Menuju konten utama
Sektor Pertanian

Solusi Pupuk Subsidi Lewat KTP: Cara Lama & Rawan Penyimpangan

Ombudsman sebut solusi penyaluran pupuk subsidi saat ini adalah masalah pendataan. Sebab, skema apa pun akan sia-sia bila pendataan tidak diperbaiki.

Solusi Pupuk Subsidi Lewat KTP: Cara Lama & Rawan Penyimpangan
Petani menabur pupuk saat musim tanam kentang di lahan pertanian di Cimenyan, Kabupaten Bandung, Jawa Barat, Selasa (11/10/2022). ANTARA FOTO/Raisan Al Farisi/wsj.

tirto.id - Kementerian Pertanian (Kementan) tengah menggodok skema baru untuk mempermudah petani agar bisa mendapatkan pupuk subsidi hanya dengan menggunakan Kartu Tanda Penduduk (KTP). Langkah ini diklaim menjadi solusi. Mengingat penggunaan kartu tani selama ini dianggap kurang efektif karena banyak petani yang tidak bisa menggunakannya.

Menteri Pertanian Andi Amran Sulaiman mengatakan, persoalan pupuk menjadi salah satu perhatian serius di kementeriannya. Selama seminggu terakhir setelah dipelajari di lapangan, ternyata banyak petani yang tinggal di pegunungan atau pedalaman, kartu taninya tidak bisa digunakan.

“Semoga dalam satu atau dua hari ke depan, kami bisa keluarkan peraturan bahwa hanya dengan KTP, petani bisa mengakses pupuk subsidi,” kata Amran dalam keterangan tertulisnya, Jumat (3/11/2023).

Amran mengungkapkan bahwa untuk mewujudkan swasembada pangan membutuhkan kebijakan yang tepat. Bila penanganannya salah, maka akibatnya akan fatal.

“Pertanian kita tidak akan maju bila kita menggunakan cara-cara yang tidak biasa. Maka banyak peraturan yang harus kita bongkar agar semua (pelaku pertanian) bisa bergerak lebih cepat,” tutur Amran.

Ketua Pusat Perbenihan Serikat Petani Indonesia (SPI) Kusnan menilai, apa yang ditawarkan Kementan bukan hal baru. Karena faktanya sampai hari ini petani masih banyak tebus pupuk subsidi menggunakan KTP.

Merujuk keputusan Direktur Jenderal Prasarana dan Sarana Pertanian Nomor 45.11/KPTS/RC.210/B/11/2022 tentang petunjuk teknis Pengelolaan Pupuk Bersubsidi Tahun Anggaran 2023 [PDF] memperbolehkan penebusan pupuk dengan menggunakan KTP. Ini bisa dilakukan apabila kartu tani belum tersedia di suatu wilayah.

Penebusan dapat dilakukan dengan menggunakan KTP melalui mekanisme aplikasi T-Pubers. Petani nantinya menunjukkan KTP untuk difoto open camera atau difotokopi oleh kios dan dicatat transaksi penebusannya (nama, NIK, jenis dan jumlah pupuk, tanggal penebusan, serta tanda tangan).

Setelah itu, kios/pengecer menginput transaksi penebusan ke dalam aplikasi T-Pubers, penebusan melalui aplikasi Rekan (pada wilayah piloting), petani menunjukkan KTP untuk dipindai NIK-nya guna mengakses data petani di e-Alokasi.

Selanjutnya kios/pengecer menginput jumlah transaksi penebusan, petani menandatangani bukti transaksi pada aplikasi. Kemudian KTP difoto menggunakan aplikasi yang sudah dilengkapi geotagging dan timestamp. Lalu bukti transaksi tersimpan secara digital untuk sewaktu-waktu dapat dicetak sesuai keperluan.

“Sampai sekarang petani nebus pupuk masih pakai KTP, dan kartu tani selama ini belum juga digunakan, sampai banyak yang sudah masa berlakunya habis," kata dia kepada Tirto, Jumat (3/11/2023).

Menurut Kusnan, apa yang ditawarkan oleh Kementan tidak akan menyelesaikan masalah jika sistem subsidinya tidak diubah dari input menjadi output. Jika sistem ini dibiarkan terus menerus, maka banyak kebocoran terjadi.

