Menuju konten utama

Menanti Kesigapan Pemerintah Membendung Kasus Cacar Monyet

Penularan kasus cacar monyet yang terjadi sudah melalui transmisi lokal. Artinya, ada potensi penambahan kasus setiap hari yang ditemukan.

Menanti Kesigapan Pemerintah Membendung Kasus Cacar Monyet
Ilustrasi Cacar Monyet. foto/Istockphoto

tirto.id - Kasus cacar monyet atau Mpox kian bertambah jumlahnya. Upaya pengendalian semakin diperkuat merespons kemungkinan kasus yang belum terdeteksi. Teranyar, dua kasus ditemukan di luar DKI Jakarta.

Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Ngabila Salama menyampaikan, hingga Jumat (27/10/2023) pukul 07.00 pagi, total kasus positif Mpox di Indonesia mencapai 17 orang. Dengan rincian, satu kasus tahun lalu telah dinyatakan sembuh dan 16 kasus positif yang tengah menjalani isolasi di rumah sakit.

“Semua bergejala ringan, semua tertular dari kontak seksual, dan semua laki-laki usia 25-50 tahun. Dua kasus di antaranya domisili luar DKI Jakarta,” kata Ngabila kepada reporter Tirto, Jumat (27/10/2023).

Ia menambahkan, positivity rate Mpox mencapai 44 persen. Hingga kini, sudah ada 251 orang yang menerima vaksin Mpox dari target 495 orang. Selain itu, ada 11 suspek atau terduga bergejala yang masih dalam pantauan.

Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kementerian Kesehatan, Maxi Rein Rondonuwu menilai, akan banyak penularan Mpox di tahun ini. Penularan kasus yang terjadi, kata Maxi, sudah melalui transmisi lokal. Artinya, ada potensi penambahan kasus setiap hari yang ditemukan.

“Dari hitungan epidemiologi diperkirakan kasus (Mpox) di Indonesia bisa mencapai 3.600 kasus,” kata Maxi dalam konferensi pers, Kamis (26/10/2023).

Kasus Mpox pertama kali dilaporkan pada 20 Agustus 2022 di DKI Jakarta. Kasus pertama tersebut, merupakan import case atau penularan dari luar negeri. Ditemukannya kasus transmisi lokal pertama pada 13 Oktober 2023, memang telah diprediksi sejumlah pakar menjadi awal penyebaran kasus Mpox di Indonesia.

Berdasarkan catatan Kemenkes, mayoritas kasus dilaporkan paling banyak ditemukan pada usia 25-29 tahun (64 persen). Semua kasus yang dilaporkan saat ini berjenis kelamin laki-laki dengan metode penularan melalui kontak seksual.

Maxi menyampaikan, penemuan kasus Mpox di luar DKI Jakarta akan sangat memungkinkan. Potensinya cukup besar menurut dia, dan hanya tinggal menunggu waktu saja.

Kendati demikian, Maxi menyatakan, Kemenkes sudah mengantisipasi penyebaran Mpox melalui edaran kewaspadaan di fasilitas kesehatan seluruh Indonesia. Edaran itu tertuang dalam Surat Edaran Nomor HK.02.02/C/4408/2023 tentang Peningkatan Kewaspadaan terhadap Mpox pada 18 Oktober 2023.

Kemenkes meminta pemerintah daerah, fasilitas pelayanan kesehatan, laboratorium kesehatan masyarakat, kantor kesehatan pelabuhan, dan para pemangku kepentingan terkait agar mewaspadai Mpox.

“Sudah kami kirim. Kami juga koordinasi dengan teman-teman di daerah untuk mensosialisasikan monkeypox ini,” tutur Maxi.

Tata Laksana dan Mitigasi Diperkuat

Wakil Ketua Komisi IX DPR RI dari Fraksi PKS, Kurniasih Mufidayati menyoroti kesigapan pemerintah dalam mitigasi dan tata laksana penanganan Mpox. Pasalnya, ketika Mpox mulai ditemukan di Indonesia tahun lalu, Kurniasih sudah mengingatkan pemerintah untuk dilakukan mitigasi dan pengawasan khusus kepada kelompok paling berisiko.

“Sebelum kasus masuk dan saat kasus pertama terkonfirmasi, saya sudah berulang kali mengingatkan tentang tata laksana dan mitigasi serta pengawasan ke kelompok paling berisiko. Sekarang jumlahnya terus meningkat, maka perlu ada yang dievaluasi apakah tata laksana dan mitigasinya sudah dilakukan?” kata Kurniasih di Jakarta, Jumat (27/10/2023).

Kurniasih menyatakan, Indonesia seharusnya sudah berpengalaman dalam penanganan pandemi COVID-19 lalu. Sehingga penanganan penyakit menular seperti Mpox bisa dilakukan secara lebih terprogram.

Menurut Kemenkes, kelompok risiko utama dari penularan Mpox pada laki-laki yang berhubungan seks dengan sejenis. Kendati demikian, perlu ditegaskan bahwa penyakit ini bisa menular pada siapa saja yang mengalami kontak erat dengan virus Mpox.

Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat, 96,3 persen kasus Mpox merupakan laki-laki dengan usia rata-rata 34 tahun. Jika diklasifikasikan berdasarkan orientasi seksual, sekitar 83,2 persen terjadi pada kelompok laki-laki yang berhubungan seksual dengan laki-laki.

Pemerhati kesehatan cum anggota Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB IDI) Iqbal Mochtar menilai, Indonesia belum memiliki sistem informasi yang adekuat dalam mengantisipasi penyakit-penyakit baru atau jarang terjadi di Tanah Air. Ditambah, kata Iqbal, sistem pelaporan dan surveilans di Indonesia masih cenderung reaktif pada kasus yang telah menyebar saja.

“Tetapi untuk penyakit-penyakit yang sifatnya jarang terjadi atau yang mungkin tidak terlalu prevalent di negeri ini, kita mendapat kesulitan untuk melakukan sistem pelacakan dan surveilans,” ujar Iqbal dihubungi reporter Tirto, Jumat (27/10/2023).

Ia menambahkan, kapasitas pelayanan kesehatan juga belum merata di Indonesia. Belum semua fasilitas kesehatan dan pelayanan di sini mampu mendeteksi kasus-kasus yang membutuhkan pemeriksaaan adekuat.

“Akibatnya ada penyakit yang lolos dan kemudian berkembang di masyarakat,” terang Iqbal.

Stigma Memperlambat Penanganan

Iqbal menyampaikan, stigma pada kelompok tertentu yang berisiko Mpox akan memperlambat penanganan penyakit ini. Terlebih, perilaku kelompok berisiko ini cenderung tertutup karena sudah terlebih dulu mendapatkan stigma dan perlakukan buruk.

“Mereka memiliki keluhan yang bisa mengarah kepada monkey pox, mereka itu enggan untuk melaporkan, karena mereka itu akan distigma. Jadi seolah-olah buruk ya stigma kalau mereka itu ketahuan menderita monkey pox,” ungkap Iqbal.

Hal ini akan membuat proses pelaporan, proses deteksi, proses identifikasi, dan proses surveilans itu terhambat, karena adanya keengganan kelompok-kelompok berisiko untuk melapor jika memiliki keluhan penyakit tertentu.

“Untuk mencegah penyakit ini supaya tidak lebih meluas, saya kira yang pertama perlu dilakukan edukasi masyarakat yang masif. Perlu ada informasi yang terbuka, masif, berkesinambungan, yang ditargetkan kepada semua elemen masyarakat dan informasi ini sebaiknya jangan ditutup-tutupi,” ungkap Iqbal.

Senada, Epidemiolog dari Griffith University Dicky Budiman menyampaikan, dengan stigma yang kuat pada kelompok tertentu, maka akan semakin berisiko kasus-kasus yang tak terungkap. Dari pengalamannya, Mpox bisa ditangani dengan pendekatan penanganan HIV.

Pemerintah bisa menggandeng lembaga swadaya masyarakat yang dekat atau aktif dalam komunitas berisiko sehingga bisa melakukan pelacakan dan surveilans.

“Ini yang harus dijangkau karena mereka tertutup, nah ini yang harus dipakai dan sisanya lagi literasinya juga harus ditingkatkan termasuk di sini adalah peran dari banyak pihak,” ucap Dicky dihubungi reporter Tirto, Jumat (27/10/2023).

Wilayah-wilayah yang biasa ditemukan kasus menular seksual dan HIV bisa menjadi hotspot untuk pelacakan kasus Mpox. Menurut Dicky, ada kemungkinan penemuan kasus Mpox di tempat-tempat tersebut.

“Meskipun sebenarnya relatif kita sudah kebobolan ya sudah sebetulnya. Kalau disebut kita bisa mengendalikan, saya tidak yakin,” tambah Dicky.

Upaya Vaksinasi Digalakkan

Maxi Rein Rondonuwu menyampaikan, pemerintah telah menggalakkan pemberian vaksinasi untuk penanganan Mpox. Sementara ini, ketersediaan vaksin Mpox ada sekitar 1.000 dosis. Menurut catatan Kemenkes, ada 477 individu yang yang akan menjadi sasaran vakasinas. Pemberian vaksin akan diprioritaskan bagi kelompok paling berisiko dan kontak erat.

“Prioritas pertama kelompok LSL (Lelaki Seks Lelaki) dan yang pernah kontak berhubungan seks dua minggu terakhir. Itu jadi sasaran pertama dan sudah dimulai 23 Oktober,” terang Maxi, Kamis (26/10/2023).

Sementara itu, Plt Kepala Dinas Kesehatan DKI Jakarta, Ani Ruspitawati menyampaikan, pihaknya tengah gencar melakukan upaya deteksi, preventif, dan respons cepat untuk mencegah wabah semakin meluas. Upaya ini dilakukan bersinergi dengan Kemenkes.

Sejumlah upaya dilakukan, kata Ani, dimulai dari deteksi dini dengan melihat gejala awal agar bisa segera diobati dan mencegah kematian.

“Tingkat kematian/Case Fatality Rate sekitar 1 persen. Artinya dari 100 kasus positif kemungkinan ada satu yang meninggal. Mayoritas karena infeksi sekunder dan kondisi imunitas rendah pada kelompok berisiko, seperti Lelaki Seks Lelaki (LSL), ibu hamil, ibu menyusui, anak-anak, dan lansia,” kata Ani dalam keterangannya, Jumat (27/10/2023).

Upaya preventif melalui vaksinasi, mulai dilakukan untuk 500 orang kelompok berisiko di Jakarta selama seminggu ke depan. Vaksin diberikan sebanyak dua dosis untuk satu orang dengan jeda empat minggu.

“Jika bergejala, akan dilakukan pemeriksaan lab. Dan setiap kontak erat seksual akan langsung diisolasi dan dilakukan pemeriksaan lab,” ujar Ani.

Baca juga artikel terkait CACAR MONYET atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz