Menuju konten utama

Ribuan Calon Dokter Spesialis Ada Gejala Depresi, Apa Solusinya?

Skrining ini dilakukan karena masih ada aduan yang diterima Kemenkes soal praktik perundungan di RS vertikal terhadap mahasiswa PPDS.

Ribuan Calon Dokter Spesialis Ada Gejala Depresi, Apa Solusinya?
Ilustrasi dokter. (FOTO/iStockphoto)

tirto.id - Kementerian Kesehatan (Kemenkes) melakukan skrining atau penapisan terkait kondisi kondisi kesehatan jiwa calon dokter spesialis atau peserta program pendidikan dokter spesialis (PPDS). Hasilnya cukup mengejutkan. Sekitar 22,4 persen atau 2.716 mahasiswa PPDS terdeteksi mengalami gejala depresi. Hasil ini didapatkan dari skrining terhadap 12.121 PPDS atau calon dokter spesialis berbagai bidang studi.

Pada cuplikan data hasil skrining yang didapatkan Tirto dari Kemenkes, metode penapisan ini dilakukan menggunakan kuesioner Patient Health Questionnaire-9 [PHQ-9].

Hasilnya, dari 2.716 peserta PPDS yang mengalami gejala depresi (skor di atas 4), ada sebanyak 1.977 (16,3 persen) peserta mengalami depresi ringan, 486 (4 persen) peserta dengan depresi sedang, 178 (1,5 persen) peserta depresi sedang-berat, dan sebanyak 75 (0,6 persen) depresi berat.

Skrining ini dilakukan di 28 rumah sakit vertikal Kemenkes pada 21, 22, dan 24 Maret 2024. Menjadi sorotan, salah satu kesimpulan umum skrining menyatakan bahwa pemikiran lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apapun semakin sering dirasakan pada peserta PPDS yang memiliki gejala depresi yang lebih berat.

Selain itu, dalam dua minggu terakhir didapati ada 3,3 persen mahasiswa PPDS ini merasa lebih baik mati atau ingin melukai diri sendiri dengan cara apapun. Ada sebanyak 322 (2,7 persen) mahasiswa PPDS merasakan hal ini dalam beberapa hari, sebanyak 52 (0,4 persen) PPDS merasakan hal ini lebih dari separuh waktu, dan ada 25 (0,2 persen) PPDS merasakan hal ini hampir setiap hari.

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes, Siti Nadia Tarmizi, menyatakan skrining ini dilakukan sebab masih ada aduan yang diterima Kemenkes soal praktik perundungan di RS vertikal. Maka, Kemenkes mencoba mencermati apakah perundungan turut mempengaruhi kesehatan mental para calon dokter spesialis ini.

“Karena awalnya masih ada laporan praktik perundungan di RS vertikal. Oleh karena itu dicoba untuk dilihat apakah praktik perundungan juga mempengaruhi kesehatan mental para peserta PPDS,” kata Nadia kepada reporter Tirto, Rabu (17/4/2024).

Selain itu, kajian awal ini disebut Nadia sebagai upaya deteksi dini kesehatan mental peserta PPDS yang tengah menempuh studi di RS.

“Paralel akan dilakukan evaluasi penyebab dari munculnya depresi [pada peserta PPDS], dan akan ada perbaikan dari sistem pendidikan PPDS [ke depan],” jelas Nadia.

Siti Nadia Tarmizi

Kepala Biro Komunikasi dan Pelayanan Publik Kemenkes RI Siti Nadia Tarmizi saat menyampaikan keterangan kepada wartawan di Gedung Kemenkes RI Jakarta, Kamis (8/12/2022). (ANTARA/Andi Firdaus).

Nadia menyatakan, pihaknya akan berkoordinasi dengan RS vertikal dan fakultas terkait untuk melakukan penanganan secara komprehensif atas hasil skrining yang didapatkan. Utamanya, pada peserta PPDS yang memiliki keinginan bunuh diri atau menyakiti diri agar segera diberikan pertolongan dan penanganan.

Isu soal adanya praktik perundungan yang dialami peserta PPDS sempat gempar pada pertengahan tahun 2023. Saat itu, Menteri Kesehatan (Menkes), Budi Gunadi Sadikin, mengeluarkan Instruksi Menteri Kesehatan tentang Pencegahan dan Perundungan terhadap Peserta Didik Pada Rumah Sakit Pendidikan di Lingkungan Kementerian Kesehatan untuk mengakhiri praktik perundungan yang terjadi pada peserta PPDS.

Menkes mengklaim kala itu, terdapat sejumlah laporan kasus perundungan yang ia terima. Di antaranya, ada kelompok peserta didik diperlakukan sebagai asisten, sebagai sekretaris, dan sebagai pembantu pribadi.

Peserta PPDS disebut menjalankan tugas di luar konteks studi oleh para senior di RS. Pada periode 20 Juli sampai 15 Agustus 2023, Kemenkes menerima 91 aduan perundungan yang dialami peserta PPDS di sejumlah RS.

Associate Professor Public Health dari Monash University Indonesia, Grace Wangge, menilai upaya Kemenkes melakukan skrining kondisi kejiwaan anggota PPDS merupakan niat yang baik. Sebab, hal ini berpengaruh pada kinerja dan pelayanan pada pasien kelak.

“Karena mereka [PPDS] peserta pendidikan, ada juga tanggung jawab sektor pendidikan di situ. Koordinasi sebaiknya dilakukan dengan Dikti dan Universitas agar intervensi tepat sasaran,” kata Grace kepada reporter Tirto, Rabu (17/4/2024).

Grace berpendapat, jika tujuan utama penapisan ini adalah memeriksa kondisi kejiwaan peserta PPDS hingga keluar hasil diagnosis, maka metode skrining yang dilakukan saat ini kurang tepat. Terlebih, dengan klaim bahwa skrining ini berangkat dari masih adanya laporan praktik perundungan di peserta PPDS, seharusnya kajian bisa dilakukan dengan lebih tepat sasaran.

“Yang perlu didiagnosis adalah mereka yang memang terindikasi dibully. Dengan skrining kemarin, apa artinya asumsinya bullying itu terjadi secara merata di semua PPDS? Selain itu, pengambilan data hanya dilakukan satu kali,” ujar Grace.

Perlu Tindak Lanjut

Selain itu, Grace menilai seharusnya ada data pembanding pada profesi tenaga kesehatan lain. Terlebih, tidak semua peserta PPDS memiliki beban kerja yang sama di setiap bidang studi spesialis. Dia menyatakan perlu ada tindakan lanjutan. Sebab, hasil skrining ini belum menjawab penyebab dan faktor-faktor utama dari kondisi kejiwaan peserta PPDS.

Sementara itu, Direktur Pascasarjana Universitas Yarsi sekaligus Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, Tjandra Yoga Aditama, menilai hasil skrining kondisi kejiwaan peserta PPDS akan lebih baik jika memiliki data pembanding. Maksudnya, kata dia, dilakukan metode yang sama pada para peserta pendidikan lain, termasuk seperti di kedinasan dan perguruan tinggi ternama.

“Kalau ada pembanding maka kita tahu apakah tingginya angka depresi memang hanya pada peserta program pendidikan dokter spesialis atau memang dunia pendidikan pada umumnya,” kata Tjandra.

Tjandra menyampaikan, hasil skrining berupa gambaran gejala depresi PPDS jangan hanya berhenti sebatas mendapatkan angka-angka deskriptif. Perlu dilakukan tindak lanjut berupa analisa kualitas untuk melihat faktor-faktor penyebabnya.

Menurut Tjandra, analisis kualitatif dan rinci, penting dilakukan agar masalah yang ada dalam PPDS dapat terlihat secara gamblang dan sesuai prinsip berbasis pada bukti.

“Untuk mereka yang [bergejala] depresi maka tentu perlu ditangani segera,” sambung dia.

Meragukan Metode

Pengurus PB Ikatan Dokter Indonesia (IDI), Iqbal Mochtar, justru merasa heran dengan Kemenkes yang tiba-tiba mengeluarkan hasil skrining kondisi kesehatan jiwa peserta PPDS. Menurut Iqbal, kajian yang dilakukan Kemenkes tidak substantif dan menggunakan metode yang kurang relevan dengan kondisi di lapangan.

“Pengalaman saya, PPDS ini biasa-biasa saja tidak ada masalah dan orang justru berlomba-lomba masuk PPDS. Jadi saya rasa [skrining] tidak krusial, maka perlu dipertanyakan apa motif lain di balik skrining Kemenkes ini,” ujar Iqbal kepada reporter Tirto.

Iqbal mengklaim mendapatkan cerita dari salah satu peserta PPDS yang mengikuti skrining Kemenkes. Penuturan Iqbal, peserta PPDS cuma disodorkan 5-10 pertanyaan lewat metode PHQ-9 dan selesai menjawab dalam 1 menit, yang mayoritas dilakukan tergesa-gesa di tengah kesibukan.

“Apakah jawaban seperti ini bisa menjadi benchmark dan kesimpulan besar bahwa ada gejala gangguan kejiwaan di PPDS? Saya kira ini sangat sumir,” kata dia.

Selain itu, metode PHQ-9 yang digunakan dalam skrining juga kurang tepat digunakan. Menurut Iqbal, tujuan utama dari PHQ-9 adalah skrining alias penapisan saja, sehingga hasil yang didapatkan baru berupa kemungkinan, sehingga perlu ada lanjutan secara profesional untuk mendapatkan diagnosis.

“Hanya dengan 5-10 pertanyaan bagaimana kita bisa mendeteksi seseorang ingin melakukan bunuh diri atau orang merasa depresi. Kuesioner ini tidak boleh dilakukan sembarangan dan serampangan,” tutur Iqbal.

Dokter spesialis kedokteran okupasi (SpOk) ini menilai di mana-mana program pelatihan memang akan membuat peserta mengalami stres. Hal ini tidak hanya terjadi di Indonesia dan bidang kedokteran semata, namun juga di bidang pelatihan lain. Iqbal menyayangkan kajian ini sudah dipublikasikan Kemenkes tanpa ada pendalaman lebih jauh secara ilmiah.

Ilustrasi dokter

Ilustrasi dokter. FOTO/iStockphoto

Sementara itu, Ketua Umum Masyarakat Hukum Kesehatan Indonesia (MHKI), Mahesa Paranadipa, menilai mengapa kajian ini kembali dikaitkan dengan isu perundungan pada peserta PPDS. Padahal, praktik perundungan temuan Kemenkes juga terjadi pada RS vertikal yang mereka kelola.

“Angka penelitian tidak relevan dengan fakta di RS. Berapa banyak kasus bunuh diri atau melukai diri pada PPDS selama satu tahun terakhir? Jika ada, apakah kasus tersebut berhubungan langsung dengan dampak pendidikan atau ada penyebab lain,” tanya Mahesa.

Mahesa menjelaskan, penelitian yang diterbitkan "Journal of American Medical Association" menyebut, hasil analisis hampir 200 penelitian terhadap 129 ribu mahasiswa kedokteran di 47 negara menunjukkan bahwa sebanyak 27 persen atau sekitar sepertiga dari mereka mengalami depresi dengan gejala. Sementara 11 persen lain, berpikir untuk melakukan bunuh diri selama masa kuliah.

“Mahasiswa kedokteran bisa dua sampai lima kali lebih kerap mengalami depresi dibandingkan mahasiswa jurusan lain. Prevalensi depresi berkisar antara sembilan sampai 56 persen. Artinya angka depresi di pendidikan kedokteran memang tinggi secara global,” jelas dia.

Mahesa berharap institusi terkait dalam pendidikan kedokteran mampu membenahi masalah perundungan dan temuan gejala depresi pada para calon dokter spesialis ini. Di sisi lain, insentif untuk peserta PPDS juga disebut Mahesa belum terealisasi secara bermakna oleh pemerintah.

“Mungkin salah satu penyebab depresi adalah faktor ekonomi. Jadi segera realisasikan janji-janji yang pernah disampaikan,” sebut Mahesa.

Tindak Lanjut Kemenkes

Direktur Jenderal Pelayanan Kesehatan Kementerian Kesehatan, Azhar Jaya, menyatakan latar belakang skrining ini karena Kemenkes melihat pentingnya peserta PPDS menjalani proses belajar dalam kondisi fisik dan mental yang prima. Hal ini untuk mendukung kegiatan pelayanan pada pasien, maka perlu dilakukan skrining (rutin) tentang kondisi kesehatan mental PPDS.

“Dengan skrining ini diharapkan akan didapatkan data awal masalah kesehatan jiwa (depresi) yang dialami. Sehingga bisa dilakukan intervensi segera untuk menghasilkan dokter-dokter yang berkualitas,” kata Azhar kepada reporter Tirto, Rabu (17/4/2024).

Azhar mengakui memang hasil skrining ini akan mendapat tindak lanjut lewat konfirmasi diagnosis psikiater. Kemenkes juga akan melakukan intervensi (tata laksana) sesuai kondisi dan kebutuhan klinis peserta PPDS.

“Survei ini ke depannya akan dilakukan kepada seluruh karyawan RS. Baik itu dokter, perawat, penunjang, dan lain-lain. Dalam salah satu upaya mendukung pelayanan yang prima,” tandasnya.

Ke depan, kata Azhar, tidak menutup kemungkinan dilakukan skrining serupa pada RS swasta atau fasyankes lainnya, dengan tujuan deteksi dini masalah kesehatan jiwa yang dihadapi para pekerja. Sehingga bisa dilakukan tindakan-tindakan preventif, kuratif atau rehabilitatif untuk meningkatkan kualitas hidup.

Baca juga artikel terkait DOKTER atau tulisan lainnya dari Mochammad Fajar Nur

tirto.id - GWS
Reporter: Mochammad Fajar Nur
Penulis: Mochammad Fajar Nur
Editor: Maya Saputri