Menuju konten utama
Pemilu Serentak 2024

Memprediksi Skenario Putusan MK soal Syarat Usia Capres-Cawapres

Ahli hukum tata negara Universitas Andalas, Feri Amsari mewanti-wanti agar MK konsisten dengan tidak mengubah sesuatu yang bersifat open legal policy.

Memprediksi Skenario Putusan MK soal Syarat Usia Capres-Cawapres
Ketua Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi (MK) Anwar Usman (tengah) didampingi Hakim Konstitusi Arief Hidayat (kanan) dan Saldi Isra (kiri) memimpin jalannya sidang Pengujian Materiil Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum di Gedung MK, Jakarta, Selasa (29/8/2023). ANTARA FOTO/Reno Esnir/nym.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menjadi sorotan publik jelang putusan uji materi UU Pemilu terkait syarat usia capres-cawapres yang akan dibacakan pada Senin (16/10/2023). Mahkamah menjadwalkan pembacaan putusan perkara Nomor 29/PUU-XXI/2023 yang diajukan pemohon Dedek Prayudi dengan kuasa hukum Michael pada pukul 10.00 WIB.

Sebab, putusan MK tersebut akan membawa pengaruh pada kontestasi Pilpres 2024 karena akan menentukan peluang pencalonan anak sulung Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka. Nama Gibran kerap disebut sebagai salah satu kandidat potensial cawapres dari Prabowo Subianto yang diusung Koalisi Indonesia Maju.

Akan tetapi, Gibran belum bisa maju meski telah dipinang Prabowo, karena umur Gibran masih di bawah 40 tahun sesuai amanat UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Jika uji materi Nomor 29/PUU-XXI/2023 dikabulkan MK, maka peluang Gibran maju sebagai bakal cawapres tidak lagi berbenturan dengan regulasi.

Sejumlah pegiat hukum tata negara pun ikut berkomentar terkait uji materi ini. Misalnya, ahli hukum tata negara Denny Indrayana yang memplesetkan singkatan MK dari Mahkamah Konstitusi menjadi Mahkamah Keluarga. Ia menduga, MK akan membuat putusan dissenting opinion 5 hakim berbanding 4 hakim.

Denny memprediksi, MK akan membuat dua skenario, yakni benar-benar mengabulkan syarat umur atau menambah norma baru dengan membuka kesempatan calon capres-cawapres di bawah umur 40 tahun bisa ikut selama sudah menjadi kepala daerah.

“Saya menduga putusan bisa saja mengabulkan syarat umur menjadi 35 tahun; atau syarat umur tetap 40 tahun, namun dibuka kesempatan bagi ‘yang telah berpengalaman sebagai kepala daerah,’” kata Denny dalam keterangan tertulis.

Presiden Jokowi menanggapi santai terkait anggapan keluarganya sedang berupaya membangun dinasti politik jika Gibran menjadi bakal cawapres. Jokowi menyerahkan penilaian tersebut kepada masyarakat.

Ia menduga, setidaknya dua hakim akan menjadi dissenting opinion, antara lain Saldi Isra dan Suhartoyo. Kemudian, ada kemungkinan hakim Enny Nurbaningsih dan Arief Hidayat juga akan menjadi bagian dari dissenting opinion tersebut.

Denny juga menekankan bahwa putusan MK akan memengaruhi kontestasi Pilpres 2024 dengan potensi pro dan kontra sama-sama 4 hakim. Ia mengatakan, Ketua MK Anwar Usman akan berpengaruh dalam putusan tersebut, sementara Anwar saat ini adalah ipar Jokowi.

“Maka, yang menjadi penentu putusan menurut Pasal 45 ayat (8) UU MK adalah di mana posisi Ketua MK Anwar Usman, Ipar Presiden Jokowi. Saya memprediksi bahwa Anwar Usman ada pada posisi mengabulkan permohonan, alias memberikan kesempatan kepada Gibran Rakabuming Raka menjadi kontestan (paslon) pada Pilpres 2024,” tutur Denny.

Sementara itu, ahli hukum tata negara dari Universitas Andalas, Feri Amsari mewanti-wanti agar MK konsisten dengan tidak mengubah sesuatu yang bersifat open legal policy. Jika MK berubah, Feri khawatir putusan tersebut diikuti oleh kepentingan tertentu.

“Kalau MK ubah-ubah kasus tertentu, tafsir beda-beda, MK patut dicurigai menafsirkan kepentingan pribadi dan kelompoknya,” kata Feri saat dihubungi reporter Tirto, Jumat (13/10/2023).

Feri juga menekankan bahwa pembuatan keputusan berbeda berpotensi melanggar kekuasaan kehakiman. Ia menilai, tafsir yang bertentangan dengan konstitusi dapat dimaknai bermotif kepentingan pribadi. Oleh karena itu, MK sebaiknya tidak menambah norma baru dan menyerahkan soal norma tersebut kepada DPR dan pemerintah sebagai pembentuk perundang-undangan.

“Bukanlah ruang MK untuk memberikan tafsir, tetapi harus diserahkan kepada pembentuk UU dalam hal ini DPR dan pemerintah,” kata Feri.

Menkopolhukam Mahfud MD yang juga mantan ketua MK meminta publik sebaiknya menunggu putusan resmi MK dibacakan, jangan berspekulasi.

Sedangkan analis politik dari Universitas Jember, M. Iqbal menilai, putusan MK soal batas umur syarat capres-cawapres sudah tidak lagi soal hukum, melainkan juga soal politis. Ia menduga, putusan ini lambat karena tekanan politik yang kuat dan berkaitan dengan pencalonan Gibran. Ia melihat MK berpeluang besar untuk mengabulkan pencalonan putra sulung Jokowi itu.

“Apakah besok MK memutuskan untuk mengabulkan? Sangat mungkin MK mengabulkan itu, karena tekanan politiknya demikian kuat,” kata Iqbal kepada reporter Tirto.

Meski demikian, Iqbal menilai, masih ada peluang permohonan ditolak MK. Akan tetapi, mengacu dari eksposur pemberitaan dan hal lain seperti proses sidang yang mendekati pendaftaran, Iqbal pesimistis permohonan akan ditolak.

Jika dilihat dari sisi politik hukum, Iqbal menilai, ada beberapa potensi hal buruk. Pertama, publik akan melihat MK tidak lagi sebagai benteng konstitusi. Sebab, pembatasan umur adalah open legal policy di mana hal tersebut adalah wewenang pemerintah dan DPR.

Menurut Iqbal, jika MK mengubah umur atau menambahkan norma seperti menambahkan syarat pernah menjabat sebagai kepala daerah boleh maju pilpres, maka MK sudah melanggar konsep open legal policy tersebut.

“Kalau prosesnya adalah sudah melampaui fungsi open legal policy, maka konstitusi kita betul-betul diacak-acak," kata Iqbal.

Kedua, kata Iqbal, MK akan menurunkan citra pemerintahan Jokowi dalam indeks demokrasi. Publik dipaksa menerima pemimpin hasil transaksi elite politik. Hal itu akan dikaitkan dengan aksi cawe-cawe Jokowi.

“Jika Gibran maupun Pak Jokowi sama-sama positif untuk memutuskan menjadi calon wakilnya Pak Prabowo, maka yang kita saksikan adalah satu bentrokan yang luar biasa antara PDIP, Megawati dan Gibran-Jokowi dalam posisi keduanya adalah kader utama partai. Itu jelas sangat tidak menguntungkan buat rakyat sebetulnya,” kata Iqbal.

Respons Mahfud MD dan Jokowi

Menkopolhukam Mahfud MD meminta agar publik tidak mengeluarkan prasangka tertentu dalam putusan MK tentang batas umur capres-cawapres. Mahfud yang juga mantan ketua MK ini menilai, publik sebaiknya menunggu putusan resmi MK dibacakan.

“Jangan-jangan nanti kita meramal, lalu salah lagi kayak dulu. Ya kan? Ada yang meramal gini-gini, ternyata MK-nya enggak apa-apa, lalu salah semua ramalan, padahal rakyat sudah terlalu ribut. Yang ini enggak usah meramal-ramal lah, tapi berharap yang terbaik bagi negara ini, gitu ya,” kata Mahfud MD di Kompleks Istana Kepresidenan, Jakarta Pusat, Kamis (12/10/2023).

Mahfud MD mengingatkan, putusan MK akan dikeluarkan pada Senin 16 Oktober 2023. Ia juga yakin putusan tersebut langsung ditindaklanjuti partai politik. Oleh karena itu, publik sebaiknya menunggu hasil putusan.

Sementara itu, Presiden Jokowi menanggapi santai terkait anggapan keluarganya sedang berupaya membangun dinasti politik jika Gibran Rakabuming menjadi bakal calon wakil presiden. Jokowi juga menyerahkan penilaian tersebut kepada masyarakat.

“Ya, serahkan masyarakat saja,” kata Jokowi usai meninjau panen di Indramayu, Jawa Barat, Jumat (13/10/2023).

Lebih lanjut, Jokowi juga mengaku sudah lama tidak bertemu dengan Gibran. “Beberapa bulan enggak pernah ketemu," tutur Jokowi singkat.

Baca juga artikel terkait PEMILU 2024 atau tulisan lainnya dari Andrian Pratama Taher

tirto.id - Politik
Reporter: Andrian Pratama Taher
Penulis: Andrian Pratama Taher
Editor: Abdul Aziz