tirto.id - Undang-Undang Cipta Kerja (UU Ciptaker) memperjelas betapa inkonsistennya pemerintah menerapkan visi ketahanan pangan. Ketidaktegasan terlihat dalam Pasal 122 UU Ciptaker yang mengubah ketentuan dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2009 tentang Perlindungan Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan (berdasarkan versi terkini yang diunggah DPR).
Pasal itu menyebutkan Pasal 44 ayat 2 UU 41/2009 diubah menjadi: “Dalam hal untuk kepentingan umum dan/atau Proyek Strategis Nasional, Lahan Pertanian Pangan Berkelanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat dialihfungsikan, dan dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.” Pasal 44 ayat 2 UU 41/2009 sama sekali tidak memuat istilah “dan/atau Proyek Strategis Nasional (PSN).”
Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia (API) Muhammad Nuruddin menilai penambahan “dan/atau Proyek Strategis Nasional (PSN)” menunjukkan betapa kontradiktifnya kebijakan pemerintah. Dengan cara itu mereka semakin memperlebar celah dan legalisasi alih fungsi lahan pertanian.
“Bangun infrastruktur [di atas lahan pertanian] ini akan menambah laju konversi lahan pangan. Itu yang kami takutkan dengan omnibus law,” ucap Nuruddin saat dihubungi, Selasa (6/10/2020).
Munculnya kata PSN pun mempertegas kata “kepentingan umum” itu sudah biasa diartikan juga sebagai proyek infrastruktur.
Konversi lahan pertanian sebetulnya saat ini sudah cukup serius. Data Badan Pertanahan Nasional (BPN) mencatat luas lahan baku sawah tahun 2012 sempat menyentuh 8,13 juta hektare. Lalu BPN dan BPS menghitung lagi dan hasilnya tahun 2019 turun menjadi 7,46 juta hektare. Rata-rata ada penurunan 100 ribu hektare/tahun. Ia khawatir dengan Ciptaker laju konversi lahan akan lebih besar bahkan dua kali lipat dari saat ini.
Komite Percepatan Penyediaan Infrastruktur Prioritas (KPPIP) mencatat realisasi dari PSN adalah proyek non-pertanian seperti jalan tol, kawasan industri, bandar udara, smelter, sampai perumahan.
Disebut kontradiktif selain karena bertentangan dengan peraturan lama, langkah ini juga bertolak belakang dari jargon pemerintah pada awal pandemi. Ketika itu tak henti-hentinya Presiden Joko Widodo mengumandangkan betapa seriusnya peringatan Food and Agriculture Organization (FAO) tentang bahaya krisis pangan akibat COVID-19. Bahkan Jumat 14 Agustus ia bilang pemerintah menganggarkan Rp104,2 triliun untuk ketahanan pangan 2021.
Ia bilang kondisi ini juga akan semakin mengancam keberadaan petani. Jika aturan itu diterapkan, ia yakin jumlah petani akan terus menyusut apalagi yang sudah gerah karena lama jauh dari kata sejahtera. Belum lagi kebijakan food estate menitikberatkan pada industri yang minim peran petani.
Peneliti cum dosen di Institut Pertanian Bogor (IPB) Dwi Andreas Santoso mengatakan hadirnya UU 41/2009 saja sudah tidak berguna lantaran konversi tetap terjadi seperti sebelum UU itu ada. Pelonggaran lewat Ciptaker akan memperparahnya, meski porsinya masih relatif lebih kecil dari konversi lahan akibat sistem pewarisan di Indonesia.
Pemerintah bisa saja berkilah mereka telah menyiapkan program cetak sawah dan food estate sebagai gantinya. Namun Dwi ragu itu akan berhasil. Ia bilang pelajaran 25 tahun silam membuktikan cetak sawah gagal seluruhnya.
Imbasnya, Indonesia dihadapkan dengan risiko lonjakan impor pangan karena tak sanggup memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sebelum ada Ciptaker saja, impor pangan seperti beras terus meningkat. Data BPS mencatat impor beras Indonesia--yang disebut-sebut 'negeri agraris'--pada 2014 mencapai 366.203 ton, lalu naik menjadi 557.890 ton di 2016, dan 2,253 juta ton pada 2018. Belum lagi impor komoditas lain seperti kedelai, bawang putih, dan sebagainya.
“Impor pangan kita semakin besar. Sudah nyata di lima tahun terakhir,” ucap Dwi, Selasa (6/10/2020).
Parahnya lagi, pelonggaran alih fungsi lahan pertanian ini terjadi saat indikator pangan Indonesia tidak baik-baik amat. Menurut Global Hunger Index, Indonesia menduduki peringkat 70 dari 117 negara. Menurut lembaga itu, Indonesia masuk kategori memiliki persoalan kelaparan “serius” dengan skor 20,1. Kalah dari Thailand 9,7 dan Malaysia 13,1.
Data The Economist Intelligence Unit tentang Global Food Security Index (GFSI) yang mengukur ketersediaan, keterjangkauan, dan kualitas pangan juga sama. Indonesia menduduki peringkat ke-62 dari 113 negara alias masih tertinggal dari Thailand urutan 52 dan Malaysia urutan 28.
Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) Dewi Kartika mengatakan Ciptaker memang sangat mengakomodasi kepentingan investor yang butuh lahan dengan cara merampas dan menggusur tanah rakyat.
“Sebagai kelanjutan sikap penolakan, KPA akan menggugat UU ini ke Mahkamah Konstitusi,” ucap Dewi dalam keterangan tertulis, Selasa (6/10/2020).
Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Kementerian Pertanian Sarwo Edhy tidak menjawab pertanyaan tertulis maupun panggilan telepon.
Sementara Direktur Jenderal Tata Ruang Kementerian Agraria/Tata Ruang Budi Situmorang mengatakan pemerintah akan menetapkan kawasan sawah mana yang dilindungi--sekaligus mana yang tidak. Kalaupun muncul kembali PSN baru, pasti akan dibuat mekanisme yang cukup ketat.
Meski demikian, ia menyatakan belum tentu lahan sawah pasti akan digunakan. Sebab pasal 44 UU 41/2009 masih memuat empat syarat sehingga tidak otomatis pasti terkonversi.
“Dapat (isi pasal). Mohon dipahami, tidak otomatis. Bisa juga tidak dapat, kan?” ucap Budi, Selasa (6/10/2020).
Penulis: Vincent Fabian Thomas
Editor: Rio Apinino