tirto.id - DPR, DPD, dan pemerintah resmi menyetujui agar Omnibus Law RUU Cipta kerja (Ciptaker) ditetapkan menjadi Undang-undang. Keputusan tersebut diambil dalam Rapat paripurna DPR RI masa persidangan I tahun sidang 2019-2020, Senin (5/10/2020), dimulai pukul 13.30 WIB.
Sebelum disahkan, RUU Ciptaker mendapatkan gelombang penolakan dari Serikat Buruh, koalisi masyarakat sipil, hingga kelompok agama. Kini setelah disahkan, RUU ini tetap mendapat kritikan-kritikan.
Ketua PP Muhammadiyah Anwar Abbas mengaku sangat kecewa dengan disetujuinya Omnibus Law RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang. Anwar menganggap lembaga DPR yang sudah tidak lagi menjadi wakil rakyat yang seharusnya mendengarkan rakyatnya.
"Dengan disahkannya RUU Cipta kerja ini maka saya terus terang sangat-sangat kecewa. Karena DPR yang merupakan wakil rakyat lebih banyak mendengar dan membela kepentingan pemilik kapital daripada membela kepentingan rakyat banyak," kata Anwar dalam keterangannya, Selasa (6/10/2020).
Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI) ini menilai perpolitikan Indonesia kini telah dikuasai oligarki. Hal itu semakin tampak dengan jelas dengan minimnya anggota DPR RI yang berani menyuarakan suara yang berbeda dari kepentingan pimpinan partainya.
"Karena takut oleh pimpinan partainya mereka itu akan di-PAW [Pergantian Antar Waktu], sehingga akhirnya para anggota DPR tersebut lebih mendengarkan keinginan pimpinan partainya dari pada mendengarkan keinginan rakyatnya,” kata Anwar.
Selain itu, menurut Anwar beratnya ongkos politik membuat para politikus harus meminta kucuran dana dari pemilik modal atau pengusaha, begitu pun sebaliknya.
"Saya lihat dalam pembahasan RUU Cipta Kerja ini situasi seperti itulah yang sangat tampak oleh saya sehingga UU ini benar kelihatan lebih banyak membela kepentingan pemilik modal dan sangat mengabaikan kepentingan rakyat luas," tegasnya.
Senada dengan Anwar, kekesalan juga disampaikan Presidium Koalisi Aksi Menyelamatkan Indonesia (KAMI), Din Syamsuddin. Ia menyayangkan dengan keputusan pemerintah dan DPR yang mengesahkan Omnibus Law RUU Ciptaker. Menurutnya, UU Ciptaker sangat potensial menimbulkan kegaduhan nasional yang besar.
"Sayangnya pemerintah tidak menyadari dan bahkan terkesan mendukung DPR untuk bergesa-gesa mengesahkannya pada waktu malam, tanpa membuka ruang bagi aspirasi rakyat," kata Din Syamsuddin, Selasa (6/10/2020).
Sementara Persekutuan Gereja-gereja Indonesia (PGI) mengaku baru mendapatkan draf RUU Ciptaker yang baru disahkan oleh pemerintah dan DPR. Maka dari itu, pihaknya melalui tim hukum PGI masih perlu mengkaji lebih dalam perihal draf yang baru disahkan tersebut.
Jika isi RUU Ciptaker yang disahkan tersebut mengakomodir kepentingan buruh sebagaimana yang pernah PGI kritisi dan berikan masukan, maka pihaknya akan mendukung RUU yang telah disahkan oleh pemerintah-DPR tersebut.
"Tapi kalau tidak mengakomodir kepentingan buruh dan rakyat, maka kita akan kritisi, kalau hak-hak mereka tidak diakomodir, kita harus lawan," kata Sekretaris Eksekutif Bidang Keadilan dan Perdamaian PGI Henrek Lokra kepada Tirto, Selasa (6/10/2020).
Apabila RUU tersebut tetap disahkan namun tidak mengakomodir kepentingan buruh dan rakyat, "PGI nantinya akan melakukan judicial review ke Mahkamah Konstitusi [MK]," tegasnya.
Sedangkan Pengurus Besar Nahdatul Ulama (PBNU) belum menyatakan sikapnya terhadap RUU Ciptaker yang telah disahkan oleh pemerintah. Sebab, mereka masih melakukan kajian perihal isi dari RUU yang baru saja disahkan itu.
Pada draf sebelumnya, PBNU menilai RUU Ciptaker penuh dengan kezaliman terhadap rakyat kecil, maka pembahasannya seharusnya dihentikan.
"Mohon maaf belum bisa komentar sekarang. UU Ciptaker setebal 905 halaman. Kami harus mengkaji terlebih dahulu," kata Ketua Pengurus Harian Tanfidziyah PBNU KH Robikin Emhas kepada Tirto, Selasa (6/10/2020).
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Bayu Septianto