tirto.id - Sinyal positif DPR RI dan pemerintah yang terkesan menyepakati batas usia capres dan cawapres dari 40 tahun menjadi 35 tahun, menuai sorotan publik. Publik lantas mempertanyakan urgensi menggugat aturan ini ke Mahkamah Konstitusi, apalagi melihat waktunya yang sudah mendekati Pemilu 2024.
Gugatan yang dilayangkan ke Mahkamah Konstitusi itu diajukan oleh tiga kelompok pemohon. Pertama, diajukan oleh Ketua DPP Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dedek Prayudi. Kedua, diajukan oleh Sekretaris Jenderal (Sekjen) Partai Garuda Yohanna Murtika dan Ketua Umum Partai Garuda Ahmad Ridha Sabana sebagai pemohon dan Desmihardi dan M.Malik Ibrohim sebagai kuasa hukum.
Gugatan ketiga, dilayangkan oleh Wali Kota Bukittinggi Erman Safar dan Wakil Bupati Lampung Selatan Pandu Kesuma Dewangsa, dengan kuasa hukum Maulana Bungaran dan Munathsir Mustaman.
Ketentuan yang digugat, yakni Pasal 169 huruf q UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang berbunyi “Persyaratan menjadi calon presiden dan calon wakil presiden, adalah berusia paling rendah 40 (empat puluh) tahun".
Sekretaris Majelis Tinggi Partai Demokrat, Andi Mallarangeng menduga gugatan menurunkan batas umur calon pemimpin bangsa terdiri dari dua golongan. Pertama, bersifat ideologis, yaitu upaya dari orang-orang muda, sebagian dari penyelenggara negara untuk mendapat kesempatan bersaing sebagai calon pemimpin bangsa.
Kedua, kata dia, ada hubungannya dengan upaya melanggengkan kekuasaan penguasa yang sedang berkuasa.
Kecurigaan Andi Mallarangeng ini sama dengan banyak pihak yang menaruh curiga pengajuan uji materiil ini sebagai upaya Wali Kota Surakarta, Gibran Rakabuming Raka maju menjadi cawapres. Nama putra sulung Presiden Joko Widodo itu kerap diisukan akan dijodohkan dengan Ketua Umum Partai Gerindra Prabowo Subianto sebagai cawapres.
"Setelah sebelumnya gagal untuk tiga periode jabatan presiden, gagal memperpanjang jabatan presiden dengan menunda pemilu, gagal kemungkinan presiden dua periode menjadi cawapres, kali ini mencari kemungkinan untuk mengajukan putra presiden, yang berusia kurang dari 40 tahun, sebagai cawapres," kata Andi kepada Tirto, Rabu (2/8/2023).
Andi mengatakan yang kedua ini menjadi masalah, karena upaya ini lebih didorong oleh kepentingan politik jangka pendek kekuasaan. Sementara yang pertama, lanjut dia, berhubungan dengan kepentingan jangka panjang kepemimpinan bangsa untuk bisa menampilkan pemimpin-pemimpin berusia muda.
Andi mempersoalkan uji materi gugatan batas usia cawapres dan capres itu di MK. Sebab, kata dia, tempat untuk menggugat ketentuan batas umur bukanlah di MK, tetapi kepada presiden dan DPR. Ia mengatakan tidak ada urusan konstitusional dalam batasan umur tersebut.
"Mau 40, 35, 30, atau bahkan 45, 50, ini adalah open legal policy. Ini adalah ranahnya presiden dan parlemen," ucap Andi.
Digugat Saat Masih Ada Gugatan Presidential Threshold
Di sisi lain, saat ini MK juga tengah menangani gugatan Partai Buruh ihwal ambang batas pencalonan presiden atau presidential threshold 20 persen. Partai Buruh meminta agar MK menghapus aturan 20 persen itu.
Gugatan Partai Buruh terkait ambang batas pencalonan presiden adalah gugatan ke-31 di MK. Sebab, sebelumnya telah ada 30 pemohon yang menggugat hal serupa. Namun, keputusan MK tetap sama yakni menolak dengan dalih open legal policy atau menjadi kewenangan pembuat undang-undang.
Namun, Partai Buruh optimistis gugatan mereka bakal dikabulkan oleh lembaga yang dipimpin Anwar Usman itu.
Kuasa hukum Partai Buruh Feri Amsari mengaku telah menemukan celah bahwa seharusnya MK mengadili perkara dengan menganggap sebagai ranah pembentuk kebijakan (open legal policy). Namun, MK dianggap berani mengubah pandangan dalam menafsirkan pasal open legal policy, dengan mengacu pada putusan memperpanjang masa jabatan pimpinan KPK, Mei 2023 lalu.
"Begitu Partai Buruh menemukan jalan untuk berjuang mengajukan permohonan, mahkamah terpeleset keluar keputusan soal masa jabatan KPK yang sifatnya open legal policy yang mana harusnya ditolak untuk ditafsirkan, tetapi untuk masa perpanjangan masa jabatan KPK, MK melakukan tafsir," kata Feri.
Feri menyebut tidak ada kata-kata rentang pembatasan pencalonan presiden di undang-undang manapun, termasuk di UUD 1945. Yang ada, menurut Feri adalah ambang batas kemenangan calon presiden menjadi presiden. Hal itu, kata Feri diatur dalam Pasal 6 A Ayat 2 UUD 1945 yang berbunyi kemenangan seseorang menjadi presiden kalau memperoleh suara 50 persen lebih.
Feri menilai partai-partai politik yang membuat UU Pemilu dianggap salah memahami maksud dari presidential threshold seharusnya ambang batas kemenangan presiden menjadi ambang batas pencalonan presiden.
"Itu namanya ambang batas kemenangan presiden alias presidential threshold," jelas Feri.
Apalagi, dalam Pasal 6 A Ayat 2 UUD 1945 berbunyi calon presiden dan atau calon wapres diusulkan oleh partai dan gabungan parpol sebelum pemilu. Artinya, kata dia, partai apapun atau gabungan partai apapun berhak mengajukan calon dan wakil presiden sebelum pemilu.
Ia lantas menyinggung Pasal 222 UU Nomor 7 tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal ini berbunyi calon presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai atau gabungan partai politik yang memiliki suara 20 persen di DPR RI atau 25 persen suara sah nasional pada pemilu sebelumnya.
"Artinya ketentuan Pasal 222 menentang Pasal 6 A Ayat 2 UUD 1945. Apakah Mahkamah Konstitusi yang terdiri dari sembilan negarawan tidak memahami ini," ucap Feri.
Ia mengatakan sebanyak 30 perkara yang diajukan ke MK, selalu gugur. MK kerap menanyakan kedudukan hukum pemohon yang mengajukan. MK juga, lanjut dia, kerap menghindar. Seperti saat Partai Keadilan Sejahtera (PKS) juga menggugat aturan ini ke MK. Dalam pokok permohonannya, PKS meminta angka ambang batas pencalonan presiden diturunkan dari 20 persen menjadi tujuh hingga sembilan persen.
Namun, PKS oleh MK dianggap sebagai bagian dari pembuat undang-undang aturan presidential threshold. Putusan MK juga tetap pada pendiriannya bahwa hal tersebut merupakan kebijakan politik yang terbuka, yaitu DPR dan presiden bisa menentukan lebih lanjut mengenai besaran angka ambang batas.
"Mahkamah berupaya menghindar, mengeluarkan silatnya menjauhi pertarungan dengan bergaya-gaya menghindar. Apa gayanya kata mahkamah kalau ada partai yang mau menguji tidak terpenuhi karena partai itu terlibat membuat UU. Jadi, harus menggunakan mekanisme di DPR atau partai itu belum terdaftar sebelumnya menjadi partai peserta pemilu," kata Feri.
Belum Penting Menurunkan Batas Usia Capres & Cawapres
Mantan Ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan, masalah penurunan ambang batas pencalonan presiden jauh lebih penting karena menyangkut kepentingan yang lebih luas dibandingkan gugatan batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun.
Selain itu, kata dia, ambang batas pencalonan presiden penting diturunkan karena menyangkut hak-hak warga negara yang sangat terbatas hanya melalui mekanisme satu dan dua parpol yang memenuhi ambang batas.
Sementara partai yang tidak memenuhi ambang batas didikte dan ikut arahan partai yang memenuhi ambang batas itu. Ihwal masalah usia itu, kata dia,bukan masalah bangsa dan negara saat ini.
"Karena dengan batas usia yang sekarang pun kita tidak kekurangan calon-calon presiden yang terbaik," kata Hamdan dalam pesan singkat kepada reporter Tirto, Kamis (3/8/2023).
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Khoirunnisa Agustyati menilai gugatan batas usia capres dan cawapres menjadi 35 tahun kental muatan politis. Apalagi dua bulan lagi sudah memasuki tahapan pendaftaran capres dan cawapres di Komisi Pemilihan Umum (KPU).
"Kalau menurut saya terkait soal syarat usia adalah kewenangannya pembentuk UU Pemilu (DPR dan pemerintah), bukan isu yang konstitusional," kata Khoirunnisa.
Oleh sebab itu, lanjut Khoirunnisa, sebaiknya persoalan ini dibahas oleh pemerintah dan DPR saat merevisi UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Keterangan DPR dan Pemerintah yang mengatakan tidak masalah dengan mengubah usia ini juga dinilai agak aneh. Pasalnya, DPR dan pemerintah memutuskan untuk tidak mengubah UU Pemilu pada awal 2021 yang lalu.
Ia mengatakan penurunan ambang batas pencalonan ini jauh lebih penting dibandingkan penurunan batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden menjadi 35 tahun. Menurut dia, itu merupakan persoalan konstitusional.
"Kalau menurut saya ini tidak relevan dengan penyelenggaraan pemilu serentak, karena pilpres dan pileg digabung dalam satu hari yang sama," tegas Khoirunnisa.
Pengajar hukum pemilu di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, Titi Anggraini menilai semestinya syarat usia calon presiden dan calon wakil presiden disetarakan dengan syarat usia calon anggota DPR, DPD, dan DPRD. Sebab, sama-sama merupakan posisi atau jabatan yang dipilih oleh publik.
"Saat ini persyaratan usia caleg berdasar UU Pemilu adalah paling rendah 21 tahun," kata Titi kepada Tirto, Kamis (3/8/2023).
Titi juga berpendapat mengajukan permohonan ke MK untuk menentukan konstitusionalitas batas minimal usia capres dan cawapres adalah tidak tepat. Sebab, berdasar Pasal 6 Ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 disebutkan bahwa syarat-syarat untuk menjadi presiden dan wakil presiden diatur lebih lanjut dengan undang-undang.
Dengan demikian, syarat usia merupakan kebijakan hukum atau legal policy yang menjadi kewenangan pembentuk undang-undang. Karena itu, pembentuk undang-undang lah yang mengatur pilihan syarat usia minimal untuk pencalonan presiden dan wakil presiden. MK, kata Titi perlu mengingatkan pembentuk undang-undang agar mengatur persyaratan usia secara akuntabel, rasional, dan dengan partisipasi masyarakat secara bermakna.
"Bukan ranah MK untuk memutuskan. Bila MK masuk ke ranah ini, maka sangat tidak konsisten dengan putusan MK terdahulu soal sistem pemilu yang menempatkan pilihan sistem sebagai kebijakan hukum pembentuk undang-undang," ucap Titi.
Kental Muatan Politis
Pakar hukum tata negara, Bivitri Susanti memandang gugatan batas usia pencalonan capres dan cawapres sangat politis. Menurutnya, jika memang niatnya murni untuk memajukan bangsa ini dengan memajukan generasi muda, kenapa DPR tidak mau merevisi undang-undang yang memang akan memakan waktu lama.
"Bisa dua tahun ke depan, bisa juga sekarang juga, tetapi kalau tujuan mulia silakan mulai [dari sekarang]. Kenapa harus lewat MK," ucap Bivitri kepada reporter Tirto, Kamis (3/8/2023).
Bivitri menilai jalan pintas melalui MK ditempuh oleh penggugat karena mereka yakin prosesnya jauh lebih cepat dan bisa dikontrol lewat sembilan orang hakim konstitusi, ketimbang melalui sembilan fraksi di DPR.
Bivitri mengingatkan bahwa MK bukan merupakan forum yang lazim untuk menurunkan batas usia pencalonan presiden dan wakil presiden. Ia menduga gugatan ini kental muatan politis karena salah satu pemohon adalah PSI, yang sangat dekat dengan Jokowi dan keluarganya.
"Mulai dari menyokong Kaesang di Depok, bikin Jokowisme, kemudian juga sudah ada beberapa pembicaraan kemungkinan soal mencalonkan Gibran yang usianya memang belum mencapai 40 tahun. Jadi, saya menggunakan ini salah satu indikasi juga," kata Bivitri.
Bivitri masih meyakini MK melihat soal umur bukan perkara konstitusional, meski Ketua MK Anwar Usman saat ini bagian dari keluarga besar Jokowi. Bivitri berharap MK membiarkan alias menolak gugatan tersebut dan menganggap hal itu sebagai sebuah pilihan politik dari pembentuk UU.
"Mereka menggunakan istilah open legal policy atau kebijakan hukum terbuka," tegasnya.
Penulis: Fransiskus Adryanto Pratama
Editor: Bayu Septianto