tirto.id - Memasuki musim hujan di penghujung tahun perlu disikapi langkah antisipatif dan kewaspadaan akan potensi penyakit peralihan musim. Salah satu penyakit yang kerap muncul dan meningkat di musim hujan adalah demam berdarah dengue (DBD). DBD merupakan penyakit yang dibawa vektor nyamuk aedes aegypti dan aedes albopictus.
Indonesia yang beriklim tropis membuat perkembangan nyamuk pembawa DBD sangat dipengaruhi perubahan iklim dan cuaca. Langkah mitigasi untuk mengantisipasi potensi peningkatan jumlah kasus DBD sudah selayaknya mulai digalakkan. Sejumlah pihak sudah mulai mengingatkan pemerintah agar sigap mencegah dan menangani DBD saat memasuki musim hujan.
Anggota Komisi IX DPR RI, Netty Prasetiyani Aher, mewanti-wanti pemerintah agar memfokuskan upaya pemberantasan sarang nyamuk dan edukasi kepada masyarakat untuk menjaga lingkungan. Hal ini disampaikannya, untuk mewaspadai potensi DBD yang kerap meningkat saat masuk musim hujan.
“Pemerintah harus menguatkan upaya pencegahan muncul dan menyebarnya kasus DBD di Indonesia seiring tibanya musim hujan. Kita harus bersiap melakukan upaya pencegahan sebelum terjadinya peningkatan kasus,” kata Netty dalam keterangan tertulis yang diterima Tirto, dikutip Jumat (10/11/2023).
Netty juga meminta pemerintah agar melibatkan masyarakat dalam pemberantasan sarang nyamuk. Selain itu, penguatan peranan juru pemantau jentik (Jumantik) untuk memberantas sarang nyamuk di lingkungan tempat tinggal masyarakat menjadi kunci.
“Penggunaan fogging sebagai upaya pencegahan harus dievaluasi. Apakah cara ini efektif atau justru memunculkan masalah kesehatan baru lainnya?” kata dia menambahkan.
Anggota DPR dari Fraksi PKS ini juga menanyakan kesiapan pemerintah dalam pemberian vaksin dengue untuk masyarakat. Ia meminta agar vaksin tersedia dalam jumlah yang cukup dan terdistribusi dengan baik.
“Fokus pada mereka yang berpotensi tinggi terkena penyakit DBD, terutama mereka yang tinggal di daerah-daerah yang disukai oleh nyamuk untuk berkembang biak,” kata dia.
DBD memang tidak dapat dianggap remeh, apalagi angka kematian akibat penyakit ini masih cukup tinggi setiap tahunnya. Merujuk data Kementerian Kesehatan pada 2022 menunjukkan, total kematian akibat DBD sebanyak 1.236 kasus, di antaranya merupakan anak-anak di bawah 14 tahun.
Penguatan pencegahan menjadi prioritas yang perlu diperkuat jika target nol kematian akibat DBD pada 2030 ingin tercapai. Pasalnya, dari data teranyar DBD yang diterima reporter Tirto dari Kemenkes, tahun ini hingga memasuki Minggu ke-42, jumlah kumulatif kasus DBD di Indonesia dilaporkan ada sebanyak 71.586 kasus (infection rate 26,04 per 100.000 penduduk).
Kasus ini dilaporkan oleh 464 kabupaten/kota di 34 provinsi dengan angka kematian mencapai 517 orang (Case Fatality Rate: 0,72%). Kematian DBD ini tersebar di 200 kabupaten/kota di 32 provinsi.
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin sendiri menyadari potensi peningkatan kasus DBD pada musim penghujan. Saat Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR RI, Selasa (7/11/2023), Menkes Budi menyatakan memang tengah memperkuat strategi surveilans dalam penanganan DBD.
Selain itu, tengah dikembangkan inovasi berupa penerapan teknologi Wolbachia. Teknologi ini menyisipkan bakteri Wolbachia pada nyamuk untuk mengendalikan virus dengue saat bertaut dengan vektor pembawa virus.
“Teknologi sekarang yang sudah diterapkan di Brasil, di Bangladesh, kemudian juga di Singapura, mereka membuat nyamuknya tidak bisa menularkan dengue,” ucap Menkes Budi.
Pemerhati kesehatan cum anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI), Iqbal Mochtar, menilai program Wolbachia memang terbukti menghasilkan penurunan signifikan pada kasus DBD di sejumlah negara. Kendati demikian, ada banyak faktor yang mempengaruhi kesuksesannya dan membutuhkan penelitian yang kontinu.
