tirto.id - Kasus kematian yang disebabkan bencana kelaparan kembali terjadi di Papua. Kali ini tercatat di Distrik Amuma, Kabupaten Yahukimo, Papua Pegunungan. Krisis iklim dan gagal panen diduga memicu puluhan orang meninggal di 13 kampung. Sebanyak 12.000 orang terdampak akibat bencana ini.
Sekretaris Gereja Kemah Injil (Kingmi) di Tanah Papua, Dominggus Pigai menyatakan, menurut catatan teranyar gereja, sudah ada penambahan jumlah kasus kematian sampai awal pekan ini. Bencana kelaparan yang menyebabkan kematian ini, kata dia, sudah terjadi sejak Agustus 2023.
“Hingga saat ini meningkat, ada sekitar 30-an orang yang meninggal,” kata Dominggus dihubungi reporter Tirto, Selasa (31/10/2023).
Data ini dihimpun dari laporan petugas gereja yang tersebar di sembilan lokasi di Distrik Amuma. Angka korban juga meningkat dibanding data yang tercatat di Polda Papua pekan lalu, yang melalui rilis resmi menyatakan ada 24 korban meninggal.
Dominggus menyampaikan, hingga kini masih banyak warga yang sakit akibat krisis pangan. Cuaca ekstrem disebut sebagai biang keladi yang menyebabkan hasil tanam warga setempat mengalami gagal panen.
“Petatas mereka gagal panen dimakan ulat atau jamur. Keladi makanan pokok mereka juga busuk, termasuk jagung dan sayur-sayuran yang akhirnya mereka hilang karbohidrat itu jadi sakit,” ujar Dominggus.
Ia menambahkan, warga Amuma belum memiliki alternatif pangan yang bisa mereka tanam jika tanaman saat ini mati karena iklim ekstrem. Padi tidak bisa di tanam di daerah tersebut dan beras jarang sekali mereka dapatkan.
“Itu daerah terisolir jarang sekali ada beras,” terang Dominggus.
Menurut dia, hingga saat ini beberapa warga memerlukan bantuan medis dan obat-obatan. Dari temuan pihak gereja, warga banyak yang mengalami demam, perut kembung, napas sesak, dan asma.
“Masalahnya belum ada bantuan kesehatan karena puskesmas di kampung dan posko tidak ada sehingga pasien menderita,” jelas Dominggus.
Pemerintah memang disebutnya telah memberikan bantuan berupa bahan makanan pokok seperti beras dan sarden. Namun, warga juga kekurangan makanan bayi dan anak-anak sehingga bantuan masih sangat dibutuhkan.
“Pemerintah juga diharapkan bisa membantu warga memberdayakan pangan lokal supaya bagaimana bisa menyimpan pangan lokal dengan baik. Dengan sistem teknologi tepat guna yang berbasis pangan lokal sehingga ada mereka bisa bertahan (hidup),” tutur Dominggus.
Kementerian Sosial melalui keterangan resmi, telah memberikan bantuan berupa 2.000 paket makanan anak, 350 kardus sarden, 1.250 kg beras premium, 4.000 lembar selimut, 848 dus mi instan, 200 lembar tenda gulung, 300 pcs pakaian dewasa, dan 198 pcs pakaian anak.
Pemerintah pusat juga telah melakukan Rapat Koordinasi Tingkat Menteri Penanganan Dampak Bencana Tanah Longsor dan Bencana Kelaparan di Kabupaten Yahukimo, Provinsi Papua Pegunungan, pada Rabu (25/10/2023).
Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK), Muhadjir Effendy menjelaskan, pemerintah melalui BNPB dan Kemensos akan membangun lumbung pangan dan gudang pangan di daerah rawan ini. Sehingga di bulan sebelum diprediksi terjadi kelangkaan pangan, pemerintah bisa mengirimkan stok pangan di tempat itu sehingga tidak ada korban terdampak.
Kendati demikian, Muhadjir enggan buru-buru menyimpulkan bahwa penyebab kematian puluhan warga di Yahukimo disebabkan karena kelaparan. Sebab, kata Muhadjir, pemerintah daerah setempat mengatakan belum ada bukti bahwa mereka meninggal karena kelaparan.
“Artinya tidak ada kaitan, belum ada bukti bahwa itu ada kaitan langsung dengan kelaparan,” ujar Muhadjir seperti dikutip Antara pada 25 Oktober 2023.
Kasus Berulang Minim Pencegahan
Direktur Eksekutif Walhi Papua, Maikel Primus Peuki menyampaikan, kejadian bencana kelaparan dipicu gagal panen imbas cuaca ekstrem sudah berulang kali terjadi di Papua. Pemerintah perlu menyadari bahwa krisis iklim sudah berdampak nyata di Bumi Cendrawasih, terutama pada daerah-daerah pegunungan.
Menurut Maikel, tahun ini saja tercatat beberapa kasus kelaparan serupa yang disebabkan krisis pangan imbas cuaca ekstrem. Agustus lalu, bencana kelaparan terjadi di Kabupaten Puncak yang memakan korban jiwa sedikitnya enam orang dan 7.500 warga lainnya terdampak.
“Sebenarnya ini, kan, sudah dari lama, ini kan bukan meninggal massal sekaligus, tapi satu-satu. Ini yang jadi persoalan sudah lama, tapi masih menunggu apa lagi, ramai dulu. Baru kalau ada yang meninggal pemerintah baru statement itu karena penyakit,” ujar Maikel dihubungi reporter Tirto, Selasa (31/10/2023).
Ia menyayangkan sikap pemerintah daerah yang terkesan reaktif dan menutup-nutupi kejadian bencana kelaparan ini dengan dalih belum ada bukti. Jelas, kata Maikel, krisis iklim berdampak langsung pada pertanian warga yang memicu krisis pangan dan bencana kelaparan.
“Padahal krisis pangan dan perubahan iklim sudah berulang terjadi beberapa waktu lalu. Saya pikir keliru kalau ada penyakit, karena ini berbulan-bulan sudah terjadi baru sekarang mulai dilihat,” terang Maikel.
Adapun penanganan pemerintah pusat dinilai Maikel masih reaktif dan jangka pendek. Padahal, pemerintah pusat memiliki sumber daya mumpuni untuk mencegah krisis pangan akibat cuaca ekstrem di daerah pegunungan Papua.
“Saya pikir mereka mampu, pemerintah punya pendanaan, jaringan, dan ilmuan yang bisa dipakai. Ini tidak mungkin kita kasih pindah juga masyarakat juga ke kampung lain,” kata Maikel.
Berdasarkan pemberitaan Tirto sebelumnya, bencana kelaparan dan krisis pangan akibat cuaca ekstrem berulang kali terjadi di Papua. Pada Agustus 2022, bencana kelaparan terjadi di Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Diketahui sedikitnya tiga orang meninggal dunia, satu orang kritis, sementara sekitar 500 orang kelaparan pada kejadian ini.
Tercatat juga kejadian kelaparan yang kala itu ramai menjadi sorotan pada Desember 2005 di Yahukimo. Kelaparan terjadi di 7 distrik dan 10 pos pemerintahan yang menyebabkan 55 orang meninggal dan 112 orang sakit parah. Sekitar 55.000 penduduk di 7 distrik tersebut kehabisan makanan.
Kejadian serupa terjadi Kabupaten Puncak Jaya, medio Desember 2005 – Februari 2006. Kondisi kesehatan yang buruk disertai penurunan suhu ekstrem menyebabkan 15 orang meninggal. Tidak bisa dilupakan pula Kejadian Luar Biasa (KLB) campak dan gizi buruk di Kabupaten Asmat yang merenggut nyawa 72 anak pada 2018.
Maikel menegaskan, dengan sumber daya yang dimiliki, pemerintah seharusnya mampu memberikan edukasi kepada masyarakat Papua di daerah pegunungan dalam menghadapi krisis iklim. Selain itu, perlu identifikasi pangan lokal yang mampu bertahan di tempat tersebut, sehingga bisa menjadi alternatif bagi warga pegunungan Papua.
Pemerintah Mampu tapi Memilih Abai
Peneliti utama dari Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) yang fokus pada isu konflik dan permasalahan di Papua, Cahyo Pamungkas menyampaikan, pemerintah melakukan politik pengabaian jika tidak membenahi akar permasalahan ini. Kejadian berulang, kata Cahyo, menjadi cirinya yang padahal mampu dibenahi pemerintah.
“Ini kan beruntun dan bisa masuk dalam kategori pembiaran. Pelanggaran hak yang saya kira dalam bentuk pengabaian, padahal perlu diintervensi oleh pemerintah saat mereka mampu memiliki kapasitasnya,” kata Cahyo dihubungi reporter Tirto, Selasa (31/10/2023).
Bantuan yang datang juga dinilai Cahyo tidak mampu berkelanjutan dan hanya sekadar cari simpati sesaat. Angka stunting (tangkes) yang tinggi di daerah pegunungan Papua juga menjadi sinyalemen lain bahwa pemerintah belum memenuhi hak ekonomi, kesehatan, dan akses pangan warga Papua.
“Tidak ada prioritas pemerintah pusat selain soal masalah konflik keamanan. Pemda di sisi lain, tidak memiliki early warning system. Mereka lebih disibukan masalah pemilu ataupun sibuk urusi gedung infrastruktur baru,” ujar Cahyo.
Ia mendesak dibentuknya tim investigasi independen untuk mengusut kematian berulang akibat bencana kelaparan di Papua. Tim independen ini terdiri dari pihak gereja, akademisi, dan organisasi masyarakat sipil yang bergerak pada isu kemanusiaan di Papua.
Di sisi lain, ia berpesan agar diversifikasi pangan lokal bisa lebih dikembangan dan diperhatikan. Pemerintah dinilai hanya sibuk menggarap proyek food estate tanpa memikirkan ketahanan pangan berbasis pangan lokal.
“Dulu pemerintah daerah ada program budidaya sagu, tapi saya tidak tahu keberlanjutannya sekarang karena pusat lebih mengedepankan food estate,” beber Cahyo.
Pemerintah Siapkan Solusi
Menko PMK Muhadjir Effendy menyampaikan, saat ini pemerintah telah menggandeng Institut Pertanian Bogor (IPB) untuk menyediakan varietas umbi unggulan yang mampu atasi krisis pangan di Papua. Lewat varietas unggul dan teknologi tepat guna, bencana kelaparan yang berulang diharapkan bisa segera dituntaskan.
“Saya sudah diskusi dengan mentan baru, jangan sampai kerja sama dengan mentan yang lama terputus. Tidak lama (lagi) saya akan berkunjung ke Papua bersama mentan dan Kemensos,” kata dia di Jakarta, Selasa (31/10/2023).
Sebelumnya, Muhadjir menyampaikan bahwa proses penyaluran bantuan pangan di Yahukimo berjalan tanpa hambatan. Menurutnya, kelancaran penanganan ini serupa ketika pemerintah mengirimkan bantuan ke Agandugume, Lambewi, dan Konawe saat terjadi bencana kelaparan.
Hingga kini, ia belum bisa memastikan penyebab pasti dan jumlah terkini warga yang meninggal di Yahukimo. Muhadjir berencana akan mendatangi lokasi bencana secara langsung untuk meninjau situasi di sana.
“Saya akan berkunjung ke Papua bersama mentan dan Kemensos,” terang Muhadjir.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz