Menuju konten utama

Kasus Dugaan Plagiat & Simalakama Ambisi Genjot Publikasi Ilmiah

Regulasi pemerintah dan munculnya para penyedia praktik lancung di dunia akademis dinilai bak gayung bersambut.

Kasus Dugaan Plagiat & Simalakama Ambisi Genjot Publikasi Ilmiah
Ilustrasi Plagiat. foto/Istockphoto

tirto.id - Tahun 2024 baru berjalan 4 bulan dan Kumba Digdowiseiso sudah mencatatkan namanya di 160 publikasi ilmiah di Google Scholar. Sebuah capaian akademis yang luar biasa –jika tak mau disebut di luar nalar– dari pria yang merupakan Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Nasional (Unas). Namun produktivitas akademis Kumba yang terlihat jor-joran ini berbau amis.

Laporan dari Retraction Watch menyatakan, Kumba Digdowiseiso, diduga mencatut nama sejumlah akademisi Universiti Malaysia Terengganu (UMT) dalam makalah-makalah ilmiahnya. Mereka dicatut dalam publikasi ilmiah milik Kumba sebagai mitra penulis tanpa tahu-menahu. Temuan ini pun ramai diperbincangkan di media sosial X (dulu Twitter) dalam dua pekan terakhir.

Bahkan sepanjang 2023, Kumba tercatat sudah mempublikasi 679 makalah ilmiah. Jumlah publikasi ilmiah yang ditorehkan Kumba, sontak memantik polemik di kalangan akademisi. Diduga capaian bombastis ini diwarnai dengan praktik predatory journal alias jurnal predator, yakni aktivitas bisnis penerbitan makalah ilmiah dengan konten minim seleksi dan kualitas yang dipertanyakan.

Jurnal predator menjanjikan kemudahan dan kecepatan publikasi makalah ilmiah dengan mengabaikan aspek-aspek ilmiah itu sendiri. Tentu dengan patokan biaya sebagai pemulus layanan publikasi makalah.

Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA) menduga, ada plagiarisme berat dalam publikasi Kumba yang terbit di Journal of Social Science pada 2024. Hal ini diketahui berdasarkan pengecekan Turnitin dengan hasil kesamaan sebanyak 96 sampai 97 persen dalam tiga artikel.

Kasus Kumba seakan membuka kembali carut-marut iklim akademik di Indonesia. Praktik lancung seperti plagiarisme, jebakan jurnal predator, hingga penggunaan joki karya ilmiah, adalah pembangkangan akademik. Karya atau makalah ilmiah yang seharusnya menjunjung nilai kebaruan dan kebermanfaatan untuk mendorong perkembangan ilmu pengetahuan, malah hadir tanpa jubah kebesaran ilmiah.

Wakil Ketua Komisi X DPR RI dari Fraksi Partai Golkar, Hetifah Sjaifudian, mendorong Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset dan Teknologi (Kemendikbudristek) melakukan penyelidikan atas dugaan plagiasi yang dilakukan Kumba Digdowiseiso. Ia menuntut agar Kumba diinvestigasi dan diberi sanksi sesuai dengan peraturan perundang-undangan apabila terbukti melakukan plagiasi.

“Apabila ditemukan pelanggaran, pemerintah melalui Kemendikbudristek perlu menindak tegas sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku,” kata Hetifah saat dihubungi Tirto, Selasa (16/4/2024).

Menurut dia, dugaan plagiat yang dilakukan oleh Kumba membuat nama baik publikasi ilmiah di Indonesia menjadi tercoreng. Ini merupakan tindakan yang melanggar etika akademik. Hetifah mengungkapkan, apabila nama baik dunia pendidikan di Indonesia tercoreng maka sulit untuk mengembalikannya kembali untuk dipercaya oleh masyarakat.

“Plagiarisme merugikan tidak hanya karya akademis yang menjadi sasaran, tetapi juga memengaruhi kepercayaan masyarakat pada lembaga pendidikan dan pengembangan ilmu pengetahuan,” kata Hetifah.

