tirto.id - Kelaparan di Distrik Agandugume dan Lambewi, Kabupaten Puncak, Papua Tengah, menyebabkan setidaknya enam orang meninggal dunia dan ribuan lainnya terdampak. Faktor cuaca dianggap sebagap pemicunya.
Kejadian serupa juga terjadi pada tahun lalu di Distrik Kuyuwage, Kabupaten Lanny Jaya, Provinsi Papua. Sebanyak empat orang meninggal dan ratusan warga terdampak kelaparan.
Penyebabnya sama, kekeringan dan suhu dingin ekstrem membuat perkebunan milik warga gagal panen. Petaka berulang melanda Papua ini menjadi penanda adanya masalah serius dalam sistem pangan di Bumi Cenderawasih.
Kelaparan berulang hingga menyebabkan kematian di Papua ini seharunya menjadi momen bagi pemerintah untuk mengevaluasi ketahanan pangan (food security).
Peneliti utama pada Pusat Riset Kewilayahan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Cahyo Pamungkas mengatakan ketahanan pangan Indonesia seharunya didasarkan pada kedaulatan pangan lokal. Kemudian, hal itu didukung akses atas pangan yang merata.
Food Estate Bukan Solusi
Melihat kondisi alam, aksesibilitas, dan budaya di Papua, Cahyo menilai produksi pangan terpusat seperti food estate bukanlah solusi untuk sistem pangan di Papua.
Keberadaan food estate yang terpusat juga bukanlah jawaban untuk menangani kelaparan di Papua. Ia mengatakan food estate kebanyakan berada di daerah pesisir, sementara kasus kelaparan terdapat di daerah terpencil atau pegunungan.
"Karena sulitnya akses transportasi, mahalnya transportasi untuk ke daerah kelaparan, hingga faktor keamanan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) ke daerah terpencil membuat itu semakin sulit," kata Cahyo kepada reporter Tirto, Selasa (1/8/2023).
Selain itu, Cahyo menilai food estate di sejumlah wilayah Papua dengan menanam padi, jagung, hingga sawit justru mendorong ketahanan pangan lokal terpinggirkan.
Sebab, masyarakat Papua sudah bertahan hidup sejak lama dengan pangan lokal seperti sagu dan buah merah. Menurut Cahyo, pemerintah seharunya bisa memberikan fasilitas dukungan untuk pengembangan pangan lokal seperti penguatan riset.
“Kurang dikembangkan tidak diriset, kalau tidak antisipasi seperti penelitian pangan lokal, kalau ada suhu dingin misalnya gimana,” tuturnya.
Selain itu, kata dia, ketergantungan pada padi akan mengikis berbagai pangan lokal di Papua.
"Mulai sedikit-sedikit generasi muda Papua lebih familiar dengan beras dibanding sagu. Sagu itu dikonsumsi oleh generasi tua dan daerah pedalaman. Sementara usia 40 tahun ke bawah dan masyarakat perkotaan lebih banyak konsumsi beras," ujarnya.
Cahyo menilai ketahanan pangan yang hanya didasarkan pada angka-angka produksi beras secara nasional merupakan pendekatan keliru.
"Banyak orang Papua merasa daerahnya dikorbankan untuk kepentingan pemerintah. Karena kebutuhan pangan nasional, akhirnya prioritas food estate tanam padi sehingga food estate mengalahkan pangan lokal," kata dia.
Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Tahun 1993-2015 tentang Pertumbuhan Produksi Komoditas Pangan di Provinsi Papua: Padi komoditas pangan dengan pertumbuhan paling melesat 390 persen, dibanding jagung 65,9 persen, ubi kayu 17,16 persen, dan ubi jalar 290,45 persen.
Sementara itu, Pertumbuhan Produksi Komoditas Pangan di Provinsi Papua Barat
Tahun 2005-2015: Produksi padi tumbuh 22,33 persen, sedangkan tren produksi komoditas lain menurun jagung 21,75 persen, ubi kayu 31,75 persen, dan ubi rambat 32,96 persen.
Katahanan Pangan Berbasis Pangan Lokal
Senada dengan Cahyo, Pengamat Pertanian dari Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori juga menekankan pentingnya penguatan pangan lokal untuk mencegah terulangnya bencana kelaparan di Papua.
Khudori melihat pangan lokal mulai ditinggalkan warga di Papua. Hal itu karena mereka dicekoki beras dan pangan berbasis terigu.
"Kejadian [kelaparan] yang berulang ini juga jadi pembelajaran bahwa penting bagi pemerintah, terutama pemda, untuk membangun ketahanan pangan berbasis pangan lokal," ucapnya.
Lalu, permasalahan infrastruktur, transportasi, dan distribusi yang terbatas juga mempersulit mobilisasi pangan ke daerah-daerah, seperti lokasi yang mengalami kelaparan saat ini.
"Ketika terjadi gangguan distribusi dan transportasi, termasuk karena ada gangguan keamanan dari KKB, pangan warga bisa terguncang karena pasokan pangan dari luar tersendat," tuturnya.
Menurut Khudori, jika yang dikembangkan adalah pangan lokal, kesulitan mobilisasi ini bisa sedikit teratasi. Hal ini sekaligus kritik bagi pemerintah pusat agar tidak memaksakan membuat program pangan yang monolitik ke beras.
Pemerintah mesti memikirkan cara agar terdapat ruang yang memadai supaya pangan lokal kembali eksis dan unjuk gigi. Pada level pemerintah pusat, harus ada political will dan tidak memaksakan program tertentu, termasuk bantuan sosial (bansos) berbasis beras.
Sejauh memungkinkan, kata Khudori, katahanan pangan dan bansos harus berbasis pangan lokal. Langkah ini mesti diikuti upaya mendorong pemda untuk mengisi cadangan pangan dengan pangan lokal.
"Jika sinergi ini terjadi, mestinya ada keyakinan pelan tapi pasti pangan lokal akan kembali eksis. Ini perlu kerja-kerja intens di lapangan, pemberdayaan tiada lelah, dan langkah-langkah berkesinambungan. Bukan program yang sifatnya proyek," kata dia.
Sementara food estate yang saat ini dihadirkan pemerintah di Papua memerlukan waktu yang panjang dan hasilnya belum tentu besar.
"Karena lahan-lahan lokasi food estate itu lahan kelas 2, 3, bahkan kelas 4. Kesuburannya rendah, teknologinya khusus, produktivitasnya tidak setinggi di Jawa," kata dia.
Kemudian yang tak kalah penting, kata Khudori, seberapa siapkah pelaku food estate di lapangan. Jika tidak siap, hampir pasti program tersebut akan gagal.
Meski begitu, dia menilai food estate diperlukan sebagai bagain untuk menambah lahan pangan dan secara gradual mengalihkan basis produksi pangan dari Jawa keluar Pulau Jawa. Sampai sekarang, Jawa masih penghasil aneka komoditas penting dan memiliki andil lebih 50%.
"Perannya belum tergantikan. Sementara di Jawa pembangunan intensif dan semua perlu lahan," ujarnya.
Saat ini, pemerintah telah memiliki Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE) atau Perkebunan Pangan dan Energi Terpadu Merauke (PPETM). Food estate ini merupakan proyek penggunaan area besar untuk industri pertanian kelapa sawit dan tanaman pangan seperti beras di Kabupaten Merauke, Papua, Indonesia.
Food estate di Merauke dalam jangka pendek merambah lahan kawasan hutan Papua seluas 63.000 hektare. Areanya mencakup lahan di lima distrik: Jagebob, Semangga, Tanah Miring, Kurik dan Malind.
Sementara dalam jangka panjang, pemerintah bakal menggarap kawasan baru di tiga kabupaten: Merauke, Mappi dan Boven Digoel.
Pemerintah Cari Solusi Permanen Atasi Kelaparan di Papua
Pemerintah hingga kini masih mencari solusi untuk mengatasi bencana kelaparan berulang di Papua. Menteri Koordinator Bidang Pembangunan Manusia dan Kebudayaan (Menko PMK) Muhadjir Effendy dan Kepala Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) Suharyanto dijadwalkan meninjau lokasi bencana kelaparan Papua Tengah pada Rabu (2/8/2023).
Lawatan itu dilakukan dalam rangka pengananan langsung atas kejadian gagal panen yang berujung pada kelaparan di Papu Tengah. Petaka tersebut mengakibatkan enam orang meninggal dan sekitar 7.500 warga kelaparan.
“Salah satu maksud kunjungan saya ke sana untuk melakukan koordinasi lapangan,” kata Muhadjir saat dihubungi reporter Tirto, Selasa (1/8/2023).
Muhadjir berharap permasalahan kelaparan di daerah tersebut tidak terulang kembali meski terjadi cuaca ekstrem.
“Mencari solusi permanen strategis agar tidak lagi terjadi berulang di masa mendatang,” tegas Muhadjir.
Presiden Joko Widodo telah memerintahkan jajarannya untuk segera menindaklanjuti kelaparan di Papua Tengah. Perintah itu disampaikan kepada Menko PMK Muhadjir Effendy, Menteri sosial (Mensos) Tri Rismaharini, BNPB, hingga pemerintah setempat.
Meski sudah menerjunkan tim dari pemerintah pusat, Jokowi mengatakan ada sejumlah tantangan dalam penyelesaian masalah kelaparan di Papua Tengah. Ia mencontohkan satu distrik yang tidak ada tanaman tumbuh pada saat cuaca dingin.
Selain itu, Jokowi menyampaikan kendala dari sisi keamanan dan medan yang sulit dilalui untuk sampai ke lokasi bencana kelaparan di Papua Tengah.
"Sebab itu saya minta juga tadi tni untuk membantu mengawal. Di sana memang problemnya selalu seperti itu. Medannya yang sangat sulit, pesawat yang mau turun pilotnya enggak berani sehingga problem itu yang terjadi," kata Jokowi di Inlet Sodetan Ciliwung, Jakarta, Senin (31/7/2023).
Jokowi ingin masalah kelaparan di Papua Tengah ditangani secepat-cepatnya. Hal itu guna meminimalisasi jumlah korban jiwa akibat bencana tersebut.
Penulis: Riyan Setiawan
Editor: Gilang Ramadhan