Menuju konten utama

Ketika Anggota DPR dari PDIP Politisasi Angka Kematian Dokter

Anggota DPR meragukan angka kematian dokter yang dilansir IDI, padahal semestinya yang ia ragukan adalah angka dari pemerintah yang abai terhadap data.

Ketika Anggota DPR dari PDIP Politisasi Angka Kematian Dokter
Dokter Relawan RSD COVID-19 Wisma Atlet Vina Manasye Handoyo tengah melakukan swab untuk tes Corona terhadap pasien.Vina Manasye Handoyo/Dokter Relawan RSD COVID-19 Wisma Atlet.

tirto.id - Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi PDIP Rahmad Handoyo mempertanyakan jumlah dokter yang meninggal karena menangani COVID-19 yang dilansir Ikatan Dokter Indonesia (IDI). Data yang ia miliki lebih kecil. Rahmad bilang 32, sementara IDI lebih dari 100.

“32 per hari ini. [Dapat data] dari Badan Pengembangan dan Pemberdayaan SDM Kementerian Kesehatan,” katanya kepada reporter Tirto, Selasa (8/9/2020). “Apakah data yang dirilis IDI itu semua dokter gugur dalam bertugas penanganan COVID-19?”

Dia menekankan soal kategori “yang ikut menangani COVID-19”, sebab menurutnya tidak semua dokter langsung turun tangan menghadapi pasien Corona.

Epidemiolog dari Universitas Indonesia Pandu Riono mengatakan “mungkin definisi anggota DPR itu harus yang benar-benar menangani COVID-19.” Masalahnya, jika itu ukurannya, ia tidak menggambarkan situasi sebenarnya di lapangan. Ia memberi contoh: “Ada juga dokter kebidanan menangani persalinan ibu, dia tidak sadar kalau ibu terkena COVID-19.”

Kasus seperti itu terjadi di Sumatera Utara. Juli lalu ada tujuh dokter meninggal berstatus positif. Sebagian besar bertugas melayani pasien COVID-19 atau di rumah sakit rujukan, tapi ada juga yang terpapar saat praktik biasa.

Akibatnya sama saja: Indonesia semakin kehilangan dokter, padahal rasionya pada tahun lalu saja hanya 0,4 per 1.000 penduduk alias hanya ada empat dokter untuk melayani 10 ribu orang--terendah nomor dua di Asia Tenggara, hanya menang dari Kamboja.

Agar perbedaan ini tak terus terjadi, Kemkes semestinya segera merumuskan konsep “tenaga kesehatan yang meninggal karena menangani Corona,” kata Pandu.

Direktur Eksekutif Amnesty International Indonesia Usman Hamid mengatakan siapa saja “berhak meragukan dari sumber mana pun,” termasuk legislator. Masalahnya, alih-alih meragukan IDI, sebaiknya mereka mempertanyakan data pemerintah.

“Politikus-politikus DPR yang sedang meragukan data itu seharusnya mengarahkan perhatiannya pada pemerintah, mengawasi pemerintah, dan memeriksa keterbukaan badan-badan pemerintah seperti Kementerian Kesehatan,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu (9/9/2020).

Usman bilang data yang berbeda menyiratkan adanya akses informasi yang tersumbat, padahal dalam konteks penanganan pandemi, ini penting “untuk mencegah transmisi virus dan penularan di antara tenaga kesehatan.”

Hal serupa dikatakan Ketua Advokasi Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Muhammad Isnur. “Mestinya dia mengawasi dan mengkritik pemerintah, bukan menyudutkan IDI,” katanya kepada reporter Tirto, Rabu.

Ini penting karena selama ini pemerintah “sejak awal terkesan menyepelekan data”, sementara “IDI lebih terbuka, menyampaikan data secara transparan.”

Tidak Asal

Ketua Umum Pengurus Besar (PB) IDI Daeng M Faqih mengatakan mereka memang tak asal merilis data. Pertama-tama, mereka mendapatkan informasi langsung dari lapangan, itu pun diverifikasi ulang. “Dilakukan konfirmasi ke IDI cabang, ke teman sejawat dokter yang satu tempat kerja dengan almarhum dan ke pihak keluarga,” kata Daeng, Selasa (8/9/2020).

Terkait keraguan Rahmad dan semua pihak terhadap data IDI, ia mengatakan “silakan periksa silang satu per satu.”

Tak hanya IDI yang mengecek ulang informasi soal tenaga medis meninggal karena menangani COVID-19. Persatuan Perawat Nasional Indonesia (PPNI) melakukan prosedur serupa. Ketua Umum PPNI Harif Fadhillah mengatakan memberitakan anggotanya yang meninggal secara faktual.

“Walaupun ada beberapa hasil negatif atau sedang diinvestigasi. Namun [sebelum meninggal mereka] melayani atau menelusuri pasien (tracing), survei atau penyuluhan COVID-19,” ujar Harif, Selasa.

Angka kematian dokter dan tenaga kesehatan lain tak hanya dirilis IDI dan PPNI. Mereka semua menyebut angka yang lebih besar ketimbang klaim legislator Rahmad. LaporCOVID-19, misalnya, menyebut per 5 September ada 179 tenaga medis yang meninggal karena Corona. Acuannya adalah panduan WHO pada 11 April 2020: Korban COVID-19 adalah mereka yang telah terkonfirmasi melalui tes molekuler, juga diduga terpapar berdasarkan gejala klinis.

Sementara Amnesty International Indonesia menyebutkan 181 tenaga kesehatan meninggal hingga awal September, dengan rincian 112 dokter dan 69 perawat. Mereka menyebut angka tersebut menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan angka kematian tenaga kesehatan terbanyak di dunia.

Baca juga artikel terkait DOKTER MENINGGAL atau tulisan lainnya dari Adi Briantika

tirto.id - Politik
Reporter: Adi Briantika
Penulis: Adi Briantika
Editor: Rio Apinino