“Di antaranya keberlanjutan program, bagaimana keaktifan masyarakat dalam pemberantasan, bagaimana efektivitas nyamuk Wolbachia ini di tempat berbeda, dan ini masih perlu penelitian. Namun secara umum memang ada bukti signifikan (penurunan kasus),” ujar Iqbal dihubungi reporter Tirto, Jumat (10/11/2023).
Penguatan Sistem Kesehatan
Selain berfokus pada penerapan teknologi baru, menurut Iqbal, perlu penguatan sistem kesehatan untuk penanganan DBD di Indonesia. Penguatan sistem kesehatan ini perlu didukung keterlibatan pemerintah untuk menopang terlaksananya program yang mendukung pemberantasan DBD.
“Pemerintah perlu terlibat dalam aturan yang mencegah DBD ini. Termasuk juga alokasi yang memadai untuk upaya penatalaksanaan, baik finansial atau lainnya,” kata Iqbal.
Selain itu, penguatan perlu ditingkatkan di sektor sumber daya manusia yang mumpuni dalam menangani kasus DBD. Diperlukan SDM yang paham dalam penatalaksanaan dan diagnosis DBD secara tepat dan cepat.
“Pemerintah perlu melakukan penguatan struktur dari level paling atas yaitu rumah sakit sampai level paling bawah yaitu puskesmas atau bahkan posyandu. Penguatan dalam artian menerima kasus-kasus yang ada,” jelas Iqbal.
Ia menambahkan, perubahan iklim merupakan salah satu faktor yang harus diperhatikan dalam penanganan kasus DBD. Perubahan iklim membuat sebaran vektor semakin meluas dan membuat ekspos manusia terhadap nyamuk pembawa DBD menjadi lebih intens.
“Korelasi antara perubahan iklim dan DBD itu nyata terjadi. Perubahan suhu, iklim, dan kelembaban secara langsung mempengaruhi perilaku penyebaran dan distribusi nyamuk DBD,” kata Iqbal.
Wasekjen Ikatan Ahli Kesehatan Masyarakat Indonesia (IAKMI) sekaligus Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir, menyatakan saat ini Indonesia masih bertumpu pada manajemen atau kontrol lingkungan dalam mencegah DBD. Sehingga, untuk menekan angka kasus DBD maka upaya pencegahan haruslah maksimal.
“Selain itu, surveilans dan pemetaan terhadap di mana kasus DBD terjadi juga penting untuk meningkatkan kewaspadaan dan upaya pencegahan di wilayah tersebut,” kata Narila dihubungi reporter Tirto, Jumat (10/11/2023).
Menurut Narila, beban penyakit DBD bukan hanya soal masalah kematian, namun juga kasus kesakitan yang terjadi. Banyak hari produktif yang akan hilang karena perawatan DBD dan sejumlah kasus berujung meninggal karenanya.
“Kematian yang terjadi akibat DBD ini banyak karena keterlambatan menyadari terinfeksi DBD. Jadi kalau mau menurunkan angka kematian serendah mungkin, kombinasi yang komprehensif diperlukan dari aspek perilaku dan lingkungan,” kata dia.
Ia menambahkan, musim peralihan seperti saat ini menyebabkan genangan air yang merupakan tempat perkembangbiakan terbaik untuk nyamuk pembawa DBD. Maka dari itu, ia memperingatkan masa-masa ini akan menjadi rawan peningkatan kasus DBD.
“Kalau hujan terus menerus mungkin langsung tersapu jentiknya tidak sempat berkembang biak. Tapi kalau musim peralihan, hujan hanya sekali-kali, maka potensi tempat nyamuknya berkembang lebih banyak,” ujar Narila.
Upaya Pemerintah
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Kemenkes, Imran Pambudi, menyampaikan pemerintah telah Menyusun Strategi Nasional Penanggulangan Dengue 2021-2025. Selain itu, guna memastikan pencapaian tujuan nol kematian akibat DBD pada 2030, serta dibutuhkannya percepatan penanggulangan sebagai ancaman kesehatan masyarakat di Indonesia, maka Kaukus Kesehatan DPR RI bersama dengan Kementerian Kesehatan membentuk Koalisi Bersama Lawan Dengue (KOBAR Lawan Dengue).
“Pada tingkat nasional menargetkan angka kasus dengue menjadi kurang dari 10 per 100.000 penduduk pada 2024 dan akan menuju 0 kasus kematian pada 2030,” kata Imran dihubungi reporter Tirto, Jumat (10/11/2023).
Ia menambahkan, saat ini sudah terdapat dua vaksin DBD yang telah mendapat izin edar dari Badan POM RI yang bisa menjadi vaksinasi pilihan di Indonesia.
“Saat ini program dengue masih menunggu rekomendasi dari Indonesian Technical Advisory Group on Immunization (ITAGI) untuk dapat dipergunakan oleh program secara nasional,” kata dia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz