tirto.id - Ketua Umum DPP Partai Gerindra, Prabowo Subianto mengunjungi Kantor DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) di Tanah Abang, Jakarta Pusat pada Rabu (2/8/2023). Kunjungan ini mendapat sorotan publik, mengingat posisi PSI di pemilu sebelumnya berada di posisi berseberangan dengan Prabowo.
PSI yang mendapat kunjungan Prabowo tidak lantas memberikan dukungan. Wakil Ketua Dewan Pembina PSI, Grace Natalie menyebut kunjungan itu hanya silaturahmi biasa. Tidak ada maksud untuk arah dukungan politik atau deklarasi capres kepada Prabowo.
Grace menegaskan bahwa PSI masih menunggu arahan Jokowi. Sembari mengingatkan pesan yang selalu disampaikan Jokowi untuk tidak terburu-buru dalam deklarasi capres. Bagi PSI, Jokowi adalah kompas moral dan politik dalam setiap keputusan.
“Ojo kesusu, ibarat cari pasangan hidup kita kenalan dulu, penjajakan dulu,” kata Grace saat dihubungi reporter Tirto pada Jumat (4/8/2023).
Dalam proses penundaan penetapan bakal capres dan cawapres, ada sejumlah aspek yang dipertimbangkan oleh PSI. Grace khawatir bila terlalu cepat deklarasi capres, maka ada ketidakcocokan nantinya di akhir. Salah satunya, capres yang mereka dukung harus mau melanjutkan pembangunan yang telah dicanangkan oleh Jokowi.
“Oleh karenanya PSI akan mendukung calon yang dipercaya oleh Pak Jokowi akan punya komitmen untuk melanjutkan," jelasnya.
Walaupun berulang kali menyebut ada Jokowi di balik penentuan nama capres yang didukung PSI, Grace membantah bahwa partainya tidak mandiri. Dia mengklaim PSI memiliki mekanisme tersendiri dalam memilih capres dan hal itu masih berlaku hingga kini.
“Siapa bilang tidak mandiri? Kami ada mekanisme Kopdarnas juga. Menyerap aspirasi semua pengurus seluruh Indonesia. Tidak mandiri itu kalau tidak punya pilihan, terpaksa dan bergantung orang. Kami ini punya kehendak bebas,” kata Grace.
Salah satu bukti yang ditunjukkan Grace bahwa PSI masih berpegang teguh dengan hasil Kopdarnas internal adalah dukungan kepada Ganjar Pranowo dan Yenny Wahid sebagai pasangan capres dan cawapres. Hal itu masih berjalan sebagai bentuk proses kemandirian yang ditunjukkan PSI terhadap mekanisme internal mereka.
“Itu salah satu proses dan kami terus pantau situasi,” kata eks presenter TV tersebut.
Tidak Hanya PSI, Golkar & PAN juga Menunggu Arahan Jokowi
Bukan hanya PSI yang menanti arahan Jokowi, tapi ada Golkar dan PAN. Dua partai mantan rekan koalisi yang sama-sama menunggu petunjuk Jokowi soal pilihan capres.
Ketua Umum DPP Partai Golkar, Airlangga Hartarto bahkan dengan tegas menyatakan tidak akan memilih Anies Baswedan. Sosok bakal capres dengan citra antitesa Jokowi. “Itu sangat benar," kata Airlangga.
Sebelumnya, DPD Golkar dari seluruh Indonesia sudah membuat kesepakatan untuk menanti arahan Jokowi soal pilihan bakal capres. Salah satunya menanti sinyal Jokowi, apakah dukungan Golkar akan diarahkan ke Prabowo.
Ketua DPD I Partai Golkar Jawa Timur, Sarmuji mengungkapkan, dia mendorong kepada DPP Golkar untuk peka dengan keinginan Jokowi. Apa yang dia inginkan soal capres di Pemilu 2024.
“Istilah orang jawa kita yang harus pandai meraba tanpa menyentuh. Membaca isyarat tanpa diperintah," kata Sarmuji.
Salah satu alasan yang membuat Jokowi menjadi arah politik bagi Golkar adalah tingkat approval rating-nya yang masih tinggi. Sarmuji menyebut hal itu memiliki efek ekor jas bagi Golkar yang disebut sejumlah lembaga survei mengalami penurunan elektabilitas.