Pengamat pendidikan dari Fakultas Ilmu Pendidikan dan Psikologi Universitas Negeri Semarang (UNNES), Edi Subkhan, menilai secara metodologi, capaian ratusan ilmiah yang dihasilkan Kumba sepanjang tahun ini saja patut disangsikan. Sebab, ketika seseorang menulis makalah ilmiah atau berkontribusi di dalamnya, maka kaidah etiknya dia harus berperan juga dalam penelitian itu.

“Minimal ikut ambil data, analisis data, atau ikut menulis laporan riset atau artikelnya. Dalam satu tahun rasanya tidak mungkin bisa produksi 160 artikel ilmiah, dengan catatan artikel ilmiah yang betul-betul berkualitas ya, bukan yang asal nulis,” kata Edi dihubungi reporter Tirto, Rabu (17/4/2024).

Namun, menurut Edi, mempublikasi ratusan karya ilmiah dalam waktu singkat tidak mustahil, hanya saja biasanya dilakukan dengan cara-cara yang tidak etis. Misalnya, meminta pihak penulis sekadar menitipkan namanya di makalah padahal tidak berkontribusi sama sekali. Hal ini juga dapat dilakukan dengan menitip nama pada makalah ilmiah yang terbit secara abal-abal di jurnal predator.

“Hal ini sangat mungkin terjadi, apalagi kalau posisinya lebih tinggi, misal profesor, dekan, dan lain-lain. Jadi, penulis yang notabene jabatan atau pangkat dan posisinya di bawahnya seringkali tidak berani menolak,” sebut Edi.

Menurut Edi, jurnal predator merupakan publikasi ilmiah abal-abal yang tidak dikelola oleh komunitas ilmuwan dalam bidang tertentu. Tujuannya hanya mengeruk untung atau cuan semata. Jurnal predator muncul karena para dosen butuh publikasi jurnal yang cepat dan mudah menerbitkan makalah mereka.

Ditambah, dosen-dosen didesak oleh kampus dan kebijakan pemerintah untuk menggenjot produktivitas penulisan dan publikasi makalah di jurnal ilmiah. Oleh karena iklim akademik yang belum terbentuk betul, maka kampus dan dosen terjerumus jalan pintas menggunakan jasa penerbitan jurnal predator untuk sekadar membereskan kewajiban administrasi dan tuntutan regulasi.

Edi berpendapat, tiap awal tahun pihak kampus biasanya menargetkan tiap fakultas untuk mencapai angka artikel yang terbit di jurnal internasional terindeks Scopus dan WoS. Fakultas di sisi lain, berganti menuntut dosen untuk bisa publikasi beberapa artikel dalam setahun. Hal ini menandakan iklim akademik dan perguruan tinggi yang terjebak dalam kuantitas dan target semata.

Buah Simalakama

Karena tuntutan produksi melahirkan publikasi ilmiah sebanyak-banyaknya, akhirnya tak sedikit kampus dengan produktivitas publikasi jurnal tinggi, justru jarang menjadikan karya-karya ilmiah itu sebagai bahan diskusi keilmuan di kampus. Sementara, apresiasi semata dipandang dari dosen atau guru besar dengan publikasi ilmiah paling banyak di akhir tahun.

“Biasanya [yang banyak publikasi] dapat hadiah dari kampus. Tapi esensi temuan risetnya jarang didiskusikan. Kalau hal ini tetap dilanjutkan tanpa koreksi, maka makelar jurnal akan tetap muncul,” ujar Edi.

Ketentuan publikasi ilmiah di jurnal internasional memang tercantum dalam Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor 17 Tahun 2013 tentang Guru dan Dosen. Publikasi ilmiah ini salah satunya disyaratkan bagi dosen yang ingin mendapatkan gelar profesor, jabatan fungsional tertinggi.

Regulasi serupa juga termaktub dalam Peraturan Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2017 tentang Pemberian Tunjangan Profesi Dosen dan Tunjangan Kehormatan Profesor. Setiap profesor harus menghasilkan paling sedikit tiga karya ilmiah yang diterbitkan dalam jurnal internasional dalam kurun waktu tiga tahun. Alhasil tidak sedikit yang berlomba menggenjot kuantitas publikasi ilmiah agar dapat mengejar jabatan, insentif, atau memenuhi syarat mengamankan tunjangan.

Memang secara kuantitas, publikasi ilmiah dosen di Indonesia melonjak pesat. Pada 2019 jumlah publikasi ilmiah di Indonesia mencapai 343.710 makalah. Di tahun yang sama, jumlah publikasi internasional yang terindeks Scopus (indikator kualitas) mencapai angka 44.262 makalah. Saat ini, publikasi ilmiah di jurnal internasional yang dihasilkan dosen Indonesia bisa mencapai ribuan per tahun.

Sayangnya, kewajiban publikasi ilmiah ini membuka celah para akademisi yang ingin mendapatkan hasil instan. Praktik titip nama pada publikasi ilmiah mahasiswa, catut nama di jurnal predator, hingga joki karya ilmiah menjadi opsi yang malang bagi iklim akademik di Indonesia. Integritas dan nilai-nilai pengetahuan digadaikan hanya untuk mengejar kuantitas semata.

Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KIKA), Satria Unggul Wicaksana Prakasa, menilai regulasi pemerintah dan munculnya para penyedia praktik-praktik lancung di dunia akademis bak gayung bersambut. Karena tingginya tuntutan dari regulasi kampus dan pemerintah, maka muncul penyedia jasa yang memfasilitasi dengan abal-abal dan instan.

“Misalkan ada lembaga-lembaga ya, perusahaan-perusahaan atau pihak-pihak tertentu yang kemudian memfasilitasi dalam pembuatan jurnal hingga publish dan lain sebagainya. Itu adalah upaya-upaya untuk menggenjot publikasi, ini buah simalakama regulasi,” kata Satria kepada reporter Tirto.

Menurut Satria, baik institusi dan dosen memang jadi bergantung pada kuantitas publikasi ilmiah karena menjadi salah satu indikator pemeringkatan dan kinerja. Kemendikbudristek diminta lebih mengutamakan prinsip kualitas, dan mencegah praktik potong kompas di dunia akademis terjadi secara sistemik. Apalagi jadi ladang bermain bagi akademisi yang justru memakai cara lancung untuk sekadar menjaga reputasi, jabatan, dan finansial.

“Praktik-praktik ini pembangkangan etika akademik. Karya ilmiah jadi mengejar kuantitas dan sekali lagi dilakukan secara sistemik. Pada akhirnya kemudian menjadikan kualitas publikasi dosen di Indonesia itu semakin lemah, tentu ada seharusnya upaya meningkatkan awareness atau kesadaran berbasis kolegium,” ujar Satria.

Reporter Tirto sudah berupaya meminta tanggapan Kemendikbudristek melalui Direktur Jenderal Pendidikan Tinggi, Riset, dan Teknologi Kemendikbudristek, Abdul Haris. Namun, pesan yang dilayangkan Tirto hingga berita ini dirilis, belum mendapatkan respons.

Sebelumnya, kepada wartawan melalui keterangan tertulis, Senin (15/4/2024), Abdul Haris menepis anggapan bahwa dugaan catut nama dan plagiasi yang dilakukan Kumba Digdowiseiso disebabkan regulasi Kemendikbudristek soal tuntutan kuantitas publikasi ilmiah. Abdul menilai kasus Kumba merupakan persoalan integritas individu dan pihaknya sedang mengawal perkara ini untuk membuktikan tudingan yang ada.

Melalui keterangan tertulis pada pekan lalu, Kumba sendiri menegaskan bahwa kasusnya tidak ada hubungannya dengan Universitas Nasional (Unas). Dia menyatakan perkara ini akan menjadi urusan pribadi. Kumba akan mengadakan konferensi pers bersama secara virtual dengan menghadirkan dirinya selaku Dekan FEB UNAS dan Profesor Suriani selaku dekan FBESD UMT beserta DR. Jumadil Saputra. Konferensi pers tersebut direncanakan digelar pada 19 April 2024.

Update informasi: Kumba akhirnya memutuskan mengundurkan diri usai ramai isu dugaan plagiat ini. Baca detail artikelnya di link berikut.

Baca juga artikel terkait PLAGIAT atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Abdul Aziz