“Dan masalahnya sekarang bukan petani kesulitan menebus pupuk, akan tetapi pupuk di kiosnya yang tidak ada. Tetapi di kios-kios yang tidak resmi banyak stok pupuk subsidi yang harganya dua kali lipat," ujar dia.

Rawan Penyalahgunaan Penggunaan KTP

Sekretaris Jenderal Aliansi Petani Indonesia (API) M Nuruddin mengatakan, solusi yang ditawarkan Kementan dengan menggunakan KTP untuk mendapatkan subsidi menjadi langkah yang keliru. Sebab dia khawatir, kebijakan ini justru dapat disalahgunakan apalagi di tengah kondisi tahun politik.

“Kalau ini KTP, di situasi politik saat ini takutnya itu disalahgunakan. Kita tahu pada posisi politis saat ini. Petani ini musim tanam pertama menjelang musim pencoblosan, gimana ya kita mengamati itu,” ujar dia saat dihubungi Tirto, Jumat (3/11/2023).

Belum lagi, kata Nuruddin, masalah pengawasan di lapangannya nanti bakal seperti apa. Karena dengan penggunaan KTP setiap orang bisa saja mendapatkan akses pupuk subsidi, sehingga celah terjadinya kebocoran semakin terbuka lebar.

“Kalau KTP, saya tidak yakin pasti akan terjadi penyimpangan karena semua orang bisa akses semua orang bisa mengklaim,” ucap dia.

Dia mengatakan, daripada Kementan membuat skema baru lebih baik menyempurnakan apa yang sudah ada seperti kartu tani. Karena kartu tani yang berjalan saat ini sudah efektif, hanya saja perlu banyak perbaikan.

“Kartu tani diefektifkan saja. Itu sebetulnya lebih efektif,” saran dia.

Dia melihat permasalahan kartu tani saat ini karena kemampuan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) masih terbatas, tidak sanggup membiayai operasional untuk sosialisasi dan distribusi pupuk subsidi. Sehingga para petani masih kesulitan dan tidak bisa akses pupuk subsidi.

“Di Lamongan itu kartu tani mau didistribusikan sekitar 350 ribu, tapi baru 1 tahun kemampuan dinas distribusikan 75.000, katanya tidak ada biaya operasional sehingga para petani itu tidak bisa akses pupuk subsidi,” kata Nuruddin.

Anggota Ombudsman RI Yeka Hendra Fatika mengamini, bahwa persoalan kartu tani harus segera dievaluasi karena tidak efektif. Pemaksaan penggunaan kartu tani, dinilai justru menyebabkan penyerapan pupuk rendah dan munculnya penyelewengan penggunaan pupuk.

“Kenapa kartu tani bermasalah? Pertama, infrastruktur digitalnya sangat jelek,” ujar dia saat dihubungi Tirto, Jumat (3/11/2023).

Kedua, kata dia, kartu tani itu bagaimanapun memiliki pin untuk mengaksesnya. Sementara petani menggunakan kartu tani tidak setiap kali, setahun paling hanya tiga kali. Dengan begitu, banyak kartu tani tidak aktif dan tidak bisa digunakan oleh mereka.

“Intinya kartu tani itu produk yang tidak cocok bagi petani dengan literasi digital yang sangat rendah,” imbuh dia.

Sistem Pendataan Menjadi Solusi

Menurut Yeka, salah satu kuncinya saat ini adalah masalah pendataan. Karena mau diubah dengan skema apa pun, baik dengan KTP, kartu lainnya, hingga dibagikan, jika pendataan tidak maksimal akan sia-sia. Jangan sampai nanti penyalurannya justru tidak tepat sasaran dan terjadi penyelewengan.

“Maka yang harus segera dituntaskan pemerintah dalam hal ini Kementan adalah pendataannya. Jadi pendataan penerima pupuk subsidi mesti clear and clear dulu. Sistemnya dan kelembagaan,” kata dia.

Yeka menekankan, mesti ada yang bertanggungjawab dan sanksi tegas diberikan dalam mekanisme pendataan. Karena ini menyangkut masalah penyaluran barang subsidi. Kalau Kementan tidak bisa bangun sistem ini, apa pun sistemnya maka akan bermasalah.

