Menuju konten utama

Nasib Nakes : Dilumuri Tinja, Dituduh Cari Untung, Diabaikan Negara

Pemerintah menuding tenaga kesehatan & rumah sakit "meng-Covid-kan" pasien. Tudingan nirfakta.

Nasib Nakes : Dilumuri Tinja, Dituduh Cari Untung, Diabaikan Negara
Sejumlah perawat beristirahat dengan mengenakan alat pelindung diri di Instalasi Gawat Darurat khusus penanganan COVID-19 di RSUD Arifin Achmad, Kota Pekanbaru, Riau, Jumat (5/6/2020). ANTARA FOTO/FB Anggoro/pras.

tirto.id - Tenaga kesehatan yang berada di garis terdepan melawan COVID-19 terdiskriminasi sejak awal pandemi. Bukannya mereda, hingga tujuh bulan masa pandemi, tudingan miring terhadap mereka justru membesar.

Salah satu tudingan yang paling sering dilontarkan adalah mereka "meng-Covid-kan" pasien. Tuduhan ini misalnya disampaikan oleh Ketua Badan Anggaran DPR RI, Said Abdullah, pada Juli lalu. Ia menuduh rumah sakit mengakali status pasien agar positif Corona demi mendapatkan insentif pemerintah. Indonesia Police Watch, lembaga nirlaba yang fokus mengawasi Polri, juga menyatakan ada indikasi "mafia" bermain di rumah sakit.

Nyatanya, hingga kini, tudingan berakhir nirfakta. Penuduh tak menyampaikan bukti apa-apa.

Kepala Staf Kepresidenan Moeldoko dan Gubernur Jawa Tengah Ganjar Pranowo setali tiga uang. Dua pejabat publik yang terhitung elite ini pada pekan lalu menuding rumah sakit "meng-Covid-kan" pasien.

Ganjar menyebut ada pasien meninggal diperkirakan COVID-19 kendati hasil tes belum keluar. Setelah tes keluar, hasilnya negatif. Arah dari pernyataan ini, Ganjar meminta rumah sakit hati-hati mendata pasien COVID-19. Sementara Moeldoko mengatakan "Jangan sampai semua kematian pasien itu selalu dikatakan akibat COVID-19."

Mereka sepakat untuk satu hal. "Definisi ulang kasus kematian selama pandemi," kata Moeldoko. Rumah sakit pun diminta memberikan data kematian dengan alasan dan pemerintahlah yang akan mengumumkannya setelah diverifikasi.

Kedua elite pemerintah itu mengatakan tudingan tersebut saat bertemu di Semarang, Kamis (1/10/2020).

Organisasi profesi dan perkumpulan rumah sakit menyayangkan tudingan nirfakta oleh pemerintah.

Ketua Ikatan Dokter Indonesia (IDI) Jawa Timur, dokter Sutrisno, menyebut tudingan itu kontraproduktif dengan semangat penanggulangan COVID-19. "Isu [meng-Covid-kan pasien] hanya bikin gaduh dan tak ada satu pihak pun yang diuntungkan,” kata Sutrisno dalam siaran pers.

Toh, bila ada yang terbukti melakukan, sebaiknya diumumkan ke publik dan dilaporkan kepada pihak berwenang secara langsung. IDI Jawa Timur siap menindaklanjuti aduan sepanjang ada bukti.

Ketua Perhimpunan Rumah Sakti Seluruh Indonesia (PERSI) Kuntjoro Adi Purjanto menyebut "persepsi keliru dan opini ini menghasilkan misinformasi serta disinformasi yang merugikan pelayanan rumah sakit dalam penanganan pandemi COVID-19."

"[Tudingan itu] menggiring opini seolah-olah rumah sakit melakukan perilaku yang tidak sesuai dengan ketentuan atau kecurangan/fraud," demikian Kuntjoro.

Menurutnya, rumah sakit selama ini sudah mengikuti pedoman dalam penanganan Corona dari pemerintah. Rumor yang dilontarkan Ganjar dan Moeldoko bisa memicu ketidakpercayaan terhadap tenaga kesehatan.

Rumah sakit sebenarnya menggunakan standar dari Kementerian Kesehatan saat bekerja. Merujuk aturan Kepmenkes HK.01.07/Menkes/413/2020, pasien meninggal dengan gejala klinis serupa COVID-19 dan ISPA berat/ARDS yang hasil laboratoriumnya belum keluar disebut sebagai probable. Dan probable ini, jika meninggal, diatur agar dimakamkan menggunakan protokol COVID-19 seperti halnya pasien meninggal yang telah dinyatakan positif.

Diusir Warga & Diabaikan Negara

Ada pula tindakan-tindakan lain yang langsung merugikan fisik para tenaga kesehatan selama pandemi COVID-19.

Pada akhir September lalu, misalnya, nakes puskesmas Sememi Benowo, Surabaya, dilumuri tinja oleh warga yang akan dievakuasi karena reaktif COVID-19. Kasusnya tengah ditangani oleh kepolisian setempat.

Jenazah seorang perawat yang meninggal setelah menangani pasien Corona bahkan ditolak warga di Ungaran, Kabupaten Semarang, pada awal pandemi. Pelaku penolakan kini mendekam dibui.

Nasib malang dirasakan oleh dokter residen atau PPDS. Meski berstatus mahasiswa, mereka bertugas tak ubahnya dokter profesional. Masalahnya, mereka belum diberikan proteksi menyeluruh.

Menurut PandemicTalks, organisasi nirlaba pemantau COVID-19 di Indonesia, banyak dari PPDS mengalami kelelahan, stres, dan lebih dari 900 terinfeksi. PandemicTalks menyebut tanggung jawab terhadap nakes PPDS ada di Kemendikbud, Kemenaker, hingga Kemenkes.

Penurunan angka dokter PPDS juga berarti merugikan masyarakat umum, apalagi persentase dokter dan masyarakat terhitung tidak berimbang. Jumlah PPDS sekitar 13 ribu di rumah sakit spesialis Indonesia.

Insentif bagi mereka pun baru disalurkan sejak September, setelah enam bulan pandemi. Itu juga belum semua menerima.

Selama pandemi COVID-19, berdasarkan rilis Tim Mitigasi PB IDI per 3 Oktober, ada 130 dokter, 9 dokter gigi, dan 92 perawat meninggal dunia.

Baca juga artikel terkait TENAGA KESEHATAN atau tulisan lainnya dari Zakki Amali

tirto.id - Kesehatan
Penulis: Zakki Amali
Editor: Rio Apinino