tirto.id - Keadaan Univesitas Negeri Semarang (Unnes) masih memanas karena kasus dugaan plagiat rektor Fathur Rokhman. Para guru besar dalam Majelis Profesor Unnes terbelah antara yang kritis hingga yang main aman.
Sedangkan Saratri Wilonoyudho, guru besar Unnes yang membocorkan dokumen plagiat, dipojokkan. Begitu juga liputan Serat.id, media online di Semarang, yang memberitakan kasus ini sehingga menjadi sorotan luas, dinyatakan hoaks oleh Hendi Pratama, Humas Unnes.
Kepada reporter Tirto pada 9 Juli 2018, Ketua Majelis Profesor Unnes Mungin Eddy Wibowo menegaskan akan melacak siapa penyebar dan penulis data dan fakta dugaan plagiat tersebut.
Semua ini bermula dari makalah Anif Rida yang dipublikasikan dalam prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya (Kolita) 1 pada 17-18 Februari 2003 di Jakarta. Judul makalahnya, “Pemakaian Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri dan Implikasinya Bagi Rekayasa Bahasa Indonesia: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas” (halaman 6-10).
Kolita adalah kegiatan ilmiah tahunan yang digelar Pusat Kajian Bahasa dan Budaya (PKBB) Universitas Katolik Indonesia Atma Jaya Jakarta sejak tahun 2002. Forum ilmiah ini menghadirkan para peneliti, dosen atau guru, mahasiswa, serta pemerhati bahasa dan budaya, baik dari dalam negeri maupun mancanegara, untuk menyajikan hasil penelitiannya.
Prosiding adalah kumpulan paper akademis yang dipublikasikan dalam suatu acara seminar akademis. Biasanya didistribusikan sebagai buku cetakan setelah seminar. Prosiding berisi kontribusi yang dihasilkan para peneliti dalam seminar tersebut; catatan pekerjaan yang telah dipresentasikan kepada rekan-rekan peneliti.
Pada 2003, Anif Rida merampungkan skripsinya berjudul “Kode dalam Interaksi Sosial di Pesantren Quran: Kajian Sosiolinguistik”. Ia adalah mahasiswi Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia Unnes. Dosen pembimbingnya adalah Fathur Rokhman.
Makalah Anif Rida diduga dijiplak oleh Fathur Rokhman. Makalah Fathur terbit pada jurnal ilmiah terakreditasi nasional bernama "Litera – Jurnal Penelitian Bahasa, Sastra, dan Pengajarannya” edisi volume 3 Nomor 1 tahun 2004. Penerbit Litera adalah Universitas Negeri Yogyakarta. Judul makalah Fathur, “Kode Bahasa dalam Interaksi Sosial Santri: Kajian Sosiolinguistik di Pesantren Banyumas” (halaman 12-26).
Pendeknya, ada kesamaan dalam judul dan isi antara makalah Anif Rida yang terbit pada Kolita 1 Atma Jaya Jakarta (17-18 Februari 2003) dan makalah Fathur Rokhman pada Jurnal Litera UNY (Januari 2004).
Berniat menjelaskan duduk perkaranya, Fathur Rokhman menghubungi reporter Tirto melalui sambungan telepon pada 15 Juli 2018. Ia menerangkan bahwa ia hadir dalam prosiding Kolita 1. Makalah yang ia ajukan berjudul "Pilihan Bahasa Sebagai Kendali Status dan Jarak Sosial dalam Masyarakat Diglosik: Kajian Sosiolinguistik di Banyumas".
Sementara Rida, kata Fathur, tidak hadir dalam prosiding tersebut tetapi makalah mantan mahasiswanya itu tetap diterbitkan.
“Nah, mestinya kalau tidak hadir [dalam Kolita], tidak presentasi, [maka] tidak diterbitkan,” ungkapnya kepada Tirto.
Pada 2004, Fathur mengikuti prosiding Kolita 2 dengan mengajukan makalah berjudul, “Penanda jenis kelamin dan usia dalam pemilihan kode bahasa dalam Masyarakat Banyumas: Perspektif sosiolinguistik”.
Ia mengaku tidak tahu jika makalah Rida itu dimuat Kolita 1. “Tahunya sejak 2014 itu diisukan,” kilahnya, merujuk tahun ketika dia terpilih sebagai Rektor Unnes. Isu plagiat yang menerpanya, klaim Fathur, untuk menggoyang pencalonannya sebagai rektor.
Rida kini menjadi guru bahasa Indonesia dan wali kelas 7A SMP Negeri 6 Salatiga, Jawa Tengah. Selama dua hari reporter kami mencarinya, tetapi rekan-rekannya yang menjadi guru SMP itu menegaskan Rida enggan ditemui.
Kami mencoba menghubunginya melalui sambungan telepon dan pesan singkat dari 11 hingga 14 Juli 2018. Rida hanya membalas melalui pesan singkat pada 14 Juli 2018: “Saya tidak mau berkomentar.”
Tjetjep Rohendi Rohidi, anggota Majelis Profesor dan guru besar paling senior Unnes, menerangkan seharusnya Fathur sebagai dosen pembimbing Rida tahu apa yang dilakukan mahasiswanya. Tjejep menerangkan profesi dosen seharusnya paham jika kalimat yang dibuat mahasiswanya mencomot dari karya ilmiah orang lain.
“Biasanya kalau menulis jurnal, kan, si dosen tahu dan mahasiswanya memberi tahu. Ini kasusnya saat sarjana satu. Bahkan, dalam beberapa hal, nama pembimbing harus dicantumkan dalam makalah si mahasiswa,” ujar Tjetjep saat dihubungi Tirto pada 12 Juli 2018.
Engkus Kuswarno, anggota Tim Evaluasi Kinerja Akademik (EKA) dari Kementerian Ristekdikti, menegaskan laporan penelitian Fathur pada November 2002, yang menyanggah dia plagiat, justru tak dicantumkan dalam riwayat akademis Fathur saat mencalonkan diri sebagai rektor. Menurutnya, salah satu kejanggalannya ada di situ.
“Apakah penelitian ini belum pernah dilakukan? Atau sengaja tidak dimunculkan karena tahu bermasalah? Jadi muncul pertanyaan kritis di situ," ujar Engkus kepada Tirto.
Guru Besar di Universitas Padjajaran Bandung ini menjelaskan bahwa seharusnya saat Rida melakukan kesalahan atau pelanggaran penulisan karya ilmiah, Fathur menegurnya; bukannya dibantah dengan mengklaim baru mengetahui ada makalah Rida pada 2014.
“Dia (Fathur) harus ikut bertanggung jawab,” ujar Engkus. “Ada faktor-faktor yang sebenarnya dia tidak menunjukkan integritas sebagai pembimbing, peneliti, dan seterusnya.”
Tim Bentukan Rektor untuk Kasusnya Sendiri
Untuk mendalami kasusnya sendiri, Fathur Rokhman disarankan Jamal Wiwoho, Inspektur Jenderal Kementerian Ristekdikti, membentuk tim “pemeriksaan dan persandingan atas karya ilmiah” pada 9 Juni 2018. Tim itu berisi orang-orang yang dipilih rekannya yang menjabat pimpinan Unnes.
Mereka yang tergabung dalam tim itu adalah Ketua Senat Unnes Soesanto, Ketua Majelis Profesor Mungin Eddy Wibowo, Ketua Tim Penilai Angka Kredit (penilaian atas prestasi) Profesor Unnes Achmad Slamet, dan Sekretaris Tim PAK Profesor Unnes Bambang Haryadi. Bagi Fathur, tim itu sudah bekerja secara objektif.
Buat membantah tidak plagiat, tim itu disodori laporan penelitian Fathur tahun 2002. Pada halaman pengesahan, penelitian Fathur ini dibiayai dengan Daftar Isian Kegiatan (DIK) tanggal 1 Januari 2002 sesuai Surat Perjanjian Pemborongan tanggal 21 Mei 2002. Penelitian pengembangan IPTEKS itu dilakukan saat Fathur Rokhman belum mendapatkan gelar profesor. Tim mencocokkan dengan makalah Anif Rida pada Kolita 1 tahun 2003 dan makalah Fathur pada Jurnal Litera UNY tahun 2004.
“Itu (dana) penelitiannya enggak tinggi, hanya Rp1.750.000, zaman itu masih dokterandus,” kata Mungin Eddy Wibowo, Ketua Majelis Profesor Unnes, kepada reporter Tirto pada 9 Juli 2018.
Mungin mengatakan laporan penelitian itu belum pernah diterbitkan dan hanya ada satu salinan, yang tersimpan di Perpustakaan Unnes. Selain itu, ada tiga tanda tangan dekan dan ketua Lembaga Penelitian Unnes yang telah meninggal dunia.
“Kami klarifikasi, kami sandingkan dengan penelitian itu, semua sumbernya dari penelitian Pak Fathur,” ujarnya.
Tetapi, Tirto tak diizinkan mendapatkan seluruh salinan bukti utama laporan penelitian Fathur Rokhman tahun 2002 tersebut. Tirto hanya ditunjukkan lima halaman penelitian itu (tiga lembar pertama dan dua lembar daftar pustaka). Alasan Mungin karena Tirto bukan bagian dari tim investigasi.
Kesimpulan tim: rektor Unnes tidak melakukan plagiat.
Meski begitu, tim investigasi tidak secara tegas menyebut siapa yang bersalah dan apa sanksinya. Tak ada juga pertanggungjawaban pada Kolita Atma Jaya Jakarta dan Jurnal Litera UNY. Justru yang tengah dicari saat ini adalah siapa penyebar kabar dan data soal tuduhan plagiat.
Laode Ida, Komisioner Ombudsman Indonesia, merespons ancaman yang justru diarahkan pada pihak pelapor atau yang mengungkapkan kasus ini. Ia menilai hal semacam ini sering terjadi dan tak ada perlindungan dari Menteri Ristekdikti Mohamad Nasir.
“Nasir adalah menteri terburuk, saya kira,” ujar Laode kepada Tirto.
Rapuhnya Kinerja Tim Investigasi Unnes
Belakangan, hasil pertemuan empat “pemeriksa dan persandingan karya ilmiah” itu diubah namanya menjadi “Tim Investigasi Plagiasi Unnes”. Tim itu dibentuk pada 9 Juni 2018 dan berakhir pada hari itu juga, tak sampai sehari. Mungin Eddy Wibowo yang menjadi ketua tim.
Ada berbagai kejanggalan lain dari tim investigasi. Fathur yang membentuk tim itu dan ia hadir untuk memberikan penjelasan.
Sementara Anif Rida, subjek primer dari masalah ini, tak dihadirkan dalam pertemuan "tim investigasi" tersebut. Mungin menjelaskan Rida hanya memberikan surat bermaterai yang ditujukan kepada kepala Pusat Kajian Bahasa dan Budaya (PKBB) Atma Jaya Jakarta.
“Anif Rida juga malah sudah membuat pernyataan dan mencabut makalah di Atma Jaya karena dia tidak datang [dalam Kolita] dan tidak tahu itu dimuat,” kata Mungin.
Saat dikonfirmasi, seorang staf PKBB Atma Jaya Jakarta menegaskan hingga saat ini tak ada yang membuka komunikasi atas kasus dugaan plagiat Fathur Rokhman.
“Tidak ada komunikasi dengan siapa pun. Kan, Anda tanya komunikasi dengan Unnes, saat ini tidak ada komunikasi. Hanya Anda saja yang menghubungi,” ujarnya kepada Tirto pada 10 Juli 2018.
Yanti, Kepala PKBB Atma Jaya Jakarta, menjelaskan saat Kolita 1 digelar, ia belum bergabung sebagai pengajar di kampus itu. Ia tidak bisa menjawab apakah Anif Rida datang untuk presentasi pada KOLITA 1. Yanti juga tidak bisa memastikan apakah benar Rida yang mengerjakan makalah tersebut.
“Setahu saya, penyelenggara konferensi di negara manapun tidak mungkin mengetahui jawabannya bila ditanya, ‘Apakah benar makalah salah seorang pemakalah yang hadir dalam konferensi tersebut ditulis oleh pemakalahnya?’" kata Yanti kepada Tirto pada 13 Juli 2018.
Posisi Rida sangat penting karena menurut Yanti hanya dia yang mengetahui apakah mengirim dan menulis makalah yang diduga plagiat itu.
Tirto juga menghubungi Katharina Endriati Sukamto, editor makalah Kolita 1. Ia menegaskan tak ada pihak manapun selain Tirto yang berkomunikasi dengan mereka terkait kasus dugaan plagiat Fathur Rokhman.
Katharina mengatakan hal serupa dengan Yanti: tak bisa memastikan apakah Anif Rida hadir dan mempresentasikan makalahnya dalam KOLITA 1. Ia hanya bisa memastikan makalah itu memang dipublikasikan dalam prosiding KOLITA 1 tahun 2003.
Katharina menyarankan Tirto mengonfirmasi kepada Jurnal Litera UNY. “Karena menurut hemat kami, seharusnya Jurnal Litera lebih teliti dalam penyeleksian makalah,” kata Katharina.
Masuk Daftar Hitam Jurnal Cendekiawan
Fathur Rokhman menjadi satu-satunya orang yang masuk daftar hitam Jurnal Litera Universitas Negeri Yogyakarta (UNY). Sebab, Fathur melanggar ketentuan dengan mengirimkan artikel yang dinyatakan dewan redaksi Litera sebagai karya yang “tidak asli”.
“Jelas blacklist. Jelas banget itu (di-black list). Di dunia juga begitu. Enggak cuma di Indonesia,” kata Burhan Nurgiyantoro, pemimpin redaksi Jurnal Litera UNY kepada Tirto.
Tim Jurnal Litera membahas sanksi pencabutan karya Fathur. “Kalau (artikel Fathur) ditarik dari peredaran, dicabut nanti, kami malah kehilangan bukti otentik,” ujarnya.
Sikap itu diambil Dewan Redaksi Jurnal Litera setelah melewati proses pembahasan sejak 4 Juli hingga 11 Juli 2018. Burhan mengutus tim untuk mencari bukti otentik makalah Anif Rida ke Perpustakaan Atma Jaya Jakarta. Mereka memfotokopi dokumen asli sebab tak mau memeriksa makalah Anif Rida dari file yang beredar.
Setelahnya, Dewan Redaksi Litera melakukan penelaahan dan penyandingan menggunakan dua cara: tabulasi manual dan aplikasi Turnitin. Hasilnya, sebagian besar makalah Anif Rida ditemukan dalam artikel Fathur Rokhman. Selain itu, ada unsur-unsur dalam artikel Fathur Rokhman tidak ditemukan dalam makalah Anif Rida.
Burhan adalah pemimpin redaksi Litera UNY sejak jurnal ini berdiri. Ia juga rekan dekat Fathur Rokhman. Namun, sejak pemeriksaan dan penelaahan terhadap karya Fathur, ia mengaku sama sekali tak berkomunikasi dengan "Tim Investigasi Unnes."
“Sebenarnya kami ini pihak korban, toh,” keluh Burhan, menjelaskan tuduhan plagiat ini telah mempertaruhkan "kredibilitas, integritas, dan reputasi" Jurnal Litera, selain Kolita.
Tapi, Fathur menganggap sikap dewan redaksi Jurnal Litera UNY mengabaikan proses kerja yang profesional. “Pak Menteri (Mohamad Nasir) langsung meluruskan ke UNY sendiri,” kata Fathur.
Selain tuduhan plagiat, Fathur masuk dalam daftar hitam pengirim kolom opini di Kompas. Perkaranya, ia mengirim artikel opini berjudul “Pendidikan Tinggi Melawan Korupsi” ke media cetak Suara Merdeka dan dimuat pada 9 Januari 2018. Beberapa hari setelahnya, pada 12 Januari 2018, artikel opini yang sama dimuat pada kolom Kompas.
Ada salah satu akun Twitter yang melaporkan perkara pemuatan dobel ini dengan mencolek @hariankompas. Sigap, akun resmi Kompas membalas pada 2 Juli 2018: “Terima kasih atas masukannya. Sesuai ketentuan kami, artikel yang dikirimkan ke Kompas tidak dikirim ke media lain. Teguran dan sanksi akan dilakukan kepada penulis sesuai ketentuan yang berlaku.”
Jabatan Rektor Fathur Rokhman Harus Dicopot?
Laode Ida, komisioner Ombudsman, merespons terkait ganjilnya upaya Universitas Negeri Semarang menuntaskan dugaan kasus plagiat. Menurutnya, ada conflict of interest karena Fathur Rokhman, dengan jabatannya sebagai rektor, bisa memengaruhi" tim investigasi Unnes."
“Kalau ada indikasi plagiat, seharusnya yang bersangkutan itu tidak diberikan ruang untuk menduduki jabatan. Bahkan diberhentikan sementara dari jabatan fungsional sebagai pengajar,” ujar Laode. Ia menilai pencopotan jabatan rektor itu harusnya dilakukan oleh Menteri Ristekdikti M. Nasir sebagai tindakan korektif.
Laode menegaskan, jika ada unsur kepentingan, seharusnya kasus dugaan plagiarisme ini dilakukan oleh pihak di luar kampus Unnes. Ia menyayangkan sikap Nasir yang lamban menuntaskan kasus ini. Menurutnya ini serupa dengan kasus plagiat Rektor Universitas Halo Oleo, Kendari, Sulawesi Tenggara.
“Menteri itu membiarkannya. Maka, bisa dikatakan, menteri sekarang ini merusak moralitas, membiarkan korupsi,” ungkapnya.
Serupa dengan Laode, Guru Besar dan anggota Majelis Profesor Unnes Hartono meminta agar kasus dugaan plagiat itu semestinya bisa diselesaikan secara transparan.
“Ini nanti bisa jadi sarang plagiator, kan enggak bagus juga. Harus di-clear-kan. Kalau (tim invetigasi) dari internal menurut saya kurang fair,” ungkapnya.
Selain digelar dengan singkat, tim investigasi internal Unnes bekerja secara tertutup. Para guru besar yang tergabung sebagai anggota Majelis Profesor Unnes kurang tahu apa yang dilakukan tim itu. Mereka hanya tahu melalui media massa, sosial media, dan Humas Unnes.
“Sesuatu yang salah tidak harus dibela tapi harus diperbaiki biar tidak berkepanjangan. Janggalnya (tim investigasi internal) itu pembelaan. (Penegakan) aturan itu berlaku bagi siapa pun,” ujar Haryono.
==============
Hak Jawab Universitas Negeri Semarang melalui Hendi Pratama, S.Pd., MA., Kepala UPT Pusat Humas UNNES
Terima kasih atas usaha Tirto membahas beberapa informasi mengenai beberapa berita terkait dengan Rektor Universitas Negeri Semarang Prof. Fathur Rokhman, M.Hum. Informasi yang disajikan cukup lengkap namun ada beberapa fakta yang perlu diluruskan.
1. "... Begitu juga dengan Serat.id, media online di Semarang, yang memberitakan kasus ini sehingga menjadi sorotan luas, dinyatakan hoaks oleh Hendi Pratama, Humas Unnes."
Jawaban Tirto: Yang dinyatakan hoaks itu memang posternya. Dalam perkara ini poster tersebut adalah infografik laporan Serat.id. Artinya, jika infografik dari reportase Serat.id dinyatakan hoaks, dengan kata lain hasil liputan Serat.id bisa dikatakan hoaks.
Jawaban: Kami menilai idealnya Anif Rida, salah satu sumber primer dalam kasus dugaan plagiat ini, bisa dihadirkan dalam tim internal yang dibentuk Unnes. Soal ada ancaman terhadap Rida pun hanya datang dari versi pihak Unnes. Sementara saat Tirto mengonfirmasi kasus ini, Rida menjawab "tidak mau berkomentar." Soal laporan penelitian Fathur tahun 2002 yang tidak diterbitkan, dan dipakai bukti tim investigasi internal Unnes untuk menyimpulkan makalah Fathur tahun 2004 bukan karya plagiat, idealnya laporan tersebut bisa diakses publik. Kami menilai proses penyelidikan atas dugaan kasus plagiarisme, sebuah perkara substansial dalam lingkungan akademik, idealnya dilakukan setransparan dan seimparsial mungkin.
3. "... Fathur juga masuk dalam daftar hitam pengirim kolom opini di Kompas. Sebabnya, ia mengirim artikel opini berjudul “Pendidikan Tinggi Melawan Korupsi” ke media cetak Suara Merdeka dan dimuat media itu pada 9 Januari 2018. Beberapa hari setelahnya, pada 12 Januari 2018, artikel opini yang sama dimuat pada kolom Kompas."
Sanggahan: Hal ini perlu dikonfirmasikan kembali dengan pihak Kompas karena sudah ada surat klarifikasi dari Prof. Dr. Fathur Rokhman, M.Hum kepada pihak Kompas.
Jawaban: Sri Hartati Samhadi, Editor Opini Harian Kompas, saat dikonfirmasi via telepon oleh Tirto (17 Juli 2018), mengatakan bahwa Fathur Rokhman "sudah beberapa kali menulis dan kesalahan dia lebih berat, mengirimkan artikel yang sama ke dua media yang berbeda." Dia menambahkan, "Kami, kan, enggak tahu juga berapa media? Kami juga tidak tahu motivasinya apa. Intinya, dia sudah tahu kalau artikel itu dimuat di media lain, dia harus menarik.
Tirto: "Padahal ada kesempatan dua hari bagi Fathur untuk mencabut opini dia yang dikirim ke Kompas sesudah artikelnya dimuat Suara Merdeka?"
Samhadi: "Dan dia tidak melakukan itu. Kami sudah tegur lewat lisan dan secara tertulis."
Tirto: "Sanksinya hanya teguran?"
Samhadi: "Tidak. Karena dia sudah beberapa kali menulis. Kami juga menganggap dia paham aturan baku mengirim ke media. Kemudian, kami mem-blacklist beliau selama satu tahun."
Tirto: "Terhitung sejak kapan?"
Samhadi: "Terhitung sejak artikel diturunkan. Kami punya mekanisme (tulisan) dia masuk, langsung dari sekretariat langsung mengembalikan."
Tirto: "Kabarnya Rektor Fathur Rokhman sudah mengirimkan surat ke Kompas soal itu, apa sudah masuk ke meja redaktur kolom opini?"
Samhadi: "Kalau ada suratnya, kan, ada buktinya. Tapi sejauh ini sekretariat tidak menerima. Beliau mengirimkannya lewat mana? Bisa kami cek ... tapi sejauh ini enggak ada."
4. "... Setelahnya, Dewan Redaksi Litera UNY melakukan penelaahan dan penyandingan menggunakan dua cara: tabulasi manual dan aplikasi Turnitin. Hasilnya, sebagian besar unsur makalah Anif Rida ditemukan dalam artikel Fathur Rokhman. Selain itu ada unsur-unsur dalam artikel Fathur Rokhman tidak ditemukan dalam makalah Anif Rida."
Jawaban: Laporan Tirto memberi kesempatan Fathur untuk menanggapi keputusan Dewan Redaksi Litera UNY: "Tapi, Fathur menganggap sikap dewan redaksi Jurnal Litera UNY mengabaikan proses kerja yang profesional."
Demikian hak jawab UNNES kami gunakan untuk memberikan klarifikasi atas beberapa fakta yang perlu diluruskan.
Penulis: Dieqy Hasbi Widhana
Editor: Fahri Salam