Menuju konten utama

"Plagiat Itu Fakta" & Mengapa UGM Lamban Putus Nasib Rektor Unnes?

Dewan Kehormatan Universitas telah rampung bekerja, tapi belum dapat mengumumkan hasilnya karena Rektor UGM membentuk tim baru yang mereview keputusan para guru besar.

Ilustrasi HL Indepth Unnes Kasus Dugaan Plagiat Rektor. tirto.id/Lugas

tirto.id - Universitas Gadjah Mada (UGM) tak kunjung mengeluarkan keputusan, terkait hasil pemeriksaan dugaan plagiasi disertasi mantan mahasiswanya yang kini menjadi Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman.

Dewan Kehormatan Universitas (DKU) yang ada di UGM sejatinya telah menyelesaikan pemeriksaan terhadap Fathur dan menghasilkan rekomendasi yang telah diserahkan ke rektorat sejak Januari 2020. Namun, hingga kini Rektorat UGM belum juga memberikan keputusan.

Sejak surat pengaduan dugaan plagiarisme Fathur Rokhman masuk ke UGM pada Oktober 2018. Hingga setahun lebih, UGM kini belum memutusnya.

Pengadu sempat melaporkan UGM ke Ombudsman RI (ORI) Perwakilan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).

Hingga akhirnya ORI Perwakilan DIY turun tangan. Pada November 2019 ORI Perwakilan DIY melakukan klarifikasi ke UGM. Di bulan yang sama akhirnya UGM melakukan tindakan dengan memeriksa Fathur Rokhman.

“Awalnya kan mandeg tidak ada kejelasan. Terus kita klarifikasi dan UGM membentuk tim [DKU] dan melaporkan kepada kita sudah dibentuk tim dan tim sudah bekerja. Dan rektor berjanji akan menyampaikan hasil ke ORI,” kata Ketua ORI Perwakilan Yogyakarta, Budhi Masturi, Kamis (20/2/2020).

ORI Perwakilan DIY, kata dia, mendesak UGM untuk segera menyelesaikan kasus ini lebih cepat. Sebab menurut dia banyak kepentingan yang tergangung hasil dari penyelesaian kasus ini di UGM, termasuk hal-hal administratif jika memang Rektor Unnes terbukti plagiat.

“Saya kira itu harus menjadi atensi […] Harusnya rektor [UGM] menyampaikan hasilnya kepada kita sesuai komitmen dia. Mungkin kita akan segera mengirim surat sekali lagi untuk menanyakan hasilnya,” ujarnya.

Plagiat Itu Fakta

Kasus plagiat juga jadi perhatian di internal UGM. Ahli Hukum UGM, Sigit Riyanto menilai kasus dugaan plagiat yang saat ini ditangani oleh UGM penting untuk segera diselesaikan. Semakin lama kasus ini selesai, maka kata dia akan semakin tidak baik pula buat UGM.

“Sebenarnya situasi seperti ini tidak baik buat UGM sendiri. Karena kemudian menimbulkan dugaan-dugaan apa yang terjadi sebetulnya di UGM, kenapa tidak segera diputuskan?” katanya kepada Tirto, Rabu (19/2/2020).

Sigit yang juga merupakan Dekan Fakultas Hukum UGM sekaligus anggota Senat Akademik UGM menilai semakin cepat kasus ini selesai maka akan dapat menghentikan ekses yang ditumbulkan dari kasus ini.

“Saya baca di media ada dosen [Unnes] yang diberi sanksi karena dugaan pelaporan plagiasi itu. Ada dosen yang dilaporkan atas pencemaran nama baik karena diduga mengulik kasus plagiatnya itu. Itu memang di luar UGM, tapi kalau UGM bisa lebih cepat, maka bisa menghentikan ekses seperti itu,” ujarnya.

Dosen yang dimaksud adalah Sucipto Hadi Purnomo. Sucipto pernah masuk dalam Tim Evaluasi Kinerja Akdemik (EKA). Saat itu, tim terbentuk atas prakarsa Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Dikti (Kemenristekdikti), semacam tim khusus untuk mengawasi kampus, sebelum urusan perguruan tinggi kembali ke Kemendikbud. Tim EKA juga terlibat pengkajian dugaan plagiat karya tulis Rektor Unnes pada 2018 yang menyimpulkan karya tulis Fathur plagiat.

Sigit berpendapat, plagiat adalah salah satu kejahatan akademik yang mudah untuk dibuktikan. Hanya dengan membaca secara verbatim dapat diketahui kata demi kata saja dan kemudian ditemukan kesamaan dengan karya lain, maka karya tersebut dapat diketahui apakah memang betul plagiat atau tidak.

“Kalau plagiat itu tidak perlu pendapat saya. Itu kan fakta,” kata Guru Besar yang kini menjadi anggota Komite Teknis Pertahanan dan Keamanan di Dewan Riset Nasional tersebut.

Jika nantinya UGM melalui keputusan rektor menyatakan Fathur terbukti plagiat, maka, kata Sigit, hal itu tidak sesuai dengan etika akademik, standar proses akademik dan standar mutu.

Oleh karena itu, sanksi terhadap penjiplak adalah membatalkan gelar atau derajat pendidikan yang telah dicapai dalam hal ini jenjang doktoral di UGM.

Selain itu, ada sanksi bagi penjiplak dengan tujuan meraih gelar akademik yakni pidana penjara maksimal dua tahun dan denda maksimal Rp200 juta merujuk Pasal 70 UU 20/2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas).

Di UGM, kata Sigit, pernah terjadi kasus plagiat pada 20 tahun silam. Saat itu, UGM mencabut gelar doktor Ipong S. Azhar, karena disertasinya yang kemudian diterbitkan menjadi buku terbukti menjiplak karya peneliti LIPI.

UGM, kata Sigit, dalam hal ini memiliki otoritas untuk menggugurkan gelar yang didapat oleh seorang yang terbukti plagiat. Sementara terkait dengan jabatan Fathur Rokhman sebagai Rektor Unnes, kata Sigit, secara administratif menjadi urusan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud).

“Tapi mestinya secara hukum gugur [juga jabatannya sebagai rektor] karena syarat menjadi professor adalah berpendidikan S3. Kalau S3 batal, maka tidak memenuhi syarat [sebagai rektor],” katanya.

Keputusan Krusial Menyangkut Nasib Rektor Unnes

UGM kini membentuk tim baru yang membuat rantai keputusan bertambah panjang setelah sidang DKU yang melubatkan Rektor Unnes telah berlangsung lebih dari setahun sejak pengaduan plagiat pada 2018.

Wakil Rektor Bidang Kerja Sama dan Alumni UGM, Paripurna Poerwoko Sugarda mengatakan, hasil pemeriksaan kasus dugaan plagiat Rektor Unnes yang berupa rekomendasi telah disampaikan ke pihak rektorat pada Januari 2020 oleh DKU.

Namun, saat ini rekomendasi yang ada di tangan rektorat itu diserahkan lagi ke tim bentukan rektorat untuk mendapatkan penguat bukti-bukti terhadap keputusan yang nantinya akan dikeluarkan rektor.

“Supaya keputusan yang dikeluarkan oleh UGM itu kuat dari setiap aspeknya,” kata Paripurna kepada wartawan, Kamis (20/2/2020).

Tim rektorat terdiri atas pakar-pakar hukum UGM. Mereka, kata Paripurna, sedang memastikan, keputusan UGM nanti sesuai dengan perundang-undangan yang berlaku meliputi Undang-Undang tentang Hak Cipta dan peraturan tentang plagiat yang ada di Kementerian Riset dan Teknologi, Kemendikbud, atau di internal UGM.

“Ini keputusan kan sangat krusial, sangat penting dan menyangkut nasib seseorang. Dan juga yang bersangkutan jabatannya penting. UGM tidak boleh salah mengambil keputusan,” katanya.

Oleh karena itu, ia tidak dapat mengungkapkan kapan tim peninjau akan selesai dan menyerahkan hasilnya ke rektor untuk diputuskan. Ia juga tidak dapat memastikan apakah setelah mendapatkan tinjauan dari tim akan terjadi perubahan antara rekomendasi DKU dengan keputusan rektor.

“Kalau review selesai saya baru bisa jawab [apakah ada perubahan atau tidak],” katanya.

Bukti-bukti Plagiat

Bukti penjiplakan Fathur di UGM telah diungkap oleh Tirto pada 9 Agustus 2019 lalu. Ada surat aduan yang masuk ke UGM menerangkan disertasi Fathur Rokhman berjudul “Pemilihan Bahasa dalam Masyarakat Dwibahasa: Kajian Sosiolinguistik di Banyumas” pada 2003 diduga hasil jiplakan.

Dalam surat aduan tersebut menyebut Fathur diduga menjiplak skripsi Ristin Setiyani berjudul “Pilihan Ragam Bahasa Dalam Wacana Laras Agama Islam di Pondok Pesantren Islam Salafi Al-Falah Mangunsari Banyumas.”

Ristin Setiyani dulu kuliah di Fakultas Bahasa dan Seni Universitas Negeri Semarang yang merupakan mahasiswa bimbingan Fathur Rokhman dalam skripsinya pada 2001.

Selain menjiplak skripsi Ristin Setiyani, Fathur Rokhman juga diduga memplagiat skripsi Nefi Yustiani, mahasiswi bimbingannya yang lain, menurut surat pengaduan itu ke UGM.

Skripsi mahasiswi Fakultas Bahasa dan Seni Unnes itu berjudul “Kode dan Alih Kode Dalam Pranatacara Pernikahan di Banyumas” (2001).

Melalui penyandingan data karya disertasi Fathur dengan skripsi kedua mahasiswa bimbingannya itu, Tirto mengecek dan menemukan sejumlah kesamaan.

Rektor Unnes Sebut Kasunya Sudah Selesai

Sikap Fathur Rokhman masih teguh hingga kini dan meyakini tak pernah menjiplak. Rektor Unnes, Fathur Rokhman mengatakan, belum mendapatkan informasi apapun dari UGM perihal penanganan kasus dugaan plagiat yang dialamatkan kepadanya.

“Sampai sejauh ini saya tidak menerima informasi apapun,” kata Fathur melalaui aplikasi pesan singkat WhatsApp kepada Tirto, Jumat (21/2/2020) .

Fathur bilang bahwa kasus dugaan plagiat disertasi yang dibuatnya pada 17 tahun lalu menurutnya sudah selesai. Telebih, kata dia, sudah ada pernyataan dari Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) M. Natsir kala itu yang menyebut ia ta terbukti plagiat.

“Bagi saya masalah plagiasi karya saya 17 tahun sudah selesai sejak Pak Menristekdikti menyatakan sudah selesai dan tidak ada plagiasi,” kata Fathur sambil menunjukkan tautan berita yang memuat peryataan Menristekdikti di tahun 2018.

Terkait dengan pemeriksaan Fathur oleh DKU UGM pada 27 November 2019, Kepala Humas Unnes Muhammad Burhanudin sehari setelahnya memberikan pernyataan resmi. Dalam pernyataanya kesediaan Rektor Unnes menghadiri panggilan UGM disebutnya sebagai itikad baik.

“Usaha Senat Akademik UGM mengundang Rektor Unnes adalah dalam rangka meluruskan kabar yang beredar tentang alumninya,” katanya.

===================

HAK JAWAB

Berita ini diperbaharui pada 26 Februari 2020 dengan adendum berupa hak jawab dari Rektor Unnes Semarang, Fathur Rokhman yang dikirimkan ke redaksi pada Selasa, 25 Februari 2020. Berikut hak jawabnya:

Pada 22 Februari 2020 Tirto.id menerbitkan berita berjudul “Plagiat Itu Fakta, Mengapa UGM Lamban Memutuskan Nasib Rektor Unnes?” Berita tersebut tidak berimbang dan tidak menggambarkan kondisi yang sebenarnya.

Saya menyusun disertasi sejak 1997 dengan proposal yang bukti fisiknya masih ada. Dalam proses bimbingan ada perubahan, sehingga ada draf disertasi versi 2000, 2002, dan 2003 yang seluruh bukti fisiknya masih ada.

Pada tahun 2000, saya mendapatkan hibah disertasi doktor. Dalam penelitian ini saya melibatkan beberapa dosen dan mahasiswa, yaitu Nefi Yustiani dan Sdri Ristin Setiani. Dalam dunia akademik, pelibatan mahasiswa ini disebut dengan skema istilah “penelitian payung”. Skema penelitian ini didesain agar dosen dapat melatih mahasiswa dalam kegiatan penelitian yang konkret.

Data yang diperoleh melalui skema penelitian payung tersebut dapat diakses oleh saya sebagai ketua tim peneliti juga dapat diakses oleh mahasiswa yang terlibat. Saya memberikan data tersebut sebagai contoh atau inspirasi bagi mahasiswa melakukan penelitian sejenis untuk penyusunan skripsi dan atau mengikuti konferensi ilmiah.

Kesamaan data pada disertasi saya dan skripsi dua mahasiswa itulah yang dijadikan bahan sebagai tuduhan bahwa saya telah melakukan plagiasi. Padahal dalam penelitian sosial humaniora, peneliti yang berbeda bisa memperoleh dan menggunakan data yang sama untuk dikaji atau dianalisis menggunakan cara yang berbeda.

Data percakapan yang sama pada disertasi saya dan skripsi dua mahasiswa adalah percakapan dari peristiwa yang sama. Jumlah data yang sama ini hanya sekitar 1 persen dari keseluruhan disertasi. Kami menggunakan data tersebut untuk dianalisis menggunakan teknik analisis yang berbeda.

[Tanggapan redaksi: Dalam penulisan berita dugaan plagiat Fathur ini, Tirto menggunakan dua versi disertasinya pada 2003 baik yang tersimpan di Perpustakaan Fakultas Ilmu Budaya UGM maupun di Perpustakaan Pusat UGM. Berdasar penyandingan disertasi Fathur dan skripsi Nefi Yustiani, Tirto mencatat diduga ada data percakapan yang sama meski peristiwa penelitian mereka berbeda. Lokasi pengambilan data percakapan Fathur dalam dua versi disertasinya berada di Kabupaten Banyumas, Jawa Tengah. Sedangkan lokasi penelitian percakapan skripsi yang dibuat Nefi pada 2001 ada di Purbalingga, Jawa Tengah]

Baca juga artikel terkait PLAGIAT UNNES atau tulisan lainnya dari Irwan Syambudi

tirto.id - Pendidikan
Reporter: Irwan Syambudi
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Abdul Aziz