tirto.id - Omong-omong soal kesejahteraan guru di Indonesia, seperti bicara tentang luka menahun. Profesi guru yang kerap disematkan dengan label mulia, nyatanya masih terus makan hati. Kesejahteraan buram para guru –terutama yang terkatung-katung dengan status honorer– membuat mereka mudah terjebak pada jerat pinjaman online (pinjol).
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) baru-baru ini kembali menegaskan bahwa profesi guru paling rentan terjerat pinjol ilegal. Seperti dilansir Antara, Deputi Direktur Pelaksanaan Edukasi Keuangan OJK, Halimatus Syadiah, mengatakan rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat menjadi salah satu faktor tingginya korban pinjol ilegal.
Berdasarkan data OJK, indeks inklusi keuangan masyarakat mencapai 85,1 persen. Namun, indeks literasi keuangan masih tersendat di angka 49,68 persen. Berdasarkan kategori, kata Halimatus, 42 persen korban dari pinjol ilegal adalah guru. Angka tersebut melebihi korban lain seperti orang yang terkena PHK (21 persen), ibu rumah tangga (18 persen), karyawan (9 persen), dan pelajar (3 persen).
Koordinator Nasional Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G), Satriwan Salim, menyatakan, angka tersebut tentu sangat disayangkan dan sesuatu yang miris. Sebab, guru yang seharusnya identik dengan rasionalitas dan kecakapan akademis justru terjebak dalam praktik pinjol ilegal. Dia mengakui memang belum meratanya pemahaman literasi finansial menjadi salah satu faktor maraknya guru terjebak pinjol ilegal.
“Guru-guru memang dari aspek kompetensi masih menjadi masalah yang perlu dituntaskan. Dalam berbagai uji kompetensi guru kita yang diselenggarakan secara nasional, hasilnya sangat menyedihkan. Rata-rata nilai uji kompetensi guru kita masih di sekitar angka 60, dari skala 0 sampai 100 gitu,” kata Satriwan kepada reporter Tirto, Selasa (30/4/2024).
Selain tersebab faktor literasi finansial dan digital yang rendah di masyarakat secara umum, problematika kesejahteraan guru yang buram menjadi salah satu faktor kunci persoalan mereka terjebak jerat pinjol ilegal. Menurut laporan jaringan P2G di daerah, kata Satriwan, guru honorer masih diupah ala kadarnya dan jauh dari kata layak.
“Guru honorer di sekolah negeri diberikan gaji hanya Rp800 ribu, Rp700 ribu, bahkan Rp500 ribu. Nah, yang lebih menyedihkan lagi yaitu guru-guru honorer di sekolah swasta. Ini lebih beragam lagi ya, ada yang diberikan upah hanya Rp500 ribu gitu, ada yang Rp400 ribu, itu pun kadang-kadang dibayarnya rapel,” jelas Satriwan.
Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen padahal sudah memandatkan kepada pemerintah untuk menjamin kesejahteraan bagi para guru. Dalam Pasal 14 termaktub, dalam melaksanakan tugas keprofesionalan, guru berhak memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan kesejahteraan sosial. Kendati demikian, implementasi di lapangan jauh panggang dari api.
Bagi Satriwan, menjadi penting untuk pemerintah menjamin upah minimum guru non-ASN. Mereka adalah guru honorer dan guru swasta yang rerata gajinya masih jauh dari para guru dengan status ASN. Jaminan ini bisa dilakukan dengan membentuk regulasi upah minimum bagi guru non-ASN sehingga kesejahteraan mereka tidak lagi meraba-raba.
“Sudah ada Undang-Undang Guru dan Dosen, tapi tidak dilaksanakan sepenuhnya ya oleh pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Jadi saya rasa guru-guru 42 persen itu terjebak penjol lebih karena faktor keterdesakan,” ujar Satriwan.
Akar Masalah
Dihubungi terpisah, Kepala Bidang Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri, menyatakan jika ditilik dari segi jaminan kerja, guru ASN PNS dan PPPK masih relatif sejahtera. Keadaan ini memang kontras dengan nasib guru honorer dan swasta. Iman menduga, mereka yang terjebak pinjol ilegal bisa jadi didominasi guru honorer.
“Mereka berutang untuk kebutuhan dasar. Dengan gaji Rp300 ribu dan Rp1 juta tidak menutupi biaya hidup. Maka ditambal dengan pinjol mereka gali lobang tutup lobang, tapi karena pinjol bunganya besar, maka tidak lagi bisa ditutup malah membengkak,” tutur Iman kepada reporter Tirto.
Di sisi lain, tidak menutup kemungkinan pinjol ilegal dengan pencurian data pribadi guru juga terjadi. Iman menilai kebocoran data pribadi guru rentan terjadi. Sebabnya, para guru dalam mekanisme kerja sehari-hari sering kali melaporkan berbagai kinerja dengan lampiran data pribadi.
Iman menilai, janji pemerintah ingin mengangkat 1 juta guru PPPK masih berjalan lambat. Padahal janji yang dinyatakan sejak 2021 ini, ditargetkan rampung tahun ini. Nyatanya, saat ini baru sekitar 700 ribu guru honorer yang diangkat, dan sisanya masih menunggu nasib dengan gamang.
“Lantas kenapa masih ada guru honorer yang tidak terekrut seleksi guru PPPK? Data P2G, para guru honorer yang tersingkir penempatan guru PPPK, kini mereka diusir halus dari sekolah. Seperti diminta mencari sekolah lain dan seterusnya,” ungkap Iman.
Iman menilai, kesejahteraan guru Indonesia masih jauh jika dibandingkan dengan negara tetangga. Menurut dia, rata-rata gaji profesi guru di Indonesia masih di angka upah Rp2,4 juta per bulan. Upah tersebut masih jauh dari negara Malaysia (Rp5,5 juta), Filipina (Rp6,97 juta), Thailand (Rp9,52 juta) dan Singapura (Rp11,93 juta).
“Kebijakan yang tepat adalah segera dikeluarkan PP tentang Upah Minimum Guru. Lagi pula itu searah dengan janji kampanye [Presiden dan Wakil Presiden terpilih 2024-2029], Prabowo-Gibran yang menjanjikan upah minimum guru non-ASN. Kalau ini tidak dilakukan, kesejahteraan guru akan terus amburadul,” terang Iman.
Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, berpendapat ada beberapa problem mendasar yang sering diabaikan soal kesejahteraan guru. Menurut dia, tanggungan seorang guru di keluarga tidak sedikit, namun minim dukungan biaya dari pemerintah.
“Terkadang muncul kasus anak guru berstatus PNS tidak memperoleh KIP dan beasiswa lain dengan alasan orang tuanya berstatus PNS, padahal kebutuhan keluarganya juga banyak,” kata Edi kepada reporter Tirto.
Lebih lanjut, kesejahteraan guru yang minim ini membuat profesi guru akan semakin jarang diminati. Edi menambahkan, pemerintah memang menambahkan gaji guru ASN meski tidak signifikan meningkat. Di sisi lain, secara umum juga hadir mekanisme sertifikasi guru, sehingga yang lulus dalam uji kompetensi akan memperoleh tunjangan satu kali gaji setiap bulan.
“Namun prosesnya juga lambat, artinya ada antrean guru untuk mengikuti proses ini yang relatif panjang. Di sisi lain, prosesnya juga disinyalir berbelit-belit, termasuk problem linieritas latar akademik guru dan apa yang diajar di kelas, jumlah jam mengajar, dan dan lainnya. Persentase guru yang memperoleh sertifikasi guru juga relatif belum memuaskan, masih di kisaran 50 persen dari total guru,” sebut Edi.
Edi berpendapat, kebijakan pemerintah yang ingin melakukan penghapusan guru honorer perlu diteruskan dibarengi dengan menuntaskan mereka menjadi PNS atau PPPK di sekolah-sekolah negeri. Agar isu soal kualitas guru honorer teratasi, kata dia, pemerintah perlu mendesain pelatihan yang intensif dan harus dijalankan oleh guru-guru honorer yang naik status menjadi PNS atau PPPK.
“Hal lain adalah membuat kebijakan yang mendorong sekolah swasta terkait range gaji untuk tenaga guru tidak tetap maupun tetap yayasan, harus ada range gaji tertentu, minimal setara dengan UMR daerah setempat,” tutur dia.
Koordinator Nasional Jaringan Pemantau Pendidikan Indonesia (JPPI), Ubaid Matraji, berpendapat, minimnya literasi digital-finansial dan himpitan ekonomi seorang guru memang ibarat tutup ketemu botol dalam kasus jeratan pinjol ilegal. Bagaimana tidak, kata dia, guru honorer sekolah negeri di Jakarta saja, hanya menerima gaji Rp300 ribu per bulan.
“Ini sangat melukai kemanusiaan dan keadilan. Ini kondisi guru honorer di kota besar, situasi serupa yang lebih mengenaskan juga terjadi di daerah-daerah,” kata Ubaid kepada reporter Tirto, Selasa (30/4/2024).
Masalah utama kesejahteraan guru, kata dia, memang menimpa mereka yang belum berstatus ASN dan PPPK. Kelompok guru ini masih terlunta-lunta dan diperlakukan sangat diskriminatif, bahkan tidak sedikit mereka tereksklusi di lingkungan tempat mengajar sendiri.
Di samping itu, pendataan guru honorer menjadi masalah serius yang hingga kini belum terselesaikan. Masih ada carut-marut data yang berpusar dalam pengangkatan guru honorer menjadi PPPK.
“Banyak pengaduan soal guru honorer di sekolah, antara lain soal mereka yang belum terdata di list calon PPPK, bahkan di data dapodik saja mereka belum terekam. Jadi, masih banyak guru-guru yang masih left behind dan tidak bisa akses atas kebijakan pemerintah,” tegas Ubaid.
Respons OJK
Sekretariat Satuan Tugas Pemberantasan Aktivitas Keuangan Ilegal (Satgas PASTI) OJK, Hudiyanto, menerangkan bahwa banyaknya guru yang terjerat pinjol ilegal bukan berasal langsung dari OJK. Menurut Hudi, data tersebut dikutip OJK dari laporan NoLimit Indonesia soal fenomena pinjol ilegal. Kendati demikian, dia tidak menampik bahwa memang profesi guru merupakan salah satu yang rentan terjerat pinjol ilegal.
"Guru, dan sebagaimana anggota masyarakat lainnya, berdasarkan data pengaduan ke Satgas, jumlah pengaduan dan laporan terkait pinjol ilegal masih cukup tinggi,” kata Hudiyanto kepada reporter Tirto, Selasa (30/4/2024).
Selain permasalahan literasi, kebutuhan atau keterdesakan ekonomi dan gaya hidup menjadi faktor pendorong seseorang terjerat pinjol ilegal. Di sisi lain, masih ada sektor yang terdampak krisis akibat pandemi dan harga kebutuhan pokok yang meningkat, membuat banyak orang terjebak menggunakan pinjol ilegal.
Menurut dia, Satgas PASTI OJK memiliki dua strategi utama terkait aktivitas keuangan ilegal --termasuk pinjol ilegal– yaitu preventif (pencegahan) dan represif (penindakan). Preventif dengan peningkatan edukasi dan sosialisasi kepada masyarakat melalui semua kanal informasi.
“Terkait upaya represif, mendasarkan laporan masyarakat dan temuan tim cyber patrol Kominfo dan anggota Satgas lainnya, Satgas akan menindaklanjutinya dengan pemblokiran segera,” ujar dia.
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz