tirto.id - Kehadiran Kereta Cepat Jakarta-Bandung atau “Whoosh” memberi angin segar bagi Kota Bandung sebagai 'jantung' Provinsi Jawa Barat dan kota tujuan wisata. Transportasi yang diklaim pertama di Asia Tenggara ini diyakini dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi aktivitas perekonomian, baik pada wilayah tempat infrastruktur dibangun maupun wilayah sekitarnya.
Tim Akselerasi, Monitoring, dan Evaluasi Pengembangan Kawasan Ekonomi Khusus (KEK) Kemenparekraf, Taufan Rahmadi mengatakan, kehadiran kereta cepat Jakarta Bandung ini jelas akan mendongkrak wisatawan dari dan ke Kota Bandung. Sebab kekuatan destinasi itu adalah kemudahan aksesibilitasnya.
“Jadi dengan adanya kereta cepat Jakarta Bandung ini mempercepat dan mempermudah aksesibilitas ke Bandung,” kata Taufan kepada reporter Tirto, Jumat (13/10/2023).
Dia optimistis beroperasinya kereta cepat Jakarta-Bandung ini akan semakin menumbuhkan tingkat wisatawan atau kunjungan ke Kota Bandung. Apalagi waktu perjalanan menggunakan kereta cepat ini menjadi yang paling efisien dibandingkan moda transportasi lainnya.
“Jadi ini akan menjadi alternatif transportasi favorit bagi wisatawan ingin berkunjung ke bandung,” kata dia.
Penjabat Wali Kota Bandung, Bambang Tirtoyuliono juga optimistis, dengan dioperasikannya kereta cepat akan mendongkrak perekonomian dan pariwisata di Jawa Barat. Khususnya di beberapa wilayah yang dilalui KCJB, seperti Kabupaten Bandung Barat dan Kota Bandung.
“KCJB akan mampu menggairahkan kembali industri di Kota Bandung. Seperti pariwisata, UMKM dan kuliner. Tentunya kebermanfaatan moda transportasi ini bisa memberikan nilai positif,” ujar Bambang dalam keterangan tertulis.
Sejak dahulu, Bandung masyhur akan kemolekannya. Kota yang dikelilingi pegunungan ini menyimpan berjuta keunikan. Berbagai destinasi wisata menarik, mulai dari wisata kuliner, wisata sejarah, wisata edukasi, wisata belanja hingga tempat rekreasi bisa ditemukan mudah di Kota Kembang ini.
Jika merujuk data Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disparbud) Kota Bandung hingga pertengahan 2023 ini, jumlah kunjungan wisata ke Kota Bandung tercatat sebanyak 2.252.966 wisatawan. Sebelumnya, pada triwulan pertama 2023, jumlah wisatawan yang berkunjung mencapai sekitar 1.422.673 wisatawan.
Sementara jika dilihat dari pertumbuhan ekonominya, Kota Bandung pada 2022 berhasil tumbuh sebesar 5,41 persen dibandingkan dengan 2020. Dari sisi produksi, lapangan usaha penyediaan akomodasi dan makan minum merupakan lapangan usaha dengan laju pertumbuhan tertinggi dalam PDRB Kota Bandung 2022, yaitu sebesar 13,94 persen.
Sedangkan dari sisi pengeluaran, komponen pengeluaran konsumsi rumah tangga merupakan komponen pengeluaran dengan laju pertumbuhan tertinggi dalam PDRB Kota Bandung 2022, yaitu sebesar 5,73 persen. Adapun tahun ini ekonomi Kota Bandung ditargetkan berada di angka 6 persen.
Hasil kajian analisis dilakukan Universitas Indonesia (UI) turut memotret dampak proyek kereta cepat Jakarta - Bandung terhadap perekonomian provinsi Jawa Barat. Proyeksi terhadap produk domestik regional bruto (PDRB) itu dilakukan dengan tiga skenario, yaitu tanpa pembangunan KCJB, pembangunan KCJB tanpa implementasi Transit Oriented Development (TOD), dan pembangunan KCJB dengan implementasi TOD.
Data PDRB diproyeksikan mulai dari 2015 hingga 2048, atau sejak dimulainya konstruksi KCJB hingga 25 tahun beroperasi. Besaran nilai dan dampak ekonomi dari masing-masing skenario tersebut kemudian dibandingkan dan dilakukan analisis.
Pertumbuhan PDRB di masing-masing kabupaten/kota dalam laporan ini diasumsikan secara proporsional menyumbang pertumbuhan PDRB di Provinsi Jawa Barat, proporsi tersebut disesuaikan dengan nilai PDRB lima tahun sebelumnya pada masing-masing wilayah. Perhitungan proyeksi PDRB menggunakan PDRB ADHK artinya proyeksi sampai dengan 2048 belum memperhitungkan kenaikan harga barang dan inflasi yang mungkin terjadi.
Secara umum, di setiap daerah yang dianalisis, nilai PDRB cenderung semakin tinggi setiap tahunnya, meskipun pembangunan KCJB tidak dilaksanakan. Meski demikian, pembangunan KCJB tetap memiliki dampak positif terhadap pertumbuhan PDRB Provinsi Jawa Barat, dan Kabupaten/Kota yang dilewati oleh trase KCJB.
Pertumbuhan PDRB dengan mengoperasikan KCJB 1,05 kali lebih besar di akhir masa proyeksi dibandingkan dengan pertumbuhan PDRB tanpa pembangunan KCJB. Sementara, jika KCJB didukung oleh pembangunan kawasan TOD, pertumbuhan PDRB akan semakin tinggi, yaitu 1,08 kali lebih besar dibandingkan dengan tanpa pembangunan KCJB.
Hasil analisis menunjukan rata-rata pertumbuhan PDRB per tahun, dari 2023 (KCJB mulai beroperasi) hingga 2048 (25 tahun operasional KCJB) jika menggunakan skenario pertama tanpa pembangunan KCJB, Kota Bandung hanya 7,06 persen. Sementara dengan adanya pembangunan KCJB menjadi 7,42 persen per tahun, dan dengan pembangunan KCJB dan TOD bisa tembus 7,61 persen per tahun.
Sementara untuk di Kabupaten Bandung, rata-rata pertumbuhan PDRB per tahun jika menggunakan skenario pertama tanpa pembangunan KCJB, hanya 6,24 persen. Sementara dengan adanya pembangunan KCJB menjadi 6,55 persen per tahun, dan dengan pembangunan KCJB dan TOD bisa tembus 6,73 persen per tahun.
Kemudian untuk Jawa Barat sendiri dengan menggunakan skenario pertama tanpa pembangunan KCJB rerata pertumbuhannya hanya 5,33 persen pertahun. Lalu dengan adanya pembangunan KCJB menjadi 5,59 persen per tahun, dan dengan pembangunan KCJB dan TOD bisa tembus 5,74 persen per tahun.
Berdasarkan analisis proyeksi tersebut, maka dapat dilihat bahwa pembangunan KCJB mampu meningkatkan PDRB Provinsi Jawa Barat secara umum, dan Kabupaten/Kota di sekitar trase KCJB. Implementasi TOD juga dinilai mampu menambah pertumbuhan PDB akibat pembangunan KCJB.
Sebaliknya, peneliti dari Center of Economic and Law Studies (Celios), Muhammad Andri Perdana menilai, beroperasinya Kereta Cepat Jakarta-Bandung justru membawa permasalahan yang sama dengan permasalahan umum kereta cepat di daratan utama Cina. Salah satunya letak stasiunnya yang jauh dari pusat kota.
Jarak ini, menurut dia, membuat dampak pendongkrakan aktivitas ekonomi serta efek substitusi dari pesawat terbang bagi kota tujuan menjadi tidak maksimal. Ini tentu berbanding terbalik dengan stasiun kereta cepat yang benar-benar berada di tengah pusat kota seperti Tokyo.
Namun di Cina sendiri, stasiun kereta cepat, kata dia, rata-rata tidak ada yang lebih jauh dari 10 km dari pusat kota. Misalnya, stasiun kereta cepat di Wuhan yang dianggap masih jauh saja hanya berjarak 6,5 km dari pusat kota.
“Sedangkan di KCJB jarak Stasiun Padalarang mencapai 22 km sampai ke tengah kota Bandung. Ini dampaknya bagi perekonomian Bandung sendiri akan sulit untuk berdampak optimal, apalagi dengan tujuan memberikan dampak substitusi bagi penerbangan pesawat Jakarta–Bandung," ucapnya kepada Tirto, Jumat (13/10/2023).
Padahal, kata Andri, salah satu fungsi utama untuk membangun kereta cepat adalah agar mengurangi penerbangan sehingga bisa bertransisi ke penggunaan energi yang lebih efisien. Begitu pula kalau yang dijanjikan adalah agar daerah di sekitar Padalarang yang menjadi lebih berkembang.
“Sebagaimana kita lihat dengan kasus-kasusnya di proyek lain mengenai pembangunan hub transportasi yang jauh dari pusat ekonomi baik di Cina maupun Indonesia, dampak pengembangan daerah ini nyatanya tidak terlampau signifikan dibandingkan biaya yang telah diinvestasikan,” kata dia.
Dari pembangunan bandar udara di Kulon Progo, DI Yogyakarta misalnya. Mayoritas penumpang dari dan menuju Bandara YIA Kulon Progo langsung menggunakan transportasi penghubung ke pusat kota Yogyakarta seperti KA Bandara ataupun shuttle. Sehingga dampak aktivitas ekonomi bagi masyarakat Kulon Progo secara keseluruhan tidak berjalan maksimal, bahkan setelah mayoritas penumpang pesawat dialihkan dari Adi Sucipto sekalipun.
“Apalagi dengan transportasi Jakarta–Bandung yang saat ini masih banyak memiliki alternatif yang lebih cepat ataupun lebih ekonomis,” kata dia.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz