tirto.id - “Saya harapkan uang anggaran yang sudah masuk ke desa itu betul-betul jadi sesuatu untuk desa.”
Tidak ada habisnya, Presiden Joko Widodo (Jokowi) berkali-kali mengingatkan agar aparatur desa berhati-hati dalam mengelola dana desa. Penggunaan dana desa harus sesuai peruntukannya yakni membiayai pembangunan dan pemberdayaan masyarakat.
Setiap tahunnya, pemerintah memang rutin menggulirkan dana desa sebagai salah satu upaya desentralisasi fiskal. Sejak periode 2015-2024 total anggaran dana desa telah disalurkan mencapai Rp609 triliun. Maka, wajar jika Jokowi meminta pengelolaan dana desa dapat berjalan baik mengingat dananya sangat jumbo.
Stimulus dana itu, umumnya memberi sejumlah dampak positif bagi ekonomi desa. Mulai dari pembangun berbagai infrastruktur di desa, seperti jalan desa; embung; irigasi; jembatan; pasar desa; fasilitas air bersih; drainase; sumur; serta sejumlah infrastruktur lainnya.
Namun, di balik kontribusi positif dana desa, juga terdapat ekses negatif yang tidak bisa dilepaskan terhadap program ini. Salah satunya adalah perilaku korupsi dari aparat desa. Jika dulu, korupsi hanya terpusat di kota-kota besar, kini perilaku negatif tersebut sudah terdesentralisasi hingga ke desa.
“Nah, inilah ekses negatif yang menjadi keprihatinan kita semua,” ujar Direktur Dana Desa, Insentif, Otonomi Khusus, dan Keistimewaan, Jaka Sucipta, dalam acara pembekalan press tour Kemenkeu, di Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta, Rabu (1/5/2024) malam.
Contoh lainnya adalah masalah pengadaan barang seperti membeli ambulans. Memang tujuan awalnya baik, yakni mempercepat pelayanan kegawatdaruratan masalah kesehatan, bencana, serta kesiapsiagaan mengatasi masalah kesehatan terjadi di desa.
Akan tetapi, di belakang tujuan pembelian tersebut tidak sedikit juga didasari pada cawe-cawe dari rekanan pejabat desa terkait. Sehingga seringkali mereka mendapat keuntungan dari pengadaan ambulans tersebut.
“Itu ekses-ekses negatif bagaimana kemudian perilaku korupsi ini. Kalau coba teman-teman baca laporannya Indonesia Corruption Watch (ICW) gitu, bagaimana kemudian angka korupsi di desa itu cenderung meningkat,” kata Jaka.
Berdasarkan laporan ICW, kasus korupsi paling banyak terjadi di sektor desa pada 2022. Setidaknya ada 155 kasus rasuah yang terjadi di sektor tersebut dengan 252 tersangka.
Jumlah itu setara dengan 26,77 persen dari total kasus korupsi yang ditangani penegak hukum pada 2022. Angkanya pun meningkat satu kasus dibandingkan pada 2021 yang sebanyak 154 kasus korupsi di sektor desa.
Secara rinci, 133 kasus korupsi berhubungan dengan dana desa. Sementara, 22 kasus korupsi lainnya berkaitan dengan penerimaan desa
“Nah ini sebenarnya ekses negatif yang menjadi keprihatinan kita semua,” kata Jaka.
Kemenkeu sendiri tidak memiliki kewenangan untuk melakukan penindakan atas praktik lancung tersebut. Kewenangan dimiliki instansi pengelola keuangan negara terbatas pada penghentian pemberian dana desa hingga pencabutan insentif.
Sementara penanganan tindak pidana sepenuhnya menjadi kuasa aparat penegak hukum. Oleh karenanya, dalam hal ini, pihaknya selalu meminta kerja sama dari instansi penegak hukum untuk mengawal penggunaan dana desa.
“Jadi kalau ada kades atau perangkat desanya kena kasus, kami hentikan sampai ditunjuk plt-nya ini yang bisa kami lakukan. Karena kami hanya terkait pengalokasian dan penyaluran,” jelas Jaka.
“Ketika sebuah desa terjerat kasus korupsi, itu tidak kami ikutkan masuk ke insentif dana desa. Jadi begitu ada kasus korupsi, [langsung] di-black list,” tambah Jaka.
Tidak hanya masalah korupsi, kata Jaka, ekses negatif lainnya sedang dikaji adalah nilai-nilai sosial masyarakat menjadi luntur dengan adanya dana desa. Jika dulu masyarakat desa menggunakan asas gotong royong dan kesukarelaan dalam membangun desa, kini berubah menjadi transaksional.
“Nah sekarang dengan adanya dana desa itu kemudian menjadi transaksional, 'udah lah yang kerja bakti yang dapet BLT saja' kira-kira itu,” kata dia.
Korupsi dan Relasi Kuasa di Desa
Analis Senior Indonesia Strategic and Economic Action Institution, Ronny P Sasmita, melihat ekses negatif terhadap perilaku korupsi dana desa sangat dipengaruhi oleh relasi kekuasaan. Sebab, para kepala desa memiliki porsi yang mirip dengan kepala daerah.
“Mereka menjadi raja-raja mungil yang nyaris tidak memiliki counter balance di desa, sehingga dana desa diimplementasikan sesuai dengan logika kekuasaan yang berlaku di desa,” kata dia kepada Tirto, Kamis (2/4/2024).
Akibatnya, dana desa dinikmati oleh penguasa dan jejaring elite yang melingkari kekuasaan kepala desa. Lingkungan politik desa yang demikian, kata Ronny, suka tidak suka menjadi lahan subur bagi korupsi dana desa.
Kondisi di atas diperparah dengan ketidaksiapan struktur pemerintahan desa untuk membelanjakan dana desa secara profesional, transparan, dan akuntabel. Ditambah dengan lemahnya pengawasan dari tingkat atas akibat banyaknya desa di setiap daerah.
“Belum lagi adanya interaksi koruptif antara struktur pemerintahan terbawah (desa) dengan pemerintahan yang ada di atasnya, baik kecamatan maupun pemerintahan daerah,” ujar dia.
Ronny mengatakan, warisan relasi kuasa berupa 'upeti' dari bawah ke bagian atas, seringkali membuat korupsi di desa masuk ke dalam jejaring korupsi yang lebih besar, mulai dari level pemda sampai ke pusat. Walhasil, korupsi di desa menjadi fenomena pelengkap dari korupsi nasional.
“Di zaman Orde Baru, korupsi di desa tidak terlalu masif karena setiap proyek biasanya langsung dari pusat dengan label instruksi presiden. Namun, hari ini, dengan era otonomi daerah dan desa, hal itu sulit dilakukan lagi,” kata dia.
Sementara terkait dengan masalah melemahnya nilai-nilai sosial di desa, menurut Ronny, bukan karena anggaran desa. Melainkan karena kemajuan zaman dan perluasan imbas digitalisasi sosial ekonomi sampai ke desa-desa.
Digitalisasi, dalam hal ini mendorong terjadinya transfer nilai kosmopolitanisme ke desa-desa melalui berbagai salurankomunikasi media sosial. Ini membuat nilai-nilai kolektivisme dan komunalisme masyarakat desa semakin terkikis.
Selain itu, menipisnya nilai-nilai gotong royong, karena memang dana desa tidak diarahkan menjadi program-program yang dilakukan secara gotong royong. Sehingga risikonya tidak saja tradisi gotong royong ikut terkikis, tapi kontrol sosial dari penggunaan dana desa hilang, karena tidak melibatkan masyarakat.
Untuk itu, kata Ronny, dana desa semestinya selain digunakan untuk proyek fisik dan BUMDes, juga bisa diarahkan untuk pembangunan budaya. Mulai dari pembangunan yang berkaitan pelestarian adat tradisi, sampai pada pelaksanaan event-event budaya setempat yang dikaitkan dengan program besar seperti pengembangan desa wisata dan sejenisnya.
Tantangan Dana Desa & Hal yang Perlu Diperbaiki
Manager Riset di Sekretariat Nasional Forum Indonesia untuk Transparansi Anggaran (FITRA), Badiul Hadi, mengamini masih terdapat tantangan di hadapi oleh aparatur desa dalam pengelolaan dana desa. Salah satunya adalah soal kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) dari aparat desa itu sendiri.
“Sehingga perlu dilakukan peningkatan kapasitas baik terkait administratif atau teknis, misalnya terkait potensi-potensi fraud kecurangan atau penyelewengan,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (2/5/2024).
Dalam hal ini, maka perlu dilakukan pemerintah adalah penguatan kapasitas SDM aparat desa. Ini dilakukan tidak hanya kepala desa atau bagian keuangan/bendahara desa saja, tetapi juga aparat yang lain.
Tantangan kedua masalah transparansi dan akuntabilitas. Menurut dia, transparansi yang terjadi selama ini masih sebatas formalitas, sehingga perlu diperkuat agar bisa lebih berkualitas pada subtansi keuangan desa.
“Karena transparansi selain untuk mencegah korupsi tapi juga meningkatkan partisipasi masyarakat serta memperkuat trust (kepercayaan) masyarakat kepada pemerintah desa," ujar dia.
Selain pengawasan, pemerintah juga perlu melakukan penyelarasan regulasi tentang dana desa. Menurutnya ini perlu karena banyaknya regulasi membuat desa dalam posisi seperti makan buah simalakama.
“Penyelarasan regulasi ini keniscayaan dilakukan pemerintah agar desa tidak dibingungkan dengan regulasi dari pusat," ujar dia.
Ekonom dari Center of Reform on Economics (CORE) Indonesia, Yusuf Rendy Manilet, menambahkan hal perlu dilakukan untuk meminimalkan ekses negatif dana desa yakni dengan memperbaiki tata kelola. Perbaikan ini dilakukan secara menyeluruh baik kelembagaan dan juga penyaluran dari dana desa itu sendiri.
“Sebuah desa saya kira perlu punya lembaga bersama yang pada intinya mempunyai tugas dalam merancang kebutuhan pembangunan desa,” ujar dia kepada Tirto, Kamis (2/5/2024).
Lembaga ini, kata Yusuf, nantinya akan mengakomodasi semua kepentingan golongan dan meminimalkan kepentingan oknum tertentu. Hanya saja, untuk memastikan bahwa lembaga ini bisa menjalankan fungsinya perlu ada campur tangan pemerintah daerah.
“Ini tugas dari pemda maupun BPKP di daerah untuk melakukan audit berkala. Sifatnya memastikan fungsi lembaga telah selaras dengan kebutuhan dan juga administratif penyaluran dana desa itu sendiri,” jelas dia.
Di luar dari itu, lanjut Ronny Sasmita, jalan tersisa untuk mencegah ekses negatif hanya dengan menggalakkan reformasi pemerintahan desa. Ini bisa dilakukan mulai dari menyempurnakan model penganggaran dana desa agar lebih mudah dipantau dan diaudit.
Selain itu, pemerintah bisa meng-create objek belanja dana desa yang melibatkan sebanyak-banyaknya stakeholder di desa. Serta digitalisasi pengawasan anggaran desa, dan seterusnya.
Penulis: Dwi Aditya Putra
Editor: Abdul Aziz