Menuju konten utama

Surplus Beruntun Neraca Dagang Indonesia, Apa Efeknya ke Warga?

Jika dibandingkan data tahun sebelumnya, baik impor dan ekspor mengalami penurunan meskipun tetap bisa menorehkan surplus.

Surplus Beruntun Neraca Dagang Indonesia, Apa Efeknya ke Warga?
Suasana aktivitas bongkar muatan peti kemas di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta Utara, Selasa (15/6/2021). ANTARA FOTO/Asprilla Dwi Adha/foc.

tirto.id - Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat neraca perdagangan Indonesia mengalami surplus sebesar 3,42 miliar dolar AS pada September 2023. Surplus ini terjadi selama 41 bulan beruntun sejak Mei 2020 dan lebih tinggi jika dibandingkan pada bulan sebelumnya hanya sebesar 3,12 miliar dolar AS.

Surplus pada bulan lalu tersebut terjadi karena nilai ekspornya masih lebih dominan dibandingkan impor. Pada September, ekspor Indonesia tercatat mencapai 20,75 miliar dolar AS. Sedangkan nilai impornya hanya 17,34 miliar dolar AS. Sehingga masih terdapat selisih perdagangan sebesar 3,42 miliar dolar AS.

“Jelas ini, kan, surplus memberikan gambaran bahwa ekspor kita lebih besar daripada impor. Kita lebih banyak jualan daripada kita mendapatkan barang dari negara lain, tujuan kita sukses karena surplus ada selisih,” ujar Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Tauhid Ahmad saat dihubungi Tirto, Selasa (17/10/2023).

Meskipun secara tren positif, tapi surplus ini dinilai menjadi sesuatu yang semu. Sebab jika ditelisik lebih jauh, nilai ekspor Indonesia pada September sebesar 20,76 miliar dolar AS mengalami penurunan 5,63 persen secara bulanan dan tahunan 16,17 persen.

Secara bulanan, penyumbang utama penurunan adalah nilai ekspor minyak kelapa sawit, bijih tembaga, serta pakaian dan aksesorisnya (rajutan). Sementara secara tahunan penurunan utamanya disumbang oleh penurunan nilai ekspor minyak kelapa sawit dan batu bara.

Nilai impor juga mengalami penurunan secara bulanan (-8,15 persen) dan tahunan (-12,45 persen) dengan presentasi jauh lebih dalam secara bulanan dibanding penurunan ekspor. Adapun penyumbang utama penurunan nilai impor, baik secara tahunan maupun bulanan adalah turunnya nilai impor bahan baku penolong, utamanya ampas/sisa industri makanan, mesin-mesin/pesawat mekanik, dan mesin/peralatan masak.

“Saya khawatir surplus ini menjadi surplus semu. Karena ekspornya turun, tetapi impornya jauh lebih turun lagi jadi 12,45 persen. Jadi otomatis ini harus diwaspadai penurunan importasinya jauh lebih besar daripada penurunan ekspor walaupun surplus ya. Tapi tadi ini ancaman terutama bagi eksportir,” ujar Tauhid.

"Surplus ini kalau kita bandingkan dengan bulan sama tahun lalu memang terlihat lebih rendah,” kata Amalia dalam konferensi pers rilis BPS.

Dia memperkirakan sampai akhir Desember 2023, tren surplus masih akan terjadi. Akan tetapi, baik ekspor dan impor volumenya akan mengalami penurunan jika dibandingkan secara year on year atau tahunan.

“Artinya kita sama-sama tahu ini terjadi surplus yang semu karena dua-duanya turun. Kalau ini sampai akhir tahun terjadi, yang terjadi adalah sumbangan perdagangan meski positif terhadap perekonomian, tetapi nilainya mengalami penurunan dalam pertumbuhan ekonomi,” kata dia.

Dengan kondisi seperti di atas, dia khawatir target pertumbuhan ekonomi di atas 5 persen pada tahun ini tidak akan tercapai. Karena nilai atau pengaruh neraca perdagangan terhadap Produk Domestik Brutonya tidak maksimal.

“Pertumbuhan ekonomi kita tidak bisa sampai 5 persen kalau modelnya seperti ini. Oke surplus, tapi nilainya nambah tidak? Kalau nilainya turun enggak bisa. Ini, kan, nilainya turun tapi surplus," ujar dia.

Tauhid menekankan perhitungan PDB Indonesia itu secara tahunan bukan bulan ke bulan. Seringkali masyarakat terjebak terhadap capaian atau tren positif yang disampaikan oleh pemerintah.

“Hati-hati kita dijebak, tahu-tahu ini kok surplus mulu, tapi kok ekonominya nyungsep, hati-hati. Itu yang tidak sering dijelaskan oleh pemerintah dan selalu mana positif lebih tinggi itu yang diangkat berubah-berubah cara bacanya gitu," jelas dia.

Direktur Eksekutif Center of Reform on Economic (CORE), Mohammad Faisal melihat bahwa surplus neraca perdagangan pada September 2023 memang menjadi tidak sehat. Karena surplus tersebut tidak bisa dilihat dari permukaan saja, tapi lebih kepada impor dan ekspor sebelumnya.

“Karena kalau kita lihat sebabnya karena ini disebabkan penurunan impor yang lebih tajam daripada ekspor. Sementara ekspor sendiri tidak alami peningkatan, artinya ini tidak sehat. Surplusnya bukan karena disebabkan ekpor, tetapi karena penurunan impor,” kata Faisal kepada Tirto, Selasa (17/10/2023).

Pelaksana Tugas Kepala Badan Pusat Statistik (BPS), Amalia Adininggar Widyasanti mengakui, surplus yang terjadi pada September 2023 sebesar 3,42 miliar ini memang mengalami peningkatan secara angka. Namun, jika dibandingkan data tahun sebelumnya, baik impor dan ekspor, keduanya mengalami penurunan meskipun tetap bisa menorehkan surplus.

“Surplus ini kalau kita bandingkan dengan bulan sama tahun lalu memang terlihat lebih rendah,” kata Amalia dalam konferensi pers rilis BPS, di kantornya, Jakarta, Senin (16/10/2023).

Bagaimana Efek ke Masyarakat dan Ekonomi Indonesia?

Faisal melanjutkan, kalau terjadi penurunan ekspor berdampak kepada masyarakat yang bekerja pada komoditas batu bara dan sawit. Dalam hal ini pendapatan mereka akan berkurang, karena permintaannya kepada dua komoditas itu mengalami penurunan.

“Berkurang dari sisi keuntungannya, kemungkinan juga dari sisi penyerapan tenaga kerjanya. Tenaga kerja tidak masif sebelumnya terutama pada 2022," kata Faisal.

Sebaliknya, dari sisi impor yang perlu dilihat adalah manfaatnya bagi masyarakat. Karena jika dilihat dari data September, penurunan impor itu terjadi pada barang konsumsi yang hampir 22 persen.

“Jadi artinya UMKM yang memproduksi barang serupa. Dari sisi penurunan impor barang konsumsi ini ada keuntungan diperoleh dari situ. Tapi juga perlu diwaspadai ini juga bisa terjadi karena pelemahan demand domestik,” kata dia.

Secara umum, surplus neraca perdagangan sebetulnya memang memberikan dampak dan manfaat bagi masyarakat dan juga ekonomi Indonesia. Tauhid Ahmad menuturkan, bagi para pelaku eksportir dan pekerja hingga masyarakat yang berada di dalam lingkungan tersebut akan mendapatkan dampak positif.

“Kalau [surplus] seperti ini kemungkinan mereka di-PHK akan semakin kecil untuk masyarakat yang menggantungkan industrinya pada perusahaan eksportir juga, saya kira positifnya di situ,” kata Tauhid.

Sebaliknya, jika misalkan terjadi defisit neraca perdagangan, kemudian impor lebih tinggi dari ekspor, para eksportir tentu akan menyesuaikan produksinya. Kalau mereka menurunkan produksinya, kapasitas mesinnya dikurangi, maka akan terjadi efisiensi.

“Biasanya mereka akan merumahkan terutama mereka yang kontrak 3 bulan, setahun mereka tidak diperpanjang. Tapi kalau potensi ekspornya tinggi, saya kira tentu saja masyarakat terutama bekerja itu di lingkungan tersebut ada harapan lebih baik,” kata dia.

Belum lagi, kata Tauhid, manfaat lain dari surplus neraca perdagangan tersebut bisa menciptakan lapangan pekerjaan bagi masyarakat yang tinggal di area industri tersebut. Terutama beberapa perusahaan telah mengalami ekspansi.

“[Lapangan kerja akan terjadi pada] perusahaan eksportir yang tadi menurut saya memang mengalami ekspansi cukup besar," imbuh dia.

Tidak hanya itu, selisih dari perdagangan tersebut juga memengaruhi terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Semakin besar selisihnya, maka semakin besar pula dampaknya terhadap perekonomian.

“Kalau selisihnya banyak pasti akan membuat ekonomi kita semakin bagus. Itu secara makro,” kata Tauhid.

Tauhid menambahkan, “Intinya nanti ketika katakanlah ini fenomena terus berlanjut sampai akhir tahun, menurut saya memang ini akan memberikan efek positif di kuartal III bahwa ekonomi kita bisa lebih baik.”

Direktur Eksekutif Bank Indonesia (BI), Erwin Haryono meyakini, perkembangan surplus ini positif untuk menopang ketahanan eksternal perekonomian Indonesia lebih lanjut. Ke depan, kata dia, BI terus memperkuat sinergi kebijakan dengan pemerintah dan otoritas lain guna terus meningkatkan ketahanan eksternal dan mendukung pemulihan ekonomi nasional.

“BI memandang, perkembangan [surplus] ini positif untuk menopang ketahanan eksternal perekonomian Indonesia lebih lanjut," ujar Erwin dalam keterangannya kepada Tirto, Selasa (17/10/2023).

Baca juga artikel terkait NERACA DAGANG atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz