Menuju konten utama
Ketahanan Pangan

Tantangan di Balik Ambisi Pemerintah Bangun Pabrik Gula di Papua

APTRI ragu pabrik gula di Papua bisa dibangun hanya dengan waktu dua tahun dengan kondisi infrastruktur dan lahan yang ada di sana.

Tantangan di Balik Ambisi Pemerintah Bangun Pabrik Gula di Papua
Pekerja melakukan bongkar muat gula kristal putih impor di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Sabtu (1/4/2023).ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A/tom.

tirto.id - Pemerintah berencana akan membangun pabrik gula di Papua untuk menggenjot produksi dalam negeri. Nilai investasi dibutuhkan untuk satu pabrik gula ditaksir mencapai Rp2,5 triliun hingga Rp3,5 triliun dengan kapasitas mencapai 8 hingga 12 ribu tonecane per day (TCD).

Berdasarkan data Direktorat Jenderal Perkebunan Kementerian Pertanian, jumlah produksi Gula Kristal Putih (GKP) pada 2022 hanya sebanyak 2.405.907 ton yang diperoleh dari luas areal 488.982 hektar (Ha). Meski produksi ini naik sekitar 2,34 persen dibandingkan produksi GKP 2021, tapi belum bisa menutup kebutuhan konsumsi gula masyarakat Indonesia.

Menteri Pertanian Amran Sulaiman mengungkapkan, salah satu alasan pembangunan pabrik di Papua karena memiliki agroklimat sesuai untuk menanam tebu. Agroklimat adalah tingkat kecocokan unsur-unsur iklim untuk suatu kehidupan tanaman pada suatu bidang lahan.

“Agroklimat di sana itu satu. Kemudian kedua lahannya luas. Jadi banyak pertimbangan, ini kan industri besar, jadi sangat strategis kalau dibangun," ucap Amran di Kantor Kementan, Jakarta Selatan, Selasa (7/11/2023).

Meski tidak disebutkan spesifik wilayah mana akan dibangun pabrik, tapi Papua memiliki Kabupaten Merauke, sebagai lumbung pangan nasional atau food estate yang sudah dikembangkan pemerintah. Program ini merupakan usaha Indonesia untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional dalam jangka menengah maupun panjang.

Merauke yang merupakan hamparan tanah datar sangat potensial sebagai lahan yang bisa ditanam untuk padi, gandum, kelapa sawit maupun tebu dan beberapa komoditas unggulan lainnya. Luasan tanah yang akan dikembangkan menjadi food estate seluas 1,2 juta hektare. Daerah yang akan dijadikan lokasi food estate juga telah diatur dalam Rencana Tata Ruang Kabupaten Merauke.

Proyek food estate di Merauke, Papua Selatan ini bahkan akan dijadikan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) oleh Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian. KEK ini akan difokuskan untuk produksi padi dan tebu. Luas lahan ini diperkirakan bisa mencapai dua juta hektar.

Amran mengatakan, pembangunan pabrik gula ini sedang dibahas bersama Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Nantinya, pabrik gula di Papua akan dibangun di kawasan ID Food. Saat ini pemerintah juga sedang mencari investor yang siap mengelola pabrik tersebut dan ditargetkan selesai selama tiga tahun.

“Sebenarnya kalau sudah ada investornya, sebenarnya itu dua tahun bisa, dua sampai tiga tahun," ujar Amran.

Keinginan pemerintah untuk membangun kawasan perkebunan tebu dan pabrik gula di Kabupaten Merauke, tampaknya tidak akan mudah seperti diharapkan. Sebab, rencana tersebut masih terkendala oleh masalah pendanaan maupun luas areal perkebunan yang masih belum pasti pengelolaannya.

Pada 2010, Wilmar Indonesia sempat melakukan studi kelayakan untuk pembangunan pabrik gula di Merauke, Papua. Wilmar adalah salah satu calon investor yang berencana mengelola perkebunan tebu dan pembangunan pabrik gula di wilayah Merauke. Selain Wilmar, masih ada sejumlah investor gula yang mau membangun pabrik di Merauke di antaranya Murdaya Po, Medco, Rajawali Nusantara Indonesia (RNI) dan Sinarmas.

Rencana pemerintah untuk membuka pabrik gula di Merauke juga telah mendapat respons positif dari salah satu investor nasional, yaitu PT Sampoerna. Saat itu, Sampoerna menyatakan ketertarikannya dan siap memodali usaha ini. Namun, upaya Wilmar dan Sampoerna tersebut kandas di tengah jalan.

Kunjungan Mentan Ke Pabrik Gula Putih PT.RMI

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman (Kanan) didampingi Bupati Blitar Rijanto (Dua Kanan) melihat hasil produksi gula putih siap edar saat mengunjungi pabrik gula PT. Rejoso Manis Indo (RMI) di Blitar, Jawa Timur, Rabu (9/10/2019).ANTARA FOTO/Irfan Anshori/hp.

Perlu Kajian Efektivitas Lahan Lebih Lanjut

Corporate Secretary Holding Perkebunan Nusantara PTPN III (Persero), Bambang Agustian mengatakan, pada dasarnya PTPN mendukung program pemerintah untuk membangun food estate di Kabupaten Merauke, Papua. Hanya saja, pihaknya masih melakukan kajian mengenai efektivitas keadaan lahan di wilayah tersebut.

“Saat ini tim survei (yang melibatkan beberapa BUMN) masih melakukan kajian terhadap efektivitas dan potensi lahan berdasarkan hasil survei pendahuluan tersebut," kata Bambang kepada Tirto, Rabu (8/11/2023).

Setelah dilakukan survei pendahuluan, Perseroan juga masih akan melakukan survei lanjutan. Ini untuk mengkaji keekonomian dan sosial terhadap proyek tersebut.

Ketua DPP Asosiasi Petani Tebu Rakyat Indonesia (APTRI), Soemitro Samadikoen mengatakan, memang perlu ada studi kelayakan terlebih dahulu untuk membangun pabrik gula dan tebu di wilayah atau lahan baru seperti Papua. Studi kelayakan itu akan melihat potensi sumber daya dan kekuatan-kekuatan potensi yang ada di wilayah tersebut.

“Dia harus didahului studi kelayakan yang betul-betul bagus. Jangan asal-asalan. Maka dari situ kita bisa berangkat untuk menambah lahan,” kata dia saat dihubungi Tirto, Rabu (8/11/2023).

Masalah lainnya adalah soal infrastruktur. Menurut Soemitro, infrastruktur menjadi modal utama yang perlu dipikirkan pemerintah karena ini menyangkut dengan ketertarikan investor untuk berinvestasi di wilayah tersebut.

“Jadi infrastruktur pertama. Apalagi kita bicara tentang gula dan kebun tebu itu dua unsur yang menyatu, tapi perlakuannya berbeda,” imbuh dia.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE) Mohammad Faisal mengamini bahwa masalah infrastruktur perlu dipikirkan ulang pemerintah. Karena ini juga berkaitan dengan logistik bagaimana mengantar bahan baku seperti pupuk, bibit dan lainnya.

“Masalahnya biaya logistiknya mahal di Papua, jadi itu perlu dipikirkan kalau mau membangun industri pabrik gula di sana atau pengolahan tebu,” ujar dia kepada Tirto, Rabu (8/11/2023).

Terlepas dari masalah infrastruktur, APTRI mengaku ragu pabrik gula di Papua bisa dibangun hanya dengan waktu dua tahun dengan kondisi infrastruktur dan lahan yang ada di sana. Seandainya pabrik tersebut jadi pun, belum tentu perkebunan tebunya siap.

“Kalau pabrik siap, kebun belum siap, yang digiling apa? Nanti peningkatan produksi, tapi bahan bakunya kita ambil impor lagi,” ucap Soemitro.

Oleh karena itu, kata dia, pemerintah dalam hal ini harus berhati-hati untuk membuka lahan baru dan harus betul-betul objektif dalam rangka mempersiapkan potensi termasuk kendala apa yang harus ditangani. Jangan sampai, nantinya investor justru tidak tertarik untuk membangun pabrik dan perkebunan tebu di sana.

Lebih baik, kata dia, pemerintah mengoptimalkan perkebunan sudah ada dan berjalan di beberapa provinsi untuk meningkatkan produktivitasnya. Cara ini lebih baik ketimbang harus membuka lahan maupun membangun pabrik baru di wilayah yang belum ada kajiannya sama sekali.

“Kita sambut [baik rencana itu], tapi jangan asal. Lain daerah lain potensi tidak semudah di daerah yang sekarang sudah ditanam tebu,” kata Soemitro.

Saat ini hanya ada 12 provinsi di Indonesia yang memiliki perkebunan tebu pada 2022. Jawa Timur memiliki perkebunan tebu terluas di Indonesia mencapai 218.200 ha pada 2022. Lampung menyusul di urutan kedua dengan luas perkebunan tebu sebesar 143.200 ha. Kemudian, luas perkebunan tebu di Jawa Tengah sebesar 46.100 ha.

Luas perkebunan tebu di Sumatera Selatan tercatat sebesar 31.100 ha. Sedangkan, Sulawesi Selatan dan Jawa Barat secara berturut-turut memiliki perkebunan tebu seluas 13.000 ha dan 11.600 ha. Sementara, Sulawesi Tenggara tercatat sebagai provinsi yang paling sedikit memiliki perkebunan tebu, yakni 1.200 ha. Di atasnya, terdapat Nusa Tenggara Timur dan Yogyakarta dengan perkebunan tebu masing-masing seluas 1.700 ha dan 2.800 ha.

Baca juga artikel terkait GULA atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Bisnis
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz