul Jannah

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Selfie Miftahul Jannah
Penulis: Selfie Miftahul Jannah
Editor: Abdul Aziz