Menuju konten utama

Mewaspadai Cacar Monyet & Antisipasi Wabah di Masa Mendatang

Munculnya kasus cacar monyet di Indonesia harus diwaspadai seluruh pihak agar dapat mengantisipasi lebih baik.

Mewaspadai Cacar Monyet & Antisipasi Wabah di Masa Mendatang
Ilustrasi Cacar Monyet. foto/Istockphoto

tirto.id - Kasus cacar monyet atau Mpox kembali dilaporkan muncul di Indonesia. Pasien yang terkonfirmasi Mpox berjumlah satu orang dan berlokasi di DKI Jakarta. Temuan kasus baru Mpox ini dikonfirmasi pada 13 Oktober 2023.

Kepala Seksi Surveilans Epidemiologi dan Imunisasi Dinas Kesehatan Provinsi DKI Jakarta, Ngabila Salama menyampaikan, pada pasien tersebut ditemukan gejala khas Mpox. Pasien tidak memiliki riwayat perjalanan luar negeri alias diduga tertular lewat transmisi lokal.

“Ditemukan pada pasien yaitu pembesaran kelenjar getah bening di lipat paha,” kata Ngabila dalam keterangannya, Kamis (19/10/2023).

Kasus ini menjadi temuan Mpox kedua di Indonesia. Sebelumnya, kasus Mpox pertama kali dilaporkan pada 20 Agustus 2022 di DKI Jakarta. Kasus pertama tersebut, merupakan import case atau penularan dari luar negeri.

“Pasien mengeluhkan demam dan lenting isi air dan koreng di beberapa bagian tubuh. Dimulai dari kemaluan dan menyebar ke seluruh tubuh,” ujar Ngabila.

Ngabila menjelaskan, pasien sudah mendapat terapi terbaik dari konsultan ahli Mpox yang merupakan spesialis penyakit dalam dan spesialis kulit kelamin di FKUI-RSCM. Surveilans masih dilakukan untuk mengetahui lebih lanjut riwayat kontak erat yang terjadi pada pasien.

Individu yang diduga melakukan kontak erat dengan pasien, tidak perlu melakukan prosedur swab tenggorokan, kulit, anus, dan pemeriksaan darah. Hal ini mengingat belum ada temuan gejala yang timbul.

“Akan tetapi dipantau setiap hari apakah ada gejala. Jika muncul gejala akan dilakukan pemeriksaan laboratorium lebih lanjut,” tambah Ngabila.

Tahun lalu, penyakit Mpox muncul dengan jumlah kasus cukup besar di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Inggris, Spanyol, Jerman, dan sampai di Afrika. Mpox bahkan sempat ditetapkan oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) sebagai penyakit yang menjadi kedaruratan kesehatan global (PHEIC). Status ini akhirnya resmi dicabut pada pertengahan Mei 2023.

Risiko Transmisi Lokal

Epidemiolog dan peneliti kesehatan global Griffith University, Dicky Budiman menyampaikan, temuan kasus Mpox baru ini perlu menjadi alarm kewaspadaan karena penularannya melalui transmisi lokal. Penyebab kasus yang semula impor ini menjadi transmisi lokal karena pada kasus pertama atau yang berikutnya, sudah tidak terdeteksi dan menyebabkan transmisi lokal pada kasus-kasus selanjutnya.

“Kedua, kemungkinannya juga adalah karena kontak tracing yang dilakukan tidak memadai sehingga luput men-tracing kontak kasus yang akhirnya menjadi pemicu penularan berikutnya,” ujar Dicky dihubungi reporter Tirto, Kamis (19/10/2023).

Pada dasarnya, penyakit Mpox tidak terbatas hanya pada satu kelompok tertentu. Kendati demikian, Dicky menjelaskan, karakter penyakit ini lebih rentan terjadi pada kelompok yang cenderung tertutup dan melakukan perilaku berisiko. Seperti pada pasangan pria sesama jenis, kebiasaan berisiko tinggi seperti gonta-ganti pasangan, dan perilaku seks tidak aman.

“Ini yang akhirnya menambah mudahnya transmisi lokal. Dan bahkan bisa saja ini sudah terjadi di kota-kota besar lainnya,” kata Dicky.

Kasus Mpox, kata Dicky, belum memiliki kemungkinan menjadi pandemi, tapi memiliki risiko untuk menyebar lebih luas. Dinas Kesehatan dan Kementerian Kesehatan diminta melakukan kontak tracing yang tuntas dari riwayat pasien.

Dalam Pedoman Pencegahan dan Pengendalian Mpox terbaru dari Kementerian Kesehatan pada Maret 2023 menyatakan, penyakit ini dapat menyebar melalui kontak langsung dari kulit ke kulit atau membran mukosa, termasuk saat berhubungan seks, seperti berciuman, bersentuhan, seks oral, atau penetrasi dengan orang yang terinfeksi.

Masa inkubasi Mpox bisa terjadi 6-13 hari. Namun, ditemukan beberapa kasus dengan masa inkubasi 5-21 hari. Masa infeksi Mpox ada dua fase, meliputi fase akut selama 0-5 hari sejak infeksi dan fase erupsi pada 1-3 hari setelah gejala demam timbul.

Sementara itu, Epidemiolog dari Perhimpunan Ahli Epidemiologi Indonesia (PAEI) Masdalina Pane menilai, Mpox transmisi lokal memberi indikasi adanya transmisi komunitas yang angkanya bisa jadi jauh lebih banyak. Namun, pasien Mpox ini tidak muncul ke permukaan karena melakukan pengobatan mandiri pada gejala-gejala fisik yang timbul. Apalagi, tidak dilakukan polymerase chain reaction (PCR) saat bergejala.

Menurut Masdalina, Mpox bisa sembuh dengan sendirinya jika daya tahan tubuh pasien kuat serta mendapatkan pengobatan yang tepat. “(Namun) Menyebabkan kasus yang tidak menular luas jadi ditutupi,” kata dia dihubungi reporter Tirto, Kamis (19/10/2023).

Masdalina menambahkan, kasus Mpox baru bisa muncul jika tidak dilakukan investigasi wabah (outbreak investigation) yang komprehensif serta lemahnya pemantauan pada kontak-kontak erat.

“Juga containment (isolasi dan karantina) yang tidak tuntas menyebabkan penularan terus berlanjut. Pada kasus yang tidak severe (parah) ini kerap terjadi,” ujar Masdalina.

Ia menyampaikan, masyarakat boleh waspada tetapi tidak perlu khawatir. Penularan Mpox diprediksi Masdalina tidak akan meluas di Indonesia.

Waspada Wabah Patogen di Masa Depan

Epidemiolog Dicky Budiman mengingatkan, munculnya kasus Mpox di Indonesia menjadi wanti-wanti bagi seluruh pihak agar dapat mengantisipasi lebih baik kemunculan potensi penyakit patogen yang belum diketahui atau disebut sebagai ‘disease X’.

Ilmuwan di dunia dan WHO berulang kali mengingatkan negara-negara untuk bersiap dari ancaman penyakit yang sewaktu-waktu bisa menjadi wabah baru.

“Terutama yang ada kaitan juga dengan kesehatan atau penyakit yang ditularkan dari hewan (zoonosis) karena mereka menjadi salah satu yang berpotensi menjadi disease X,” ujar Dicky.

Menurut dia, pemerintah perlu melakukan pengembangan penelitian untuk menghadapi ancaman penyakit baru. Sekaligus, pengembangan vaksin yang harus mulai ditingkatkan.

Dosen Program Studi Kesehatan Masyarakat UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, Narila Mutia Nasir menyatakan, ancaman pandemi di masa depan itu selalu ada. Perubahan iklim, katanya, bisa menjadi salah satu faktor yang menyebabkan virus bermutasi.

“Contoh mutasi yang terjadi terkait perubahan iklim itu adalah SARS-CoV-2 penyebab COVID-19. Kelompoknya coronavirus kan? Ini udah ada, tapi dengan adanya perubahan iklim, panas, dan perubahan pada host, maka dia menjadi lebih mematikan,” ujar Narila dihubungi reporter Tirto, Kamis (19/10/2023).

Selain itu, perubahan iklim membawa konsekuensi ancaman penyakit infeksi yang semakin meluas. Narila menyatakan, misalnya demam berdarah dengue (DBD) yang virusnya makin berkembang akibat kenaikan temperatur imbas perubahan iklim.

“Potensi penyebarannya juga jadi makin besar. Jadi kita perlu menyadari situasi ini,” kata dia.

Masyarakat disarankan perkuat kembali perilaku hidup bersih dan sehat yang mungkin ditinggalkan setelah pandemi COVID. Adapun dari sisi regulasi, Narila berpesan agar pemerintah membangun ketahanan (resilience) sistem kesehatan yang kuat.

Risk communication juga mesti bagus ya. Penekanan promotif preventif dan perhatian terhadap lingkungan itu penting juga,” kata Narila.

Upaya dan Antisipasi Pemerintah

Direktur Surveilans dan Kekarantinaan Kesehatan Kemenkes, Achmad Farchany Tri Adryanto mengkonfirmasi, kasus Mpox baru yang ditemukan merupakan pasien dengan transmisi lokal. Artinya, kata dia, pasien ini tertular di Indonesia.

“Pemantauan kesehatan para kontak erat masih dilakukan, penelusuran (tracing) terhadap kemungkinan adanya kontak erat yang lain juga masih dilakukan,” kata Farchany dihubungi reporter Tirto, Kamis (19/10/2023).

Ia menyampaikan, kondisi pasien saat ini sudah semakin membaik. Kontak erat yang sedang ditelusuri adalah orang-orang yang berhubungan dekat dengan pasien.

Selain itu, Farchany menyampaikan, Kemenkes sudah mempersiapkan langkah mitigasi untuk menghadapi potensi ancaman wabah patogen baru. Terutama penguatan untuk menangani penyakit-penyakit infeksi.

“Kemenkes telah mengembangkan dan melaksanakan surveillance syndrome terhadap kemungkinan potensi munculnya ‘disease X,’ terutama penyakit-penyakit infeksi emerging,” kata dia.

Hal senada diungkapkan Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi. Ia menyatakan, Kemenkes sudah mempersiapkan langkah untuk menghadapi ancaman pandemi baru di masa depan. Nadia menyebut, pihaknya tengah memperkuat surveilans genomik, memperkuat ketahanan obat-obatan, dan ketersediaan alat kesehatan.

Baca juga artikel terkait KASUS CACAR MONYET atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Kesehatan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz