tirto.id - Rektor Universitas Negeri Semarang (Unnes) Fathur Rokhman, menonaktifkan dosen Fakultas Bahasa dan Seni (FBS), Sucipto Hadi Purnomo per 12 Februari 2020.
Pembebasan tugas sementara tertuang dalam Keputusan Rektor Unnes: Nomor B/167/UN37/HK/2020. Sucipto disangka melanggar Pasal 3 angka 4, Pasal 3 angka 5, Pasal 3 angka 11, Pasal 3 angka 17, dan Pasal 4 angka 6 Peraturan Pemerintah 53/2010 tentang Disiplin Pegawai Negeri.
Sucipto terkena dua sanksi kampus berdasar keputusan rektor yakni, selama pembebasan tugas dilepaskan dari hak dan wewenang yang melekat pada tugas jabatan; dan dilarang menggunakan nama dan atribut Unnes dalam kegiatan pribadi maupun kelembagaan apa pun.
Menurut Kepala UPT Pusat Hubungan Masyarakat Unnes Muhammad Burhanudin, sanksi yang dijatuhkan pada Sucipto merupakan tindak lanjut dari surat permintaan dari Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 18211/A3.2/KP/2020 tertanggal 23 Januari 2020.
Sesuai surat tersebut, kata Burhan, Sucipto diperiksa karena mengunggah kalimat yang diduga mengandung penghinaan terhadap Presiden Republik Indonesia dan ujaran kebencian di media sosial Facebook pribadinya.
“Hasil pemeriksaan diteruskan ke Komisi Aparatur Sipil Negara (KASN) dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk diproses lebih lanjut. Melalui Keputusan Rektor Unnes Nomor B/167/UN37/HK/2020, dosen tersebut dibebastugaskan sementara dari jabatan dosen untuk menjalani pemeriksaan yang lebih intensif,” sebutnya.
Burhan mencatut Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP), aturan yang belum disahkan DPR dan Presiden, untuk menguatkan dalih penonaktifan Sucipto.
Pasal 218 ayat 1 RKHUP menyebutkan setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri presiden atau wakil presiden dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 tahun 6 bulan atau pidana denda paling banyak Kategori IV.
Pasal penghinaan presiden telah dihapus oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006. Tahun lalu, pasal penghinaan sudah dibahas DPR RI, namun RKHUP gagal disahkan karena ditentang masyarakat. Pasal penghinaan presiden dinilai ‘karet’ dan berbau ‘kolonial’.
Kejanggalan Penonaktifan
Sucipto merupakan doktor dari Unnes yang fokus pada budaya pesisiran. Disertasinya mengenai ketoprak di Pati, Jawa Tengah. Ia pernah masuk dalam Tim Evaluasi Kinerja Akdemik (EKA). Saat itu, tim terbentuk atas prakarsa Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Dikti, semacam tim khusus untuk mengawasi kampus, sebelum urusan perguruan tinggi kembali ke Kemendikbud.
Tim EKA juga terlibat pengkajian dugaan plagiat karya tulis Rektor Unnes pada 2018. Saat ini Fathur juga tengah diselidiki disertasinya oleh Dewan Kehormatan Universitas Gajah Mada (UGM) karena ada dugaan plagiat.
Sucipto mengatakan, keputusan kampus menonaktifkan janggal. Semula ada surat pemanggilan pertama. Dalam surat yang ditandatangani ketua tim pemeriksa S. Martono yang juga Wakil Rektor II Unnes, dijelaskan bahwa Sucipto dipanggil guna dimintai keterangan sehubungan dengan dugaan pelanggaran disiplin Peraturan Nomor 53 tahun 2010 dan Peraturan Rektor tentang Etika dan Tata Tertib Pegawai Unnes.
Belakangan saat menghadiri surat pemanggilan itu ia baru dijelaskan bahwa pelanggaran disiplin yang dimaksud mencakup tiga hal.
“Pertama berkaitan dengan unggahan saya di Facebook bertanggal 10 Juni 2019. Saya kira bunyinya sudah ada, yang diduga menunjukkan ketidaknetralan saya sebagai apratur sipil negara,” katanya kepada reporter Tirto, Senin (17/2/2020).
Sucipto dituding melakukan penghinan terhadap Presiden Joko Widodo atas unggahannya di media sosial yang berbunyi: “Penghasilan anak-anak saya menurun derastis pada Lebaran kali ini. Apakah ini efek Jokowi yang terlalu asik dengan Jan Ethes?”
Postingan itu diunggah 10 Juni 2019 atau sepekan setelah Lebaran. Sucipto mengungkapkan tak ada maksudnya untuk menghina presiden melalui kalimat dalam unggahannya itu.
Kalimat dalam itu kata Sucipto tak lebih dari silogisme. Lima putranya semuanya belum bekerja, paling besar masih duduk dibangku kuliah strata 1. Sehingga kelimanya belum ada yang bekerja untuk mendapatkan penghasilan atau gaji.
Pada kalimat, “penghasilan anak-anak saya menurun derastis pada Lebaran kali ini”, Sucipto hanya ingin menggambarkan tentang pendapatan anak-anaknya dari memperoleh angpau saat Lebaran 2019. Saat itu, karena padatnya perjalanan jauh tak banyak saudara yang dikunjungi yang membuat angpau “penghasilan” mereka menurun.
Kemudian kalimat tanya, “Apakah ini efek Jokowi yang terlalu asik dengan Jan Ethes?”, hanyalah pertanyaan sederhana yang ia munculkan, setelah melihat sejumlah media memberitakan soal Jokowi yang berlebaran dengan cucunya Jan Ethes.
Kalimat pertama dan kedua yang ia bikin memang berkaitan. Sucipto ingin mengungkapkan sekali pun pemilihan presiden sudah usai tetapi konsekuensi dari pemimpin, Jokowi kerap kali menjadi alamat yang dianggap sebagai penyebab atas berbagai hal jika ada yang tidak beres.
“Ada ini enggak benar itu karena Jokowi, ada harga naik karena Jokowi […] Banyak hal yang tidak nyambung tapi kemudian disambung-sambungkan seakan-akan salah Jokowi,” kata dia.
Pun demikian kalimat kedua yang menyebut soal Jokowi itu kemudian ia akhiri dengan tanda tanya. Sehingga itu kemudian oleh pembaca baik pendukung atau bukan pendukung Jokowi sama-sama bisa menjawab pertanyaan itu, meski dengan jawaban yang berbeda.
Namun pimpinan di universitas tempatnya mengajar selama 15 tahun terakhir, menuduh hal itu sebagai bentuk penghinaan terhadap presiden.
Poin kedua, ia diperiksa kampus terkait dengan pelaksanaan tugas dari Kemenristekdikti pada 2018 sebagai anggota tim Tim Evaluasi Kinerja Akdemik (EKA).
“Ketiga terkait dengan kapasitas saya sebagai saksi atas saksi terlapor dalam sebuah kasus terkait dengan aduan adanya dugaan plagiasi yang dilakukan oleh saudara FR [Fathur Rokhman] saat menyelesaikan studi S3 di UGM,” jelasnya.
Kasus yang dimaksud Sucipto adalah laporan terkait pencemaran nama baik seorang guru besar Unnes berinisial AS, kepada seorang warga ke Polda Jawa Tengah. Sucipto dipanggil sebagai saksi dengan kapasitas perwakilan kampus. Namun dalam pemeriksaan, penyidik justru bertanya terkait dugaan plagiat disertasi Fathur Rokhman.
“Saya sebagai seorang akademikus kan wajar punya data karya ilmiah dan berjejaring dengan banyak orang. Tapi aneh saja dalam pemeriksaan, tiba-tiba penyidik berbelok tanya tentang disertasi FR [Fathur Rokhman], bukan kasus AS sebagai pelapor,” ungkapnya.
Sucipto menilai, tiga poin yang disampaikan tujuh orang dalam tim internal Unnes, janggal. Ia mempertanyakan kepada tim soal prasyarat pemeriksaan berupa surat tugas pemeriksaan dan standar operasional prosedur pemeriksaan.
Namun, kata dia, tim pemeriksa saat itu tidak dapat menunjukkan prasyarat yang ia minta. Oleh sebab itu, ia tidak bersedia memberikan jawaban apapun terkait dengan substansi pemeriksaan.
“Artinya pemeriksaan belum berjalan. Kemudian muncullah hukuman terhadap diri saya berupaya pembebasan tugas,” ujarnya.
Usai 1,5 jam pemeriksaan, Sucipto meminta salinan berita acara pemeriksaan (BAP) yang telah ia tandatangai. Namun, tim pemeriksa tak memberikan, mereka berdalih masih ada anggota tim pemeriksa yang belum tandatangan, sehingga ia dijanjikan akan diberikan kurang dari 1 x 24 jam setelah pemeriksaan. BAP belum diberikan, ia justru dijatuhi sanksi.
Rektor Unnes Berlebihan
Koordinator Kaukus Indonesia untuk Kebebasan Akademik (KKAI) Herlambang P. Wiratraman menyatakan, apa yang dilakukan Unnes dengan menjatuhkan saksi penonaktifan sementara Sucipto sebagai dosen adalah suatu hal yang berlebihan.
“Saya kira langkah yang ditempuh dengan memberhentikan sementara itu berlebihan,” katanya kepada reporter Tirto, Senin (17/2/2020).
Mantan Ketua Serikat Pengajar HAM Indonesia (SEPAHAM) itu menilai, ada langkah lain yang dapat ditempuh di internal kampus. Karena yang bersangkutan adalah akademisi dan bagian dari kampus maka menurut Herlambang, dapat dilakukan sidang etik untuk membuktikan adanya pelanggaran etika.
Terlebih jika nanti Unnes malah menggunakan pendekatan hukum dengan berpedoman pada UU 19/2016 tentang ITE dan RKUHP. Hal itu, akan sangat berlebihan dalam menghadapi ekspresi kritik dan maupun ekspresi reflektif.
Apa yang ia baca dari unggahan Sucipto menurutnya adalah adalah ekspresi refleksi. Sucipto mengakhiri kalimatnya dengan tanda tanya, dalam bahasa Herlambang memaknainya sebagai metafora dari ekspresi yang Sucipto lakukan.
“Pada hakekatnya manusia itu punya ekspresi. Kalau dia manusia itu dia memiliki kekayaan manusiawi yang disebut ekspresi. Tanpa ekspresi berarti itu bukan manusia,” katanya.
Herlambang beberapa waktu lalu menjadi saksi ahli dalam persidangan kasus hampir serupa yang melibatkan seorang dosen Universitas Syiah Kuala, Banda Aceh yang dipolisikan oleh dekan atasannya karena unggahan berbau kritik di media sosial. Kasus yang dialami oleh Sucipto, menurutnya, memiliki kemiripan.
Bedanya kasus Sucipto belum secara resmi berproses secara hukum. Namun kata dia, Sucipto dapat menempuh jalur hukum jika memang merasa dirugikan yakni melakukan gugatan terhadap SK Rektor tersebut ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
“Itu juga yang ditempuh Julio Harianja, mahasiswa Unnes yang tidak setuju dengan keputusan menskorsing dia,” kata Herlambang yang juga merupakan dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga.
Penulis: Irwan Syambudi
Editor: Rio Apinino