Menuju konten utama

MK Tolak Gugatan Pembatasan Masa Jabatan Ketum Parpol 10 Tahun

MK berkesimpulan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan gugatan pembatasan masa jabatan ketum parpol.

MK Tolak Gugatan Pembatasan Masa Jabatan Ketum Parpol 10 Tahun
Petugas keamanan berjalan di halaman Gedung Mahkamah Konstitusi (MK), Jakarta, Senin (3/10/2022). ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja/rwa.

tirto.id - Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan pengujian Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik (UU Parpol) terkait masa jabatan ketua umum partai politik (parpol) dibatasi menjadi sepuluh tahun atau dua periode.

“Amar putusan: mengadili, menyatakan permohonan para Pemohon tidak dapat diterima,” kata Ketua Majelis Hakim MK Anwar Usman ketika membacakan putusan di gedung MK RI, Senin (31/7/2023) dilansir dari Antara.

Gugatan dengan pokok perkara Nomor 69/PUU-XXI/2023 itu diajukan oleh warga Nias Utara bernama Eliadi Hulu, warga Yogyakarta Saiful Salim, Andreas Laurencius yang mengklaim sebagai pengurus DPP Partai Golkar, dan Daniel Heri Pasaribu selaku anggota Partai Nasdem.

Dalam petitumnya, para pemohon memohon agar MK menyatakan Pasal 23 ayat (1) UU 2/2011 bertentangan dengan UU Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Para pemohon meminta penggantian kepengurusan partai politik di setiap tingkatan dilakukan sesuai AD dan ART. Khusus ketua umum, AD dan ART wajib mengatur masa jabatan lima tahun dan hanya dapat diperpanjang satu kali dalam jabatan yang sama.

Dalam sidang pembacaan putusan, Mahkamah berkesimpulan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum (legal standing) untuk mengajukan permohonan a quo dan permohonan selebihnya tidak dipertimbangkan lebih lanjut.

Hakim Konstitusi Guntur Hamzah mengatakan Eliadi dan Saiful selaku Pemohon I dan Pemohon II merupakan perorangan warga negara Indonesia, tetapi bukan anggota organisasi parpol.

Atas dasar itu, hakim konstitusi menilai Eliadi dan Saiful tidak memiliki kualifikasi yang berkaitan dengan ihwal anggapan potensi kerugian hak konstitusional yang muncul dengan berlakunya pasal yang digugat.

“Bahkan, sekiranya kualifikasi pemohon I dan pemohon II ditemukan langkah-langkah konkret untuk menjadi anggota parpol, quod non, hal ini belum cukup juga menggambarkan adanya keterpenuhan syarat kualifikasi tersebut,” ucap Guntur.

Sementara itu, Andreas selaku pemohon III tidak dapat menunjukkan kartu tanda anggota (KTA) Partai Golkar. MK hanya menemukan bukti berupa fotokopi Surat Keputusan DPP Partai Golkar tentang Pengesahan Komposisi dan Personalia Badan Penanggulangan Bencana DPP Partai Golkar Masa Bakti 2019-2024.

Surat keputusan itu, kata hakim, tidak cukup untuk membuktikan bahwa Andreas adalah anggota maupun pengurus Partai Golkar. Dengan demikian, hakim MK tidak mendapatkan keyakinan bahwa Andreas adalah anggota atau pengurus parpol.

“Terlebih lagi, nama yang tercantum dalam SK dimaksud berbeda dengan nama yang dicantumkan Pemohon dalam permohonan a quo dan KTP Pemohon III,” jelas Guntur.

Lebih lanjut, Daniel selaku pemohon IV memenuhi kualifikasi sebagai anggota parpol yang dibuktikan dengan kepemilikan KTA Partai Nasdem. Namun, ia tidak dapat menyertakan bukti sebagai pengurus Partai Nasdem.

Selain itu, kata Guntur, Daniel tidak pernah menggunakan haknya untuk menyalurkan aspirasi kepada parpolnya, berkenaan keinginan melakukan pembatasan periodisasi dan masa jabatan ketum parpol saat musyawarah nasional.

“Menimbang bahwa berdasarkan seluruh uraian di atas, telah ternyata Pemohon I, Pemohon II, Pemohon III, dan Pemohon IV (selanjutnya disebut para Pemohon) tidak memiliki kedudukan hukum untuk mengajukan permohonan a quo,” kata Guntur.

Satu hakim konstitusi, yaitu Arief Hidayat memiliki alasan berbeda (concurring opinion). Secara umum, Arief sependapat dengan mayoritas hakim yang menyatakan para pemohon tidak memiliki kedudukan hukum dalam mengajukan permohonan a quo. Namun, seandainya para pemohon memiliki kedudukan hukum, kedaulatan suatu parpol ada di tangan parpol itu sendiri.

“Seandainya para pemohon memiliki kedudukan hukum (legal standing), quod non, pokok permohonan tidak beralasan menurut hukum, sehingga norma a quo tetap konstitusional,” ucap Hakim Ketua Anwar Usman.

Baca juga artikel terkait PEMBATASAN KETUA UMUM

tirto.id - Politik
Sumber: Antara
Editor: Bayu Septianto