“Jadi saya mau mengingatkan dulu bangun sistem pendataan sampai siapa yang bertanggungjawab siapa diberikan sanksi,” ujar dia.

Yeka mengklaim pada 2021 sempat memberikan masukan kepada pemerintah dalam hal penyaluran pupuk subsidi. Agar tidak ada permainan pendataan penerima pupuk subsidi itu harus dimusyawarahkan di tingkat desa, disaksikan oleh aparat penegak hukum, buat pakta integritas dan ditandatangani oleh seluruh kepala desa dan penegak hukum.

“Tapi kalau data itu salah berarti penegak hukum di situ bertanggungjawab, kepala desa dan lain-lain itu kunci. Tapi mereka tidak mau pakai itu dianggap ribet. Pemilu saja pendataan pemutakhiran sampai triliunan dananya, kita perlu pemutakhiran data penerima pupuk bersubsidi caranya tadi,” ujar dia.

Lalu, pertanyaannya siapa yang harus didata dalam hal ini? Yeka menyebut dalam pendataan ini langkah kedua yang wajib pemerintah lakukan adalah memformulasikan tujuan pupuk bersubsidi ini untuk apa. Kalau itu tidak bisa diformulasikan, maka akhirnya akan muncul kecemburuan sosial kepada para petani karena ada yang tidak mendapatkan pupuk subsidi.

“Berarti harus ada kriteria, kriteria ini lahir dari tujuan pupuk bersubsidi. Untuk apa? Kalau tujuan ini sudah jelas, baru masuk kepada sistem penyalurannya,” sebut dia.

Dalam hasil kajian pada awal 2023, Ombudsman mendorong perlunya reformasi kebijakan pupuk nasional secara fundamental. Pertama, perlu perbaikan kriteria petani penerima pupuk bersubsidi dengan beberapa opsi misalnya pupuk bersubsidi alokasinya diberikan 100 persen kepada petani tanaman pangan dan hortikultura sesuai kebutuhan lahannya dengan luas lahan garapan di bawah 0,1 hektar.

Kedua, akurasi pendataan petani penerima pupuk bersubsidi. Caranya adalah dengan melakukan pendataan penerima pupuk subsidi dilakukan setiap lima tahun sekali dengan evaluasi setiap tahun. Selain itu, dapat dilaksanakan penyusunan mekanisme pelibatan aparatur desa dalam pendataan, verifikasi dan validasi rencana definitif kebutuhan kelompok (RDKK) Pupuk Bersubsidi. Ketiga, mengevaluasi mekanisme subsidi di semua tahapan.

Berdasarkan hal itu, sangat penting untuk dilakukan penataan, termasuk melakukan digitalisasi, sosialisasi/komunikasi antara Kementan, Pupuk Indonesia, Himbara dan kios/petani calon penerima pupuk subsidi.

Tujuannya, selain untuk memastikan pembangunan ekonomi di sektor pertanian yang lebih inovatif dan adaptif terhadap kemajuan teknologi, sehingga penyaluran pupuk subsidi tepat sasaran sesuai ketentuan, serta mampu meningkatkan kesejahteraan petani penerima subsidi, juga membangun tata kelola pupuk secara prudent.

Bagaimanapun, kebijakan subsidi pupuk ini merupakan bentuk kehadiran pemerintah dalam membantu petani, di mana pupuk merupakan salah satu komponen biaya dalam usaha tani. Di sisi lain, diperlukan optimalisasi penyaluran pupuk bersubsidi yang memang didesain untuk membantu petani agar tetap mampu memiliki akses terhadap pupuk yang terjangkau.

Karena itu, sangat penting untuk mengoptimalkan penyaluran pupuk bersubsidi kepada petani, agar mampu mendorong optimalisasi hasil pertanian, menjaga ketahanan pangan, dan meningkatkan kesejahteraan petani Indonesia. Langkah dan kebijakan ini juga diambil agar produk hasil pertanian Indonesia terutama yang memiliki kontribusi terhadap inflasi bisa terus terjaga.

Baca juga artikel terkait PUPUK SUBSIDI atau tulisan lainnya dari Dwi Aditya Putra

tirto.id - Ekonomi
Reporter: Dwi Aditya Putra
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz