tirto.id - Sebuah laporan investigasi situs berita asal Inggris The Telegraph, mengungkap raksasa farmasi AstraZeneca telah mengakui vaksin COVID-19 yang mereka kembangkan bersama Universitas Oxford, dapat menimbulkan efek samping berupa sindrom trombosis dengan trombositopenia (TTS). Hal ini terungkap dalam dokumen pengadilan kasus hukum antara AstraZeneca melawan gugatan warga (class action), atas puluhan kasus kematian dan cedera serius yang diklaim efek samping dari vaksin buatan mereka.
Sebanyak 51 perkara telah diajukan ke pengadilan tinggi, para korban dan kerabat meminta ganti rugi pada AstraZeneca dengan nilai tuntutan mencapai 100 juta poundsterling. Kasus pertama dilaporkan tahun lalu oleh seorang ayah dengan dua anak, Jamie Scott, yang mengalami cedera otak permanen karena pembekuan darah dan pendarahan di otak. Pihak rumah sakit bahkan menyatakan kepada keluarga Scott bahwa pria itu akan meninggal.
AstraZeneca sempat menepis tudingan para penggugat pada 2023. Namun, baru-baru ini, tepatnya Februari 2024, lewat sebuah dokumen pengadilan tinggi di London, perusahaan farmasi itu mengakui memang vaksin produksi mereka dapat menimbulkan TTS meski dalam kasus yang langka.
TTS alias sindrom trombosis dengan trombositopenia menyebabkan orang mengalami pembekuan darah dan jumlah trombosit darah yang rendah. “Vaksin AZ dapat, dalam kasus yang sangat jarang terjadi, menyebabkan TTS. Mekanisme penyebabnya tidak diketahui,” tulis potongan dokumen itu.
Jika perusahaan farmasi tersebut mengakui fakta bahwa vaksin mereka menyebabkan penyakit serius dan kematian dalam kasus hukum tertentu, maka gugatan warga semakin kokoh. Pemerintah Inggris berjanji akan menanggung tagihan hukum AstraZeneca.
AstraZeneca sendiri menegaskan vaksin mereka sudah melewati uji klinis. Berbagai penelitian menyebut vaksin yang diproduksi aman dan mempunyai manfaat lebih besar daripada risiko efek samping.
“Lebih lanjut, TTS juga dapat terjadi tanpa adanya vaksin AZ (atau vaksin apa pun). Penyebab dalam setiap kasus individu akan menjadi persoalan lewat pembuktian pakar,” tulis dokumen AstraZeneca di pengadilan tinggi.
Ramai di Indonesia
Berita soal efek samping langka vaksin COVID-19 produksi AstraZeneca juga menjadi ramai dibicarakan di Indonesia. Bukan tanpa sebab, Indonesia merupakan salah satu negara yang menerima penggunaan darurat vaksin AstraZeneca selama pandemi COVID-19. Pada Maret 2021, vaksin AstraZeneca resmi mendapatkan izin penggunaan darurat atau Emergency Use Authorization (EUA) dari Badan POM.
Sebelum penerbitan EUA, Badan POM sudah melakukan proses evaluasi untuk keamanan, khasiat, dan mutu vaksin AstraZeneca. Proses evaluasi dilakukan bersama-sama dengan Tim Ahli yang tergabung dalam Komite Nasional Penilai Obat, ITAGI (Indonesian Technical Advisory Group on Immunization), dan Klinisi terkait lainnya.
Berdasarkan hasil evaluasi keamanan data uji klinis dilaporkan, vaksin AstraZeneca dua dosis dengan interval 4-12 minggu dengan total 23.745 subjek, dinyatakan aman dan dapat ditoleransi dengan baik. Menyusul hal tersebut, Kementerian Kesehatan (Kemenkes) lewat Ditjen Pencegahan dan Pengendalian Penyakit menerbitkan Surat Edaran Nomor: HK.02.02/II/841/2021 tentang Informasi Mengenai Vaksin COVID-19 AstraZeneca.
Dalam surat edaran itu dijelaskan vaksin COVID-19 AstraZeneca merupakan vaksin vektor adenoviral (rekombinan) yaitu mengandung virus flu biasa yang telah dimodifikasi sehingga tidak dapat bereplikasi atau berkembang di dalam tubuh manusia, tetapi dapat menimbulkan respons kekebalan terhadap COVID-19. Kemenkes menilai, kejadian ikutan pasca-vaksinasi (KIPI) yang umum terjadi (>10%) biasanya hanya bersifat ringan seperti pusing, mual, nyeri otot (myalgia), nyeri sendi (arthralgia), nyeri di tempat suntikan, kelelahan, malaise, dan demam.
Epidemiolog dari Griffith University Australia, Dicky Budiman, menyampaikan masyarakat yang sudah menerima vaksin COVID-19 AstraZeneca tidak perlu panik atas pemberitaan efek samping langka yang terjadi di Inggris. Pasalnya, sudah terbukti bahwa kasus efek samping TTS termasuk langka dan manfaat dari vaksin AstraZeneca jauh lebih besar.
“Setelah dia menerima dosis pertama ya dari AstraZeneca, risiko terjadinya TTS tadi, itu 8,1 kasus [TTS] per 1 juta penerima vaksin. Jadi kecil sebetulnya, kemudian kalau setelah dosis kedua, kan ada dosisnya dua kali, itu menurun jadi 2,3 kasus per 1 juta pada penerima vaksin, jadi malah menurun risikonya setelah dosis kedua,” kata Dicky kepada reporter Tirto, Jumat (3/5/2024).
Dicky menjelaskan, karena manfaat vaksin COVID-19 AstraZeneca mencegah COVID-19 jauh lebih besar, maka membuat Organisasi Kesehatan Dunia dan CDC Amerika Serikat tetap merekomendasikan vaksin AstraZeneca hingga saat ini. Di sisi lain, TTS memang dapat disebabkan vaksin AstraZeneca meski dalam jumlah kasus yang sangat langka.
Penjelasan ilmiah kondisi ini, kata Dicky, diakibatkan reaksi kekebalan tubuh terhadap vaksin yang disebut dengan Syndrome Trombositopenia Thrombotic Vaccine atau VITT. Kondisi ini terjadi ketika tubuh penerima vaksin AstraZeneca, justru menghasilkan antibodi yang menyerang trombosit dan memicu pembekuan darah yang tidak biasa.
“Artinya risikonya enggak nol, tapi sudah sangat jauh menurun. Namun, karena ini terus berkembang, kan, artinya harus terus dipantau, dievaluasi. Hal yang menjadi kelebihan pada kondisi saat ini adalah bahwa seiring waktu pemahaman terhadap risiko TTS kan jadi lebih baik,” jelas Dicky.
Sementara itu, ahli farmakoepidemiologi dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, berpendapat bahwa pernyataan AstraZeneca dalam dokumen pengadilan tinggi di London soal efek TTS tidak bisa disebut sebagai pengakuan. Sebab, kata dia, sudah menjadi fakta yang diketahui para ahli bahwa vaksinasi COVID-19 memang memiliki efek samping langka berupa pembekuan darah (blood clotting).
“Hanya, kemarin [kasus di Inggris] event-nya ada class action. Sesuai dengan kajian laporan Farmakovigilans (termasuk studi pengamatan di Denmark dan Norwegia), EMA atau Badan POM Eropa sudah mengeluarkan warning untuk health care professional di 7 April 2021,” ujar Grace kepada reporter Tirto, Jumat (3/5/2024).
Belakangan diamati dalam beberapa penelitian, kata dia, efek samping ini juga lebih berisiko terjadi pada pria usia di bawah 30 tahun. Sehingga disarankan jika memungkinkan agar kelompok usia tersebut mendapatkan produk vaksin yang lain atau perlu diawasi dengan ketat pemakaiannya. Namun, perlu menjadi catatan penting, semua data tersebut berasal dari Eropa.
“Dan datanya belum cukup untuk melihat variasi [efek] pada ras Asia misalnya,” kata Grace.
Grace menegaskan, kejadian TTS akibat vaksin AstraZeneca memang kecil sekali terjadi. Dan untuk menentukan pasti bahwa kondisi itu saling berhubungan (certain), perlu dilakukan pembuktian secara farmakovigilans.
“Misalnya dengan mengulang pemberian vaksin pada orang yang sama atau re-challenge. Di mana tidak mungkin [dilakukan], sehingga kesimpulan hubungannya tidak certain,” ujar Grace.
Akibat adanya kabar ini, Grace membenarkan hal ini bisa menjadi momen Indonesia untuk menggencarkan penelitian atau riset soal efek samping vaksin atau farmasi. Menurutnya, kekurangan Indonesia adalah masalah pelaporan data kejadian efek samping. Keputusan Kepala BPOM tahun 2022 tentang Farmakovigilans sebetulnya bisa menjadi landasan untuk pelaporan kejadian efek samping farmasi.
“BPOM sedang gencar melakukan sosialisasi dan kolaborasi terutama dengan tenaga kesehatan. Untuk industri sudah diminta melakukan pelaporan dan membuat juga sistem pelaporan yang diawasi BPOM,” ungkap dia.
Selain itu, kondisi di Indonesia masih minim tenaga kesehatan yang memiliki pengetahuan soal farmakovigilans atau pengawasan keamanan dan efektivitas obat setelah pemasaran. Imbasnya seperti kejadian gagal ginjal yang menimbulkan korban jiwa ratusan anak-anak.
Lebih lanjut, Grace mengingatkan pemerintah agar mampu menyampaikan informasi yang komprehensif dan baik kepada masyarakat soal ramai efek samping langka akibat vaksin COVID-19 AstraZeneca.
“Perlu diantisipasi adalah penggunaan berita ini oleh kelompok antivaksin untuk kemudian menyebarkan disinformasi tentang program imunisasi secara keseluruhan. Sehingga BPOM dan Kemenkes perlu mengantisipasi dengan mengeluarkan statement yang menjelaskan kejadian ini,” ujar Grace.
Di Indonesia Diklaim Aman
Terkait hal ini, Ketua Komisi Nasional Pengkajian dan Penanggulangan Kejadian Ikutan Pasca-Imunisasi (Komnas PP KIPI), Hinky Hindra Irawan Satari, menegaskan tidak ada kejadian sindrom trombosis dengan trombositopenia (TTS) setelah pemakaian vaksin COVID-19 AstraZeneca di Indonesia. Hal ini berdasarkan surveilans aktif dan pasif yang sampai saat ini masih terus dilakukan oleh Komnas KIPI.
“Keamanan dan manfaat sebuah vaksin sudah melalui berbagai tahapan uji klinis, mulai uji klinis tahap 1, 2, 3 dan 4 termasuk vaksin COVID-19 yang melibatkan jutaan orang, sampai dikeluarkannya izin edar. Dan pemantauan terhadap keamanan vaksin masih terus dilakukan setelah vaksin beredar,” kata Hinky dalam keterangan tertulis, Jumat (3/5/2024).
Sesuai rekomendasi WHO, kata dia, Komnas KIPI bersama Kemenkes dan BPOM melakukan surveilans aktif terhadap berbagai macam gejala atau penyakit yang dicurigai ada keterkaitan dengan vaksin COVID-19 termasuk TTS. Survei dilakukan di 14 rumah sakit di 7 provinsi yang memenuhi kriteria selama lebih dari satu tahun.
“Selama setahun, bahkan lebih, kami amati dari Maret 2021 sampai Juli 2022. Kami lanjutkan lebih dari setahun karena tidak ada gejalanya, jadi kami lanjutkan beberapa bulan untuk juga supaya memenuhi kebutuhan jumlah sampel yang dibutuhkan untuk menyatakan ada atau tidak ada keterkaitan. Sampai kami perpanjang juga tidak ada TTS [di Indonesia] pada AstraZeneca,” jelas Hinky.
Sementara itu, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, menyampaikan bahwa efek samping vaksin COVID-19 AstraZeneca bukan hal baru dan sudah diketahui para ahli sejak lama. Kendati demikian, efek samping TTS sangat jarang terjadi setelah vaksinasi dilakukan.
Di Indonesia belum ditemukan adanya laporan TTS akibat vaksinasi AstraZeneca. Menkes menilai manfaat vaksinasi lebih banyak dibanding efek sampingnya, sebab terbukti menyelamatkan banyak nyawa selama pandemi COVID-19.
“Tinggal kita lihat apabila dampaknya terjadi, itu harus ditangani. Tapi sampai sekarang sih dari laporan ITAGI belum ada dampak itu [di Indonesia],” ujar Menkes kepada awak media di Jakarta Barat, Kamis (2/5/2024).
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz