tirto.id - Ratusan dokter meninggal karena virus Corona atau COVID-19 membuat penanganan pandemi dan pelayanan kesehatan di ujung nadir. Sementara mencetak seorang dokter butuh waktu pendidikan bertahun-tahun, intervensi di bidang pendidikan kedokteran menjadi layak dipertimbangkan.
"Ya memang menjadi makin berat [beban layanan kesehatan akibat kematian dokter] apalagi ke depan angka tiap hari naik, tiap hari makin tinggi, naik kasusnya," kata Ketua Satgas IDI untuk Covid-19 Zubairi Djoerban kepada Tirto, Sabtu (5/9/2020).
Bahkan saat ini, Zubairi mengatakan, sejumlah rumah sakit rujukan di Jakarta sudah mengeluh kekurangan dokter dan meminta tambahan ke Dinas Kesehatan DKI Jakarta.
Merujuk data Kementerian Kesehatan pada 2019, jumlah dokter umum dan spesialis yang tersebar seluruh provinsi di Indonesia sebanyak 90.448, sedangkan dokter gigi 16.559, sementara jumlah penduduk sebanyak 267 juta.
Dengan demikian, rasio dokter di Indonesia per 1.000 penduduk baru 0,4 per 1.000 penduduk alias hanya ada 4 dokter untuk melayani 10 ribu penduduk. Rasio ini merupakan yang terendah nomor dua di Asia Tenggara, hanya menang dari Kamboja. Jauh tertinggal dari Malaysia yang memiliki rasio 15 dokter per 1.000 penduduk.
Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengharapkan pada 2019 ketersediaan tenaga dokter spesialis mencapai 24 per 100.000 penduduk, dokter umum 96 per 100.000 penduduk, dokter gigi 11 per 100.000 penduduk. Secara statistik kematian 100 dokter, jika disamakan semua adalah dokter umum, maka ada lebih dari 100.000 penduduk yang berpotensi kehilangan layanan.
Bagi Indonesia yang memiliki rasio dokter per 1.000 penduduk di bawah standar, kondisi semakin pelik. Berdasarkan catatan Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), dokter yang meninggal tak hanya dokter umum.
Per 4 September 2020, dari 104 dokter yang meninggal, 46 di antaranya merupakan dokter spesialis. Artinya, hampir 200.000 penduduk yang berpotensi kehilangan layanan.
Hal itu pun disadari Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi Kemendikbud Ir Nizam. Meninggalnya 104 dokter tersebut, menurut Nizam, sebagai “kehilangan yang besar”.
Untuk menghasilkan seorang dokter, kata Nizam, dibutuhkan waktu minimal lima tahun sedangkan dokter spesialis minimal tujuh tahun.
Kehilangan dan kekurangan dokter bisa segera diatasi, sebab ia menyebut setiap tahun ada lebih dari 11.000 dokter muda dan 6.000 dokter spesialis.
Namun, ia mengakui masih ada masalah kesenjangan distribusi dokter. Dokter dan dokter spesialis masih bertumpuk di sejumlah daerah. Masalah ini yang akan segera dicari penyelesaiannya bersama Kementerian Kesehatan.
"Kemendikbud berkoordinasi erat dengan Kemenkes melalui komite bersama saat ini sedang mengkaji bagaimana peta kebutuhan tenaga kesehatan ke depan dan bagaimana memenuhi baik jumlah maupun kualitasnya, serta mendistribusikannya dengan baik," kata Nizam kepada Tirto pada Jumat (4/9/2020).
Ketua Konsil Kedokteran Indonesia (KKI) Putu Moda Arsana mengatakan akselerasi pendidikan dokter demi segera menambah kebutuhan dokter perlu pertimbangan matang, karena memang harus ada kompetensi yang wajib dipenuhi.
Ada sejumlah solusi yang bisa ditempuh untuk menambah jumlah dokter dengan tetap mengedepankan standar kompetensi. Yang bisa dilakukan adalah dengan mendorong para calon dokter yang telah lulus pendidikan untuk dapat segera mendapatkan surat tanda registrasi (STR).
Saat ini, kata dia, ada sekitar 3.000 orang yang telah menyelesaikan pendidikan dokter umum tetapi belum lulus ujian kompetensi sebagai dokter untuk mendapatkan STR. Mereka, kata Putu, bisa didorong agar segera dapat lulus ujian sehingga memenuhi kebutuhan dokter.
“Ini akan kita diskusikan bahwa dalam situasi tidak tahu kapan COVID-19 berakhir dan kita membutuhkan dokter […] Bagaimana caranya itu nanti akan kita diskusikan, apakah dengan meningkatkan kemampuan mereka atau standarnya kita lihat kembali apakah perlu dilakukan perbaikan atau tidak,” ujar Putu saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (4/9/2020).
Sementara untuk dokter spesialis diakuinya lulusannya masih sedikit. Maka untuk itu pusat-pusat pendidikan dokter spesialis perlu didorong menambah jumlah lulusan.
Selain itu, bisa dengan menambah dokter spesialis dari orang-orang Indonesia yang menempuh pendidikan spesialis di luar negeri.
Selama ini, kata dia, ada beberapa dokter spesialis lulusan luar negeri yang pulang ke Indonesia melakukan adaptasi untuk kemudian mendapatkan STR. Namun, sebelum mendapatkan STR mereka diharuskan adaptasi.
Dan mekanisme adaptasi ini, menurutnya, masih belum terkoordinasi, sehingga banyak di antaranya yang memerlukan waktu lama untuk mendapatkan STR.
“Ini yang perlu diperbaiki supaya proses adaptasi tepat sasaran, tepat waktu dan tepat guna. Ini mungkin program-program yang mempercepat bukan dengan memberikan subsidi, karena subsidi juga paling cepat perlu beberapa semester untuk lulus sebagai dokter spesialis,” ujarnya.
Penulis: Mohammad Bernie
Editor: Maya Saputri