tirto.id - Bencana kekeringan dan suhu dingin ekstrem disebut sebagai pemicu kelaparan di Distrik Agandugume, Lambewi, dan Oneri, Kabupaten Puncak, Papua Tengah. Setidaknya enam orang meninggal dunia dan ribuan warga terdampak kelaparan.
Suhu dingin ekstrem menimbulkan fenomena embun beku (frost) yang membuat tanaman warga gagal panen. Suhu udara di bawah 10 derajat Celsius menyebabkan tanaman ubi dan keladi milik warga mati membusuk. Kondisi ini terjadi sejak Mei 2023 dan menyebabkan krisis pangan di wilayah tersebut.
Krisis pangan akibat cuaca ekstrem merupakan masalah berulang di Papua. Suhu dingin ekstrem yang memicu fenomena embun beku kerap menjadi momok yang menyebabkan Papua berada di jurang kelaparan.
Kasus serupa pernah terjadi pada 2022 di Kabupaten Lanny Jaya, Papua. Embun beku menyerang tanaman warga hingga gagal panen. Sedikitnya tiga orang meninggal dunia, satu orang kritis, dan ratusan lainnya terdampak kelaparan.
Embun beku ini masih belum bisa diantisipasi warga yang mayoritas menggantungkan ketahanan pangan pada hasil pertanian. Saat cuaca ekstrem datang mengakibatkan gagal panen, warga rentan mengalami bencana kelaparan.
Pakar Iklim Universitas Gadjah Mada (UGM), Emilya Nurjani menjelaskan embun beku merupakan fenomena meteorologi yang terjadi ketika temperatur udara atmosfer bawah dekat permukaan tanah mengalami penurunan suhu di bawah 0 derajat celsius atau lebih rendah. Kondisi itu membentuk kristal es dekat pada permukaan tanah atau vegetasi.
“Proses pembentukan frost sangat dipengaruhi kondisi topografi dan meteorologis lokal. Frost dalam meteorologi dapat dikategorikan sebagai suatu bentuk mineral atau kondisi iklim khusus, bahkan bencana dengan beberapa dampak kepada manusia,” kata Emilya kepada reporter Tirto, Senin (7/8/2023).
Berdasarkan definisi tersebut, kata Emilya, embun beku dapat berpeluang terjadi di wilayah dataran tinggi. Ia menjelaskan terdapat tiga syarat utama pembentukan embun beku, yakni suhu permukaan di bawah 0 derajat celsius atau lebih rendah, suhu udara jenuh pada 0 derajat Celsius atau lebih rendah, dan tersedia inti kondensasi sehingga proses sublimasi dapat terjadi.
“Dalam hal ini Kabupaten Pegunungan atau Lanny Jaya (berpotensi berulang) karena memiliki elevasi di atas 1500 mdpl, yang disebabkan oleh topografi atau morfologi wilayah dan cuaca atau iklim lokal,” ujar Emilya.
Embun Beku Bukan “Musim Salju”
Emilya meluruskan fenomena embun beku tidak sama dengan salju. Ia menjelaskan embun beku merupakan kejadian yang lazim terjadi pada saat musim kemarau, utamanya di daerah dataran tinggi.
Embun beku terjadi pada saat musim kemarau dengan suhu udara pada dini hari yang rendah. Biasanya, kata Emilya, hal itu paling sering terjadi saat dini hari menjelang waktu fajar.
“Frost berbeda atau tidak sama dengan salju. Salju terbentuk dari proses kondensasi awan pada ketinggian di atas titik beku (troposfer atas), sedangkan frost terjadi di permukaan bumi (embun yang mengalami proses pembekuan),” jelas Emilya.
Hal itu disampaikan Emilya merespons pernyataan Presiden Joko Widodo yang menyebut kelaparan berujung kematian di Papua Tengah dipicu “musim salju”. Akibatnya, beberapa distrik yang berada di dataran tinggi tidak dapat bercocok tanam.
“Ada daerah spesifik yang kalau di ‘musim salju’ itu yang namanya tanaman tidak ada yang tumbuh di ketinggian yang sangat tinggi di distrik itu,” kata Jokowi di Sodetan Ciliwung, Jakarta Timur, Senin (31/7/2023).
Senada, Senior Forecaster Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) Muhammad Hakiki menyatakan embun beku merupakan fenomena yang umum terjadi pada musim kemarau sekitar Juli -September. Menurutnya, hal ini perlu menjadi sinyal waspada di daerah Papua, mengingat saat ini sudah memasuki musim kemarau.
“Hampir di sebagian besar wilayah pegunungan di Papua perlu menjadi perhatian, terutama saat puncak musim kemarau Juli hingga September. Pada saat musim kemarau, pertumbuhan awan menjadi minim dan cuaca umumnya cerah dengan perawanan sedikit,” kata Hakiki kepada reporter Tirto, Senin (7/8/2023).
Kondisi ini menyebabkan pelepasan panas dari permukaan bumi menjadi maksimum karena panas dari bumi tidak terperangkap oleh awan. Hakiki menjelaskan awan dapat menjadi penghalang panas di atmosfer dan awan juga berfungsi untuk memerangkap panas di atmosfer.
“Jika tidak ada awan, maka panas dari permukaan bumi akan loss ke atmosfer secara maksimal, sehingga suhu permukaan bumi menjadi relatif lebih dingin,” ujarnya.
Kondisi embun beku, kata Hakiki, merupakan suatu fenomena alam yang berulang karena pemicunya juga berulang. Pemicunya sendiri merupakan pola musim yang tiap tahun berulang terjadi.
“Oleh karena itu pengetahuan mengenai kalender tanam dan prakiraan cuaca atau iklim secara spesifik di wilayah secara khusus, akan sangat membantu dalam hal pengurangan dampak gagal panen oleh fenomena embun beku,” saran Hakiki.
Waspada El Nino dan Suhu Dingin Ekstrem
Musim kemarau tahun ini diprediksi akan lebih kering dan curah hujan pada kategori rendah hingga sangat rendah. Kepala BMKG Dwikorita Karnawati menjelaskan hal itu merupakan dampak fenomena El Nino dan Indian Ocean Dipole (IOD) Positif.
Jika biasanya curah hujan berkisar 20 mm per hari, pada musim kemarau tahun ini angka tersebut bisa menjadi sebulan sekali atau bahkan tidak ada hujan sama sekali.
“Puncak kemarau kering ini diprediksi akan terjadi di bulan Agustus hingga awal bulan September dengan kondisi akan jauh lebih kering dibandingkan tahun 2020, 2021 dan 2022,” terang Dwikorita dalam keterangan resmi BMKG yang dikutip pada Senin (7/8/2023).
Kepala Pusat Informasi Perubahan Iklim BMKG, Fachri Radjab menilai kejadian di wilayah Papua Tengah juga dipicu perbedaan atau gap lebar antara suhu maksimum dan minimum di musim kemarau. Menurutnya, tahun ini yang diprediksi bakal terjadi fenomena El Nino akan menambah potensi perbedaan suhu yang ekstrem.
“Beda suhu yang begitu besar memang terjadi peningkatan. Siang 35 (derajat Celsius), malam (suhu) minus di dataran tinggi,” kata Fachri dalam acara Forum Merdeka Barat bertajuk "Waspada Dampak El Nino", Senin (31/7/2023).
Fachri menyebut fenomena ini sebagai bukti nyata perubahan iklim. Kasus suhu dingin ekstrem di Kabupaten Puncak juga pernah terjadi pada 2015 dan 2019. Kala itu pun terjadi kondisi serupa, musim kemarau dan El Nino.
Meski begitu, Pakar Iklim UGM Emilya Nurjani menyatakan korelasi antara El Nino dan suhu dingin ekstrem di Papua yang menyebabkan embun beku belum bisa dijawab karena belum ada penelitian pada topik tersebut. Namun penurunan suhu ekstrem memang berpeluang terjadi pada saat El Nino.
“Pada saat El Nino yang biasanya berimplikasi dengan uap air yang lebih sedikit. Uap air yang sedikit ini di malam hari di dataran atau pegunungan tinggi memacu proses kondensasi sehingga terjadi proses sublimasi membentuk embun yang membeku (suhu yang rendah di bawah 0 derajat Celsius),” jelas Emilya.
Dengan catatan kejadian yang berulang, pemerintah pusat dan daerah perlu memitigasi agar krisis pangan tidak kembali terjadi di Papua. Suhu dingin ekstrem yang menyebabkan embun beku pemicu gagal panen harus dapat dipahami oleh masyarakat. Terlebih, tahun ini fenomena El Nino diprediksi akan membuat kekeringan semakin parah.
Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, M Iqbal Damanik menyampaikan pemerintah perlu memastikan wilayah-wilayah pasokan pangan terutama bagi daerah yang jauh dari akses transportasi. Menurutnya, masyarakat adat Papua juga dapat memanfaatkan hutan sebagai sumber pangan. Pemerintah perlu memastikan hal ini dapat terjaga.
“Ibaratnya seperti supermarket lah bagi masyarakat Papua,” kata Iqbal kepada reporter Tirto, Senin (7/8/2023).
Iqbal menambahkan perlu komitmen global agar krisis pangan akibat perubahan iklim dapat dicegah. Selain itu, kata dia, pemerintah perlu memastikan hutan di Papua bebas dari deforestasi. Ia beralasan hutan menjadi sumber pangan yang utama bagi masyarakat Papua.
“Sangat disayangkan, ya, hutan Papua yang kaya di sana justru mengalami krisis pangan dan kelaparan,” kata Iqbal.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Gilang Ramadhan