“Bukan menunggu restu, tetapi melihat kepuasan terhadap Pak Jokowi menunjukkan kekuatan endorsement Pak Jokowi. Jadi ini bukan persoalan ketergantungan kepada penguasa, tetapi soal bagaimana calon presiden bisa efektif memperoleh dukungan masyarakat,” kata dia.
PAN mengklaim hal yang sama. Keputusan mereka untuk tidak segera mendeklarasikan capres karena ada sejumlah pertimbangan, salah satunya tidak ingin terburu-buru dalam menentukan pilihan. Saat dikonfirmasi apakah hal itu terjadi karena adanya campur tangan Jokowi kepada internal PAN, Wakil Ketua Umum PAN Viva Yoga Mauladi membantahnya.
Viva menjelaskan, Jokowi hanya sebatas rekan diskusi. Memberi masukan tanpa intervensi dan apabila Jokowi melakukan cawe-cawe, Viva Yoga mempertanyakan, mengapa ada dua bakal capres dari internal koalisi pemerintah.
“Sampai saat ini tidak ada intervensi Pak Jokowi ke PAN untuk ikut cawe-cawe. Bahkan presiden menganjurkan agar jangan salah pilih pemimpin. Karena PAN adalah partai koalisi pemerintah maka sesuatu yang baik jika berdiskusi dengan Presiden Jokowi. Partai koalisi pemerintah yang lain pun juga sama,” kata dia.
Approval Rating Tinggi jadi Alasan Partai Menunggu Jokowi
Lembaga Survei Indikator Politik Indonesia mengumumkan hasil survei mereka terkait indeks kepuasan publik terhadap kinerja Jokowi sebagai presiden. Di penghujung masa kerjanya, Jokowi memiliki tingkat kepuasan publik hingga 55 persen di Sumatera Barat. Wilayah yang memiliki jumlah suara pemilih Jokowi terendah di Pemilu 2014 dan 2019.
Peneliti Pusat Riset Politik - Badan Riset dan Inovasi Nasional (PRP-BRIN), Wasisto Raharjo Jati mengamini bahwa angka kepuasan publik Jokowi menjadi salah satu pertimbangan partai politik dalam menentukan capres atau cawapres atas masukan dari Jokowi. Meskipun, setiap partai saat ini sudah memiliki kalkulasi sendiri terhadap pilihan capres terlepas dengan keberadaan Jokowi.
“Terlepas dari ada dan tiada kepastian dari Pak Jokowi, saya pikir sejumlah partai yang tersisa tentu sedang dan telah melakukan kalkulasi politik terhadap peta kompetisi di Pemilu 2024 mendatang," kata Wasisto.
Dia mengingatkan, partai politik memiliki kedaulatan dalam menentukan capres pilihannya. Mengingat mereka dipilih rakyat untuk bisa mengusung capres dan cawapres, sesuai dengan ketentuan ambang batas presidential threshold.
"Idealnya para parpol tersebut perlu bersikap independen dalam nominasi parpol,” kata dia.
Perihal independensi partai, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menambahkan, penentuan capres tidak perlu menunggu masukan atau saran dari pihak eksternal. Termasuk Jokowi, yang saat ini masih tercatat sebagai kader PDIP.
"Secara prinsip partai mesti punya independensi untuk menentukan arah koalisi mereka. Tak harus menunggu pihak eksternal," kata Adi.
Dia masih percaya, dengan situasi politik di Indonesia saat ini, partai politik masih bisa menjaga independensinya. Apabila mereka tidak segera mendeklarasikan capres hanya disebabkan ketiadaan cawapres yang dipilih.
Berkaca dari kasus sejumlah partai seperti Demokrat, PKB dan PAN. Tiga partai yang memiliki nama bakal cawapres untuk diajukan kepada bakal capres yang unggul dalam elektabilitas survei saat ini.
“Problemnya, mayoritas partai masih melihat situasi yang berkembang. Salah satu faktornya soal komposisi cawapres,” kata Adi yang juga dosen UIN Syarif Hidayatullah ini.
Penulis: Irfan Amin
Editor: Abdul